Sudan Baru

Laut Merah. Keadaan Sudan sekarang bilamana dibandingkan dengan lima tahun yang lalu sungguh berbeda. Dan, perbedaan itu sangat mencolok. Sudan yang dulu saya kesankan sebagai negeri yang tertinggal, kini berubah cepat. Ketika empat tahun lalu saya ke Sudan, hotel satu-satunya yang bagus hanya hotel Hilton. Itu pun keadaannya tidak seperti Hilton yang ada di Jakarta. Ta,mpak sudah tua, termasuk segalanya. Tetapi sekarang hotel-hotel sudah mulai banyak. Di sana sini sudah tampak bangunan bertingkat, dan bagus-bagus. Sarana transportasi, mobil-mobil baru, sudah sangat banyak. Di beberapa tempat sudah seperti di kota-kota Timur Tengah lainnya. Dulu di tengah kota pun, jalan-jalan sekalipun telah diaspal, masih banyak debu berkeliaran dibawa angin. Warna mobil-mobil tidak sebagaimana warna asli catnya, karena tertutup oleh debu. Selain itu juga tidak terlalu banyak mobil baru. Sekarang hampir menyeluruh, kendaraan di jalan-jalan kota sudah banyak yang macet. Padahal fasilitas jalan di seluruh kota itu sudah diperluas. Pembangunan fasilitas jalan tidak saja di kota, tetapi juga telah dibangun jalan-jalan yang menghubvungkan kota Korthoum dengan kota-kota propinsi dan juga kota-kota yang lebih kecil lainnya. Perkembangan pesat Sudan juga disaksikan oleh Duta Besar Indonesia untuk Sudan. Beliau menginformasikan beberapa ribu kilometer jalan-jalan Sudan telah dibangun dengan kualitas bangunan yang kuat. Mobil-mobil tronton beroda 24 melalui jalan-jalan itu. Sudan sudah seeperti dulu lagi katanya. Jika berkunjung ke daerah-daerah sekarang sedemikian mudah dan juga aman. Kemajuan itu dimulai tahun 2005, yaitu sejak terjadi titik temu dan ditindak-lanjuti tandatangani kesepahaman pembangunan bersama, antara Sudan Utara dan Sudan Selatan. Sebagai tindak lanjutnya, mulai dieksplorasi sumber-sumber minyak yang cukup besar yang dimiliki oleh Sudan. Sudan ternyata sama dengan negara-negara teluk lainnya, kaya sumber minyak Sekalipun baru dua titik wilayah yang berhasil dieksplorasi kini sudan setiap hari telah memproduksi sekitar 800.000 barrel perhari. Tahun 2009 kapasitas itu akan ditingkatkan menjadi sekitar satu juta barrel perhari. Padahal menurut informasi dari beberapa tokoh di kampus-kampus, Sudan memiliki tidak kurang dari 14 titik pengeboran minyak. Sebagai Gambaran lain atas kemajuan yang telah dicapai oleh negara dari mana Syekh Surkati yang telah membangun al Irsyad ini datang, kita lihat di kota itu di mana-mana sedang dibangun hotel, pusat-pusat bisnis, perkantoran dan juga perumahan rakyat. Saya membayangkan beberapa tahun saja ke depan, jika stabilitas negara itu bisa dijaga, akan berhasil menyusul kemajuan yang diraih oleh beberapa negara teluk lainnya yang sudah terlebih dulu maju. Di beberapa sudut kota, terpampang pada papan-papan besar sebagai petunjuk sedang dibangunnya berbagai jenis fasilitas umum tersebut. Saya lihat pelaksana pembangunan berskala besar dilakukan oleh negara asing, seperti Cina, Jepang, Rusia dan lain-lain. Empat tahun yang lalu, saya melihat di hotel hanya satu dua orang asing di sana. Sekarang sudah jauh berbeda, hotel-hotel dipenuhi oleh orang asing. Rupanya mereka adalah para pengusaha di berbagai bidang, seperti perminyakan dan juga para pekerja kontraktor bangunan-bangunan yang sedang tumbuh itu. Sebagai gambaran yang pada satu sisi terasa kurang menyenangkan, ialah ternyata Sudan sudah memiliki daya tarik sendiri bagi pekerja TKW Indonesia. Dulu anak-anak Indonesia pada umumnya belajar ilmu agama ke beberapa universitas di sana, atas beasiswa dari Pemerintah Sudan. Saya sedemikian kaget, Sudan sudah mulai memiliki kekuatan daya tarik bagi pencari kerja sebagai pembantu rumah tangga dan sopir, termasuk dari Indonesia. Menurut informasi dari staf kedutaan Indonesia, baru beberapa tahun terakhir ini saja, sudah tidak kurang dari 800 an TKW datang dan kini bekerja di keluarga-keluarga orang Sudan. Mereka memilih Sudan, karena pertimbangan besarnya gaji yang diperoleh sama seperti jika bekerja di Kuait, Saudi, Kattar dan lain-lain. Menurut informasi gaji di sana sebesar 250 dolar setiap bulan. Keuntungan lainnya, masyarakat Sudan tidak terlalu memberlakukan aturan secara ketat, dan hari-hari tertentu, misalnya hari Jum’at diberi peluang libur untuk keluar rumah. Melihat kenyataan ini, rasanya pantas jika kemudian kita prihatin dan tergerak keinginan, kapan bangsa Indonesia mengalami kemajuan seperti itu. Kekayaan alam sesungguhnya Indonesia tidak kalah dengan negara-negara itu, dan bahkan dalam hal tertentu berlebih. Tetapi anehnya, sampai saat ini anak-anak generasi bangsa ini, sebatas mencari 250 dolar saja per bulan masih harus pergi menyeberang ke negeri yang amat jauh letaknya. Jika dirasakan secara mendalam, keadaan ini sungguh sangat memprihatinkan. Orang sering kali bertanya, apa sesungguhnya yang kurang di negeri ini. Secara spontan, saya seringkali menjawab untuk diri saya sendiri, bahwa kekurangan itu jangan-jangan bukan terletak pada keterbatasan sumber daya alam, melainkan berupa kekuatan sumber daya nurani. Pada kenyataannya, bangsa ini bukan sibuk menolong bagi mereka yang tidak memiliki lapangan pekerjaan, membantu bagi mereka yang belum punya rumah, kekurangan sandang dan pangan, melainkan masih pada repot pesan bendera untuk bersaing memenangkan berbagai jenis pemilihan kepala daerah, pemilu legislatif maupun Pilpresnya. Kapan kita berhenti dari sebatas orientasi itu, dan secara bersama-sama bersatu mengejar tuntutan kemajuan, maka jawabnya yang tepat adalah jika kita semua sudah berhasil memiliki kekuatan nurani yang cukup, artinya telah memiliki kepedulian yang serius terhadap kondisi seluruh bangsa ini. Allahu a’lam.

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share