Memperluas Cakupan Wilayah Kajian Islam

penerimaan mahasiswa baru pada masing-masing IAIN/STAIN cukup besar. Beberapa IAIN menerima mahasiswa baru di atas 1000 orang, dan demikian juga beberapa STAIN menerima di atas 500 mahasiswa. Persoalan yang muncul kemudian adalah mau disalurkan ke mana sejumlah lulusan tersebut. Padahal sangat dimungkinkan lulusan tersebut bertambah tahun jumlah itu semakin besar. Mengabaikan persoalan ini, kiranya bukan merupakan sikap yang arif. Maka, persoalan ini perlu dipikirkan sebab jika mereka diharapkan memasuki birokrasi Departemen Agama atau mungkin juga departemen yang lain yang sekiranya relevan, kebutuhannya belum sebanyak itu. Departemen Agama saja yang paling memiliki relevansi dengan perguruan tinggi agama Islam, membutuhkan tidak lebih dari 1000 orang pada setiap tahunnya. Jumlah penerimaan pegawai baru tersebut sangat kecil kemungkinannya dapat ditingkatkan, apalagi pada akhir-akhir ini penerimaan calon pegawai negeri juga setiap tahun tidak seberapa jumlahnya. Masyarakat Indonesia ini pada umumnya ketika mengirimkan putra-putrinya masuk ke perguruan tinggi, berharap agar setelah lulus dapat segera mendapatkan pekerjaan. Pandangan itu wajar dan bahkan semestinya, oleh karena menganggur di mata masyarakat, apalagi bagi mereka yang sudah menjadi sarjana, adalah dianggap nista. Oleh karena itu sesungguhnya persoalan ini bukan sesuatu yang bersifat sederhana, melainkan hal yang menuntut pihak-pihak yang terlibat memikirkan secara saksama. Memang, beberapa argumen dapat dikemukakan sekedar menghibur agar tak terlalu merisaukan, misalnya tokh sarjana IAIN/STAIN masih selalu dapat diterima dan mengabdikan diri di tengah masyarakat sebagai pemimpin kehidupan agama. Alasan ini benar, tetapi kurang realistik, sebab mereka yang sudah menjadi guru agama di sekolah-sekolah agama atau mengurus masjid, mengajar anak-anak mengaji al Qur^an dan sejenisnya yang pada umumnya belum mendatangkan imbalan yang layak itu, sesungguhnya dilakukan semata-mata karena belum memperoleh pekerjaan yang menjanjikan masa depan. Jika pekerjaan itu telah didapatkan, umumnya pekerjaan voulenteer keagaan itu akan ditinggalkan juga. Membiarkan persoalan, sebagaimana dikatakan di muka, adalah bukan merupakan sikap arif dan bijak. Sebab, adalah tepat sebuah pandangan yang mengatakan bahwa penyandang profesi harus menerima imbalan untuk mencukupi kebutuhan hidup diri dan keluarganya. Kiranya tidak akan populer pada saat ini, apalagi di masa depan, jika seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan (ekonomi) sendiri dan atau hanya mencukupkan apa adanya. Sekjen Departemen Agama (Marwan Saridjo) seringkali mengingatkan, jangan sampai generasi kita mendatang hanya akan menjadi korban idealisme kita. Anak-anak kita masukkan ke dalam lembaga pendidikan yang menurut kita hebat, padahal dalam kenyataannya sulit mencari alternatif lapangan pekerjakan yang menjanjikan. Menjawab persoalan itu, menurut hemat saya, harus ada kebijakan yang amat mendasar yang diambil oleh pemerintah dalam hal ini Departemen Agama atau setidak-tidaknya oleh masing-masing pimpinan Perguruan tinggi agama Islam (IAIN/STAIN). Kebijakan itu misalnya, memberikan kemampuan profesional tambahan bagi calon sarjana IAIN/STAIN. Kemampuan profesional itu berbentuk misalnya, pemberian sertifikasi program-program deploma yang di perlukan di pasar. Ke depan kiranya dalam memasuki industrialisasi dan atau ekonomi modern memerlukan tenaga-tenaga trampil seperti komputer, pemasaran, komunikasi, teknologi tepat guna dan semacamnya. Alternatif lain yang dapat dilakukan adalah merombak struktur keilmuan yang dikembangkan selama ini yang diyakini dapat mengantarkan para lulusannya memiliki kemampuan yang mendalam dalam studi Islam tetapi juga memiliki disiplin ilmu modern. Contoh konkrit misalnya, beberapa IAIN/STAINdengan membuka program-program studi umum. Alternatif tersebut agak berat jika IAIN/STAIN konsisten dengan komitmen atau visi dan misinya yaitu di antaranya ingin mengembangkan studi Islam. Tetapi, jika hal itu memang menjadi tekad yang kukuh, sebenarnya tak ada halangan sedikitpun untuk melaksanakan strategi itu. Sebab, sejarah telah memberi pelajaran bahwa para ilmuwan muslim seperti al Kindi, Al Farobi, Ibnu Sina dan masih banyak lagi lainnya adalah para sarjana yang mendalami bidang studi Islam tetapi mereka juga diakui keilmuannya dibidang tertentu, seperti kedokteran, filsafat, astronomi dan lain-lain. Demikian juga di tanah air ini telah muncul nama-nama seperti Sahirul Alim, Jalaluddin Rahmat, Imaduddin Abdurrahiem, Syafi’i Maarif, adalah adalah beberapa contoh tepat sebagai sosok sarjana Islam ke depan yang dapat dihasilkan oleh IAIN dan STAIN. Saya malah pesimis terhadap perguruan tinggi Islam ke depan, jika peningkatan kualitas lulusan IAIN/STAIN hanya tetap berkutat pada bidang keilmuan yang selama ini dikembangkan. Persoalan IAIN dan STAIN bukan hanya terletak pada kualitas lulusannya, melainkan lebih dari itu, juga perlunya dipertanyakan relevansi keilmuan yang dikembangkan dengan tuntutan masyarakat ke depan, apalagi jumlahnya yang sedemikian besar itu. Wallahu a’lam

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share