Friday, 13 September 2024
above article banner area

PERNIKAHAN BEDA AGAMA

Nama               : Rona Zahro’tun Alya

NIM                 : 21023165246

Off                   : B-12

 

PERNIKAHAN BEDA AGAMA

  1. Pengertian dan Hukum Pernikahan dalam Islam

Nikah dalam dalam Bahasa Arab bermakna (al-wath’u) yakni bersetubuh/berhubungan intim atau juga bisa bermakna penyambungan atau penghubungan. Sementara menurut kamus munawwir, arti lafaz nikah ialah berkumpul atau menindas, setubuh dan senggama.

Nikah secara Terminologi di kalangan ulama ushul berkembang dua macam pendapat tentang arti lafaz nikah,yaitu: Nikah menurut arti aslinya (arti hakiki) adalah setubuh dan menurut arti majazi (metaforis) adalah akad yang dengan akad ini menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita; demikian menurut golongan Hanafi. Nikah menurut arti aslinya ialah akad yang dengan akad ini menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita, sedangkan menurut arti majazi ialah setubuh, demikian menurut ahli ushul golongan Syafi’iyah. Meski pendapat diatas mengemukakan bahwa pada dasarnya pernikahan adalah akad yang diatur oleh agama untuk memberikan lakilaki hak memiliki penggunaan faraj (kemaluan) wanita dan seluruh tubuhnya untuk berhubungan badan atau merupakan sesuatu yang hanya berurusan dengan duniawi saja, akan tetapi perkawinan dalam Islam memiliki pandangan bahwa pernikahan tidak hanya pengaturan aspek biologis semata, melainkan persoalan psikologis, sosiologis, dan teologis. Karena didalam pernikahan, terdapat pertanggungjawaban kepada istri dan anak, masyarakat bahkan kepada Allah.

 

  1. Dasar Pernikahan Beda Agama dalam Islam

Pernikahan beda agama diatur dalam Surat Al-Baqoroh :221 yang menerangkan larangan untuk menikahi orang musyrik sampai mereka beriman. Selain itu didalam surat Al-Mumtahanah ayat 10 terdapat adanya larangan mengembalikan wanita Islam yang hijrah dari makkah ke madinah kepada suami mereka di makkah dan meneruskan hubungan rumah tangga dengan perempuan kafir.

Meski secara tegas dalam Islam terdapat pelarangan pernikahan beda agama dalam teori, namun dalam terdapat teori yang memunculkan adanya kesempatan untuk terjadinya pernikahan bukan satu golongan, yaitu antara umat Islam dengan wanita ahli kitab, pembolehan pernikahan dengan ahli kitab ini dimuat dalam surat alMaidah ayat 5 yang menerangkan bahwa adanya legalisasi pernikahan dengan wanita ahli kitab bagi kaum muslim.

Dari seluruh teori yang telah dituliskan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya hukum Islam melarang adanya pernikahan beda agama . Di Indonesia, lima agama yang diakui memiliki pengaturan tersendiri terkait dengan pernikahan beda agama. Agama Kristen/Protestan memperbolehkan pernikahan beda agama dengan menyerahkan pada hukum nasional masing-masing pengikutnya. Hukum Katholik tidak memperbolehkan pernikahan beda agama kecuali mendapatkan izin oleh gereja dengan syarat-syarat tertentu. Hukum Budha tidak mengatur perkawinan beda agama dan mengembalikan kepada adat masing-masing daerah, sementara agama Hindu melarang keras pernikahan beda agama.

 

  1. Hukum Pernikahan Beda Agama dalam Islam

Pembahasan pernikahan beda agama ini akan dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:

  1. Pernikahan dengan Non Muslim/ kafir.
  2. Pernikahan dengan ahli kitab.

Dalam pembedaan dua kategori antara non muslim/kafir dengan ahli kitab ini memang terdapat sebuah pembedaan yang menimbulkan konsekuensi dalam hukumnya, non muslim/ kafir adalah orang-orang yang mengingkari Tuhan, sementara pengertian ahli kitab adalah orang yang menganut salah satu agama Samawi yang mempunyai kitab suci seperti Taurat, Injil , dan Zabur.

 

  1. Pernikahan dengan non muslim/ kafir

Definisi kafir dan muslim merupakan definisi yang sangat luas, para ulama’ berpendapat bahwa istilah non muslim atau kafir disimpulkan oleh pakar AlQur’an, Syeikh Muhammad Abduh, segala aktifitas yang bertentangan dengan ajaran tujuan agama. Tentu saja maksudnya tidak mengarah pada suatu kelompok agama saja, akan tetapi mencakup sejumlah agama dengan segala bentuk kepercayaan dan variasi ritualnya. Al Qur’an menyebutkan kelompok non muslim ini secara umum seperti terdapat dalam QS. surat Al-Hajj: 17 “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shaabi-iin, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi Keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu”.

Dalam surat Al-Mumtahanah menjelaskan bahwa adanya pelarangan untuk tetap meneruskan hubungan pernikahan dengan wanita kafir, sampai mereka beriman kepada Allah. Larangan pernikahan beda agama dengan non muslim/kafir secara global telah disepakati oleh para ulama. Lebih lanjut, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa larangan pernikahan dengan non muslim atau kafir juga didasarkan pada surat Al-Baqoroh: 221. Beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan musyrik dalam ayat tersebut adalah penyembah berhala. Larangan pernikahan beda agama ini kemudian di rumuskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia. KHI yang diberlakukan dengan Instruksi Persiden (Inpres) Nomor 1 tahun 1991, melarang seorang muslim melakukan perkawinan beda agama. Larangan ini diatur dalam pasal 40 huruf c KHI. Sementara larangan pernikahan beda agama bagi wanita diatur dalam pasal 44 KHI.27 Secara Normatif larangan menikah beda agama ini tidak menjadi masalah, karena hal tersebut sejalan dengan ketentuan al-Qur’an yang disepakati oleh para fuqaha’.

 

 

 

 

  1. Pernikahan dengan ahli kitab

Imam Syafi’i berpendapat bahwa ahlul kitab adalah orang Yahudi dan orang Nasrani keturunan orangorang Israel, tidak termasuk bangsabangsa lain yang menganut agama yahudi dan nasrani. Alasan yang dikemukakan oleh imam Syafi’i adalah bahwa Nabi Musa dan Nabi Isa hanya diutus kepada bangsa mereka, bukan bangsa lain. Pendapat ini berbeda dengan Imam Hambali dan mayoritas pakar hukum Islam yang menyatakan bahwa siapapun yang mempercayai salah seorang nabi atau kitab yang pernah diturunkan oleh Allah, maka dia adalah ahlul kitab. Sementara sebagian Ulama’ berpendapat bahwa ahli kitab adalah setiap umat yang memiliki kitab dan dapat diduga sebagai kitab suci.

Pendapat terakhir ini kemudian diperluas lagi oleh para ulama’ kontemporer, sehingga mencakup para agama-agama yang ada di Indonesia seperti Hindu dan Budha. Sementara menurut Ulama’ Muhammad Rasyid Ridho dalam tafsir al manaar , setelah beliau memahami dan mepelajari segala yang berkaitan dengan hukum pernikahan beda agama, beliau menyimpulkan bahwa wanita musyrik  yang tidak diperbolehkan dinikahi yang disebutkan dalam Al-Qur’an QS AlBaqoroh: 221 adalah wanita musyrik arab.

Akan tetapi mereka mensyaratkan bahwa ahli kitab tersebut harus memenuhi kriteria tertentu. Pendapat mengenai larangan menikahi wanita ahli kita dirumuskan oleh sebagian ulama’ yang menyatakan bahwa QS Al-Maidah: 5 merupakan bentuk khusus dari bentuk umumnya yaitu QS Al-baqoroh: 221 yang kemudian bentuk umum tersebut menghapus bentuk khusus. Senada dengan pendapat tersebut, sahabat nabi, Ibnu Umar, menyatakan bahwa pada zaman beliau, ajaran trinitas tidak lagi wajar dinamai dengan ahlul kitab, karena keyakinan tersebut merupakan bentuk penyekutuan terhadap Allah.

Dari dua pendapat diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya para ulama’ Islam berbeda pendapat dalam memandang hukum pernikahan beda agama terkait dengan seorang laki-laki muslim yang menikahi wanita non muslim yang ahli kitab. Perbedaan ini pada dasarnya berimplikasi terhadap huku pernikahan beda agama tersebut, yaitu halal dan haram.

 

  1. Implikasi Pernikahan Beda Agama terhadap Status Anak

Anak adalah belahan jiwa dan potongan daging orang tuanya. Begitu pentingnya eksistensi akan lambang penerus dan lambang keabadian ini, maka Allah SWT mensyari’atkan adanya pernikahan. Pensyari’atan pernikahan memiliki tujuan antara lain untuk berketurunan yang baik, memelihara nasab, menghindarkan diri dari penyakit dan menciptakan keluarga yang sakinah. Pernikahan beda agama yang terjadi antara dua insan manusia, tentunya memiliki dampak atau implikasi pada status anak dikemudian hari.

Implikasi tersebut dapat diidentifikasikan dengan status anak yang bukan menjadi anak kandung, karena dalam pembahasan di atas hukum pernikahan beda agama dalam Islam adalah dilarang (haram) Status anak ‘haram’ akibat pernikahan beda agama pada prinsipnya, penulis tidak sependapat dengan istilah tersebut, karena di samping istilah itu tidak dikenal dalam hukum positif, juga terdengar kurang etis bagi yang bersangkutan. Selain itu, kelahiran seorang anak di dunia ini tidak pernah dikehendaki oleh anak itu sendiri. Kelahirannya semata-mata merupakan kehendak sadar kedua orang tuanya. Terhadap anak tersebut lebih tepatnya dapat dikatakan sebagai anak yang lahir di luar perkawinan yang sah.

Dalam Kompilasi Hukum Islam selain dijelaskan tentang kriteria anak sah atau anak yang dilahirkan dalam ikatan perkawinan yang sah, sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi : “bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan akibat perkawinan yang sah dan hasil pembuahan suami isteri yang di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut,”  juga dikenal anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, seperti yang tercantum dalam Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam bahwa “anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Dalam pasal 42 Bab IX Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 juga dijelaskan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dan atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Yang termasuk dalam kategori pasal ini adalah:

  1. Anak yang dilahirkan oleh wanita akibat suatu ikatan perkawinan yang sah.
  2. Anak yang dilahirkan oleh wanita di dalam ikatan perkawinan dengan tenggang waktu minimal 6 (enam) bulan antara peristiwa pernikahan dengan melahirkan bayi.
  3. Anak yang dilahirkan oleh wanita dalam ikatan perkawinan yang waktunya kurang dari kebiasaan masa kehamilan tetapi tidak diingkari kelahirannya oleh suami. Salah satu implikasi terhadap status anak yang lain yang dilahirkan melalui proses pernikahan yang tidak sah (karna larangan pernikahan beda agama) adalah adanya pengakuan bahwa anak tersebut adalah anak hasil perzinahan. Hasanayn Muhammad Makluf membuat terminologi anak zina sebagai anak yang dilahirkan sebagai akibat dari hubungan suami isteri yang tidak sah. Hubungan suami isteri yang tidak sah sebagaimana dimaksud adalah hubungan badan (senggama/ wathi’) antara dua orang yang tidak terikat tali pernikahan yang memenuhi unsur rukun dan syarat nikah yang telah ditentukan.

Meskipun istilah “anak zina” merupakan istilah yang populer dan melekat dalam kehidupan masyarakat, namun Kompilasi Hukum Islam tidak mengadopsi istilah tersebut untuk dijadikan sebagai istilah khusus di dalamnya. Hal tersebut bertujuan agar anak hasil dari hubungan zina, tidak dijadikan sasaran hukuman sosial, celaan masyarakat dan lain sebagainya, dengan menyandangkan dosa besar ibu kandungnya dan ayah anak tersebut kepada dirinya, selain itu juga bertujuan untuk menunjukkan identitas Islam bahwa Islam tidak mengenal adanya “dosa warisan”.

Berdasarkan definisi dan pendekatan makna “anak hasil zina” di atas, maka yang dimaksudkan dengan anak hasil zina dalam pembahasan ini adalah anak yang janin atau pembuahannya merupakan akibat dari perbuatan zina, maupun anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah, sebagai akibat dari pernikahan beda agama.

Anak yang lahir di luar pernikahan yang sah adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan, sedangkan perempuan itu tidak berada dalam ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang menyetubuhinya. Sedangkan pengertian anak yang lahir akibat dari pernikahan beda agama adalah hubungan seorang pria dengan seorang wanita berbeda agama yang dapat melahirkan keturunan atau anak sedangkan hubungan mereka tidak dalam ikatan perkawinan yang sah menurut hukum positif dan agama yang dianutnya.

Terkait status anak seperti yang telah dipaparkan diatas, menurut hukum syari’ah, anak hasil zina itu suci dari segala dosa orang yang menyebabkan eksistensinya di dunia ini, sesuai dengan hadis Nabi Muhammad Saw yang artinya: Semua anak dilahirkan atas kesucian/kebersihan (dari segala dosa/ noda) dan pembawaan beragama tauhid, sehingga ia jelas bicaranya. Maka kedua orang tuanyalah yang menyebabkan anaknya menjadi Yahudi, atau Nasrani atau Majusi. (Hadis riwayat Abu Ya’la,al-Thabrani dan al-Baihaqi dari al-Aswad bin Sari’).

Karena itu, anak hasil zina harus diperlakukan secara manusiawi, diberi pendidikan, pengajaran dan keterampilan yang berguna untuk bekal hidupnya di masyarakat nanti.

Share
below article banner

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *