sholat dhuha, lebih menyukai melaksanakannya di rumah. Informasi yang saya peroleh, setelah memberi makan ayam periaraannya yang berjumlah beberapa ekor saja, beliau mandi. Entah disengaja atau tidak, beliau lupa mematikan kran kamar mandi, sehingga mengundang perhatian salah seorang tetangga, yang memang sering datang ke rumah itu. Setelah mematikan kran kamar mandi, tetangga tersebut melihat ibu ternyata sedang sholat. Namun beberapa saat kemudian dilihat lagi ternyata, ibu sudsah tidak berposisi sholat, melainkan sudah tertidur, seperti orang tidur dan innalillahihi wainna ilaihi roji”un, ternyata Ibu sudah wafat. Beliau wafat, setelah menunaikan sholat dhuha itu, tanpa didahului oleh keluhan sakit. Segera setelah mendapatkan berita tentang kematian itu, saya yang sedang berada di kantor, menunaikan tugas-tugas sehari-hari sebagai rector UIN Malang, segera pulang ke kampung, di Trenggalek, yang kira-kira memerlukan waktu 3, 5 jam dengan kendaraan sendiri. Sesampai di rumah, jenazah sudah diurus oleh keluarga di rumah. Yang sedang terjadi adalah jenazah Ibu sudah disemayamkan di masjid, dan bergantian para jama’ah menshoalatkannya dan beberapa orang lain membaca al Qur’an di samping jenazah. Ibu yang orang desa itu, saya tidak tahu di mana beliau dulu sekolah. Saya hanya pernah mendengar, beliau dulu pernah sekolah di sekolah jepang. Sebagai anak kepala desa, diberikan peluang untuk bersekolah. Saya juga tidak tahu, dari mana ibu saya belajar membaca al Qur;an, tetapi saya tahu, di tengah-tengah kesibukan mengurus anaknya yang berjumlah cukup banyak, setelah sholat isya’ selalu menyempatkan membaca al Qur’an. Dan bahkan saya masih ingat, sewaktu saya masih kecil, selalu membacakan sya’ir-sya’ir berbahasa Arab, menjelang agar anak-anaknya tidur. Dengan penuh kasih sayangnya, sya’ir dibaca pelan, dilagukan, agar anak-anak larut menikmatinya dan kemudian tertidur. Sekalipun keadaan ekonomi tidak pernah berlebih, ibu tidak pernah mengeluh. Yang justru saya selalu ingat, beliau selalu bersyukur. Jika ada waktu bercanda, biasanya pada sore hari setelah sholat isya’, ibu memberikan nasehat-nasehat yang tidak pernah saya lupakan. Kedtika itu memang belum ada fasilitas TV dan sejenisnya seperti sekarang. Pada saat itu —-akhir tahun 1950 an, fasilitas hiburan yang dimiliki di rumah adalah pesawat radio. Keluarga yang memiliki pesawat radio, ketika itu n sudah dianggap cukup mengikuti zaman. Beberapa pesan yang selalu saya ingat, adalah misalnya : (1) hidup harus prihatin, kalau kelak jadi pemimpin, harus berani tirakat.(2) jangan sampai suka berebut, berebut apa saja, lebih-lebih berebut rizki. Selalu dikatakan oleh Ibu, bahwa berebut itu tidak baik, (3) harus mau ngalah sekalipun tidak kalah, (4) harus sabar, sebab orang sabar itu akan berakhir dengan kemuliyaan, (5) dilarang memikirkan makanan, karena orang yang selalu berpikir tentang makanan, maka derajadnya akan persis seperti makanan itu, bahkan makanan yang sudah keluar dari perutnya. (6) jangan putus mencari ilmu. Masih banyak jenis pesan-pesan lainnya, yang biasanya disampaikan pada setiap ada kesempatan. Pesan-pesan seperti itu, ketika saya masih kecil, kadang dikemas dalam bentuk cerita, sehingga mudah diterima. Saya merasakan betapa kesabaran ibu. Setiap pulang belanja dari pasar, semasa saya masih kecil, selalu membelikan oleh-oleh. Sebelum membuka-buka barang hasil belanjaannya, yang dibuka dan segera diserahkan adalah oleh-oleh yang diperuntukkan bagi masing-masing anaknya. Ibu mengenali betul kesenangan masing-masing anaknya itu. Beliau tampak sangat bahagia jika berhasil memberikan sesuatu yang disenangi. Semangat menyenangkan anak, tidak putus setelah anak-anaknya dewasa. Sekalipun saya sudah berumah tangga, bahkan sudah menjadi Rektor, ketika suatu saat pulang menjenguknya di kampung, beliau selalu memerintah siapa saja yang bisa diperintah, agar membelikan makanan yang saya senangi sejak kecil. Sekalipun Ibu orang desa dan sekaligus juga bertempat tinggal di desa, tetapi rupanya selalu memantau apa saja yang saya lakukan. Saya kira beliau tidak terlalu mengerti dengan jabatan saya di kota sebagai pemimpin perguruan tinggi. Yang saya rasakan, beliau kadang khawatir, kalau-kalau saya melakukan kesalahan dalam memimpin orang. Jika suatu ketika beliau mendengar, ada demo di kampus, yang otomatis itu adalah mendemo saya, beliau tidak pernah menyalahkan para pendemo, melainkan justru menganggap saya yang belum bisa dan berhasil melayani mereka secara baik. Jika peristiwa yang dianggapnya menyedihkan itu berlangsung lama, justru Ibu yang merasakan susah. Menghadapi kejadian seperti itu beliau selalu meningkatkan aktivitas do’a memohon kepada Allah, agar persoalan tersebut segera selesai. Sampai-sampai, jika beliau susah, terlalu lama ikut memikirkan, beliau jatuh sakit. Hanya untungnya, jika saya sudah melapor padanya, bahwa persoalan selesai, beliau mencium saya, dan herannya, secara spontan sakitnya sembuh. Selanjutnya, yang saya tahu, sekalipun beliau orang desa, kemudian melihat keberhasilan anak-anaknya di kota, justru menunjukkan kerendahannya sebagai bentuk rasa syukurnya. Dia tidak pernah takabur di hadapan tetangga atau kenalannya. Sebaliknya, yang saya tahu, beliau justru khawatir, jangan-jangan anak-anaknya yang sedang mendapat amanah memimpin sebuah lembaga milik ummat atau pemerintah, seperti saya saat ini, tidak bisa menjalankan amanah itu sebaik-baiknya. Rasa bersyukur beliau, justru diekspresikan dalam bentuk mendekatkan diri pada Allah berupa memperbanyak ibadah, seperti sholat sunnah, berdoa memohon kepada Allah, agar anak-anaknya berhasil dalam menunaikan amanah. Ibu saya yang orang desa itu tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi, tetapi saya melihat dengan jelas, beliau memiliki jiwa besar. Beliau menginginkan agar anak-anaknya selalu berkarya, beramal sholeh. Pesan beliau ”dadio wong sing pinter lan sholeh, migunani tumprap wong akeh, lan tansah ngabekti nyang Pangeran”. Pesan-pesan seperti ini selalu diulang-ulang agar benar-benar merasuk dalam hati sanubari. Ibuku dahulu, ketika masih hidup selalu mendoakan, mencurahkan seluruh kasih sayangnya, tidak henti-hentinya berdoa, memohon kepada Allah untuk anak-anaknya, agar semuanya dikaruniai petunjuk dan pertolonganNya. Sekarang tanggal 22 Desember 2008, di hari Ibu ini beliau sudah dipanggil dan menghadap kepada Allah swt. Oleh karena itu, ya Allah tempatkan beliau, di tempat yang mulia bersama orang-orang yang Engkau muliakan. Curahkan kasih sayang secara sempurna kepadanya, sebagaimana Engkau telah mencurahkan kasih sayang kepada orang-orang yang Engkau kasihi dan sayangi. Ampunilah segala dosa dan kesalahannya. Amien
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang