Sukasah Syahdan
Semua manusia “sama” di mata hukum. “Kesetaraan” jender perlu diarusutamakan. Setiap warga Negara memiliki hak yang ”sama” untuk mendapat perlakuan yang adil. ”Kesamaan” hak bagi perempuan harus ditegakkan. Setiap warga negara berhak atas ”kesamaan” kesempatan kerja.” Dan sebagainya; dan lain-lainnya. Kesetaraan, kesamaan, persamaan atau kata-kata lain sebagai padanan untuk “equality” adalah konsep yang memesona tetapi juga melenakan. Makna sejatinya tidak jelas. Secara samar-samar, makna-makna tersebut tentu serupa, tetapi juga tentunya tidak sama. Sebelum memiliki kesamaan-pandangan dan pemahaman yang akurat terhadapnya, kita tidak bisa menggunakannya secara bermakna; bahkan mungkin sebaiknya kita lupakan saja.
Apa sih Persamaan Itu?
Dua benda dikatakan memiliki kesamaan jika keduanya identik dalam satu hal atau lebih. Kalau A dan B tingginya 1,5 meter, maka keduanya setara dalam tinggi badan. Jika C dan D bergaji tiga juta rupiah per bulan, keduanya memiliki kesamaan pendapatan. Jika E dan F memiliki kesempatan yang sama dalam kuis TV, maka keduanya berkesempatan sama untuk menang. Yang pasti, tidak ada dua obyek fisik yang benar-benar sama dalam semua hal. Bahkan dua benda buatan manusia yang kita anggap identik tetap berbeda susunan dan posisi atomnya. Apalagi manusia. Sebelum kita membahas ini lebih lanjut lanjutkan, perlu ditegaskan di sini bahwa tulisan ini menyarikan pandangan Rothbardian dari artikel J.B. Wolftein (lihat catatan kaki di bawah). Wolftein membahas tiga macam kesamaan, yaitu: 1) Kesetaraan secara politik— artinya hak terhadap kehidupan, kebebasan dan kepemilikan, tanpa gangguan dari pihak eksternal terhadap hal-hal tersebut; 2) Kesetaraan secara ekonomi, yang esensinya adalah kesamaan pendapatan atau kekayaan; 3) Kesetaraan secara sosial—yang dapat berupa (a) kesamaan status sosial, (b) kesetaraan dalam kesempatan, atau (c) kesamaan perlakuan, atau (d) kesamaan pencapaian.
Kesetaraan, Kebebasan dan Keadilan
Dengan cepat dapat diperlihatkan bahwa persamaan secara ekonomi dan sosial hanya dapat diraih dengan mengorbankan kesetaraan politis, sebab manusia berbeda dalam hal kemampuan, intelejensia, dan atribut-atribut lainnya. Dalam alam kebebasan, pencapaian, status, penghasilan dan kekayaan orang akan berbeda-beda. Seorang penyanyi berbakat akan mampu menarik penghasilan yang lebih besar dari seorang penggali kubur. Dan lain sebagainya. Hanya ada satu cara agar semua orang dapat menjadi setara dalam hal ekonomi atau sosial, yaitu melalui: redistribusi secara paksa terhadap kekayaan dan pelarangan terhadap perbedaan sosial. Menurut Nozick dari Fakultas Filsafat Harvard, dalam Anarchy, State and Utopia, kesetaraan ekonomi dan sosial membutuhkan intervensi pemerintah yang berkelanjutan tanpa henti terhadap transaksi-transaksi pribadi. Bahkan pun jika penghasilan disamaratakan, hal ini akan segera tidak setara jika orang masih memiliki kebebasan dalam membelanjakan uangnya. Kesetaraan ekonomi dengan demikian hanya dapat dipertahankan dalam sistem kontrol totalitarian terhadap kehidupan orang, atau pelucutan kebebasan masyarakat dalam mengambil
pilihan dan menggantikannya dengan keputusan sentralistik penguasa. Manusia bebas tidak setara secara ekonomi; manusia yang setara secara ekonomi, bukanlah manusia bebas. Kesetaraan ekonomi dan sosial hanya dapat dilakukan melalui interferensi koersif (yang bersifat memaksa)—di sini disebut sebagai egalitarianisme koersif.
Persamaan sebagai Ideal Etis
Adalah kenyataan bahwa orang berbeda satu dari lainnya. Pertanyaannya: haruskah orang berbeda? Ini pertanyaan etis; dan egalitarianisme adalah doktrin etis. Kesulitan utama kita dalam berurusan dengan hal-hal etis juga disebabkan oleh pandangan yang mengatakan bahwa etika adalah soal opini semata, dan bahwa satu sistem moral sama baiknya dengan sistem moral lainnya. Tetapi setiap kode/doktrin etis dan dapat dinilai setidaknya dengan tiga butir kriteria:
S
akaldankehendak.com
Volume I Edisi no. 5, 22 Mei 2007
2
(1) Apakah hal tersebut logis—apakah doktrin tersebut memiliki konsep dasar yang bermakna dan argumenargumen yang diajukan sahih;
(2) Apakah hal tersebut realistis—apakah doktrin tersebut memungkinkan manusia hidup bersama, ataukah justru bertentangan dengan kodratnya sendiri sebagai manusia, dan;
(3) Apakah hal tersebut diinginkan—apakah konsekuensikonsekuensinya sesuai dengan klaim-klaim yang diajukan atau justru bertentangan sama sekali; dan jika doktrin tersebut diterima, apakah hal tersebut membawa kebahagiaan manusia, ataukah justru kekecewaan dan keputusasaan?
Kriteria di atas dapat dipakai untuk menguji doktrin egalitarianisme koersif.
1. Apakah egalitarianisme-koersif logis? Egalitarianisme menyatakan bahwa semua orang harus setara, tetapi tidak banyak pihak egaliter yang mendefinisikan apa persamaan tersebut. Persamaan secara penuh adalah hal mustahil, sehingga konsep ini dapat seketika kita tolak. Konsep-konsep kesetaraan dalam bidang ekonomi dan sosial perlu didefinisikan secara pasti, karena maknanya berbeda-beda. Hingga definisi diberikan dengan jelas, doktrin egalitarianisme tidak dapat dianggap logis.
2. Apakah egalitarianisme-koersif realistis? Orang berbeda-beda dan memiliki sistem nilai yang berbeda pula. Karena hal tersebut adalah bagian dari kodrat dan kondisi manusia, maka tuntutan agar semua ini ditinggalkan adalah sesuatu yang bertentangan dengan kodrat manusiawi, dan tidak realistis.
3. Apakah egalitarianisme-koersif diinginkan?
Egalitarianisme koersif mengimplikasikan dunia tanpa wajah di mana orang-orangnya dapat saling dipertukarkan. Impian terhadap dunia semacam ini lebih menyerupai mimpi buruk daripada sebuah citacita, dan memang demikian adanya.
Negara yang pernah mempraktikkan kesetaraan ekonomi dan sosial adalah Kamboja, di bawah kepemimpinan Pol Pot. Di bawah rejimnya, seluruh populasi dipaksa meninggalkan kota dan semua orang dari berbagai usia dan status social dipaksa tinggal di desa dan bekerja sebagai buruh tani di lahan-lahan pertanian kolektif. Di Kamboja Pol Pot, semua orang harus berpikir, bekerja, dan berkeyakinan sama; setiap pemberontak akan dibunuh seketika di tempat. Saat ini di Kamboja utara dapat ditemui model perkampungan a la Pol Pot, di mana rumah-rumah penduduk tertata rapih, bersih dan berjajar identik. Di dekat perkampungan
tersebut adalah kuburan massal di mana ratusan kerangka manusia dikuburkan—sisa-sisa keberadaan sekelompok manusia yang mencoba mempertahankan individualitasnya. Perkampungan kuburan massal tersebut adalah simbol yang pas bagi egalitarianisme koersif. Sementara egalitarianisme koersif mengenakan topeng sebagai doktrin etis, kenyataannya justru sebaliknya. Etika mempra-asumsikan bahwa manusia mampu membedakan kebajikan dari kebatilan. Tetapi doktrin egalitarianisme koersif menuntut agar kita memperlakukan manusia secara sama, tanpa memerdulikan perbedaan-perbedaannya, termasuk dalam hal kebajikan. Menuntut agar orang yang bajik dan yang buruk diperlakukan setara adalah melakukan hal etis yang secara prinsip mustahil dipenuhi. Ringkasnya, egalitarianisme koersif tidak logis karena dia mendefinisikan apa isi dan definisi “kesetaraan” tersebut; dia tidak realistis karena mengharuskan kita menolak nilai nilai kemanusiaan itu sendiri; dan dia tidak diinginkan karena pada hakikatnya bertujuan menciptakan masyarakat manusia semacam koloni serangga. Meski secara emosional masih tetap menawan hati banyak orang, egalitarianisme koersif adalah doktrin yang gagal. _
(Sumber: J.B. Wollstein, The Idea of Equality, yang diterbitkan oleh The
Freeman: Ideas on Liberty – April 1980; Vol. 30 No. 4. Versi online