Pagi kemarin, Sabtu tanggal 21 Nopember 2009, saya tidak melakukan kegiatan rutin sebagaimana biasa, menulis bakda sholat subuh, karena jam 03.00 harus berangkat ke Surabaya untuk selanjutnya ke Denpasar, Bali. Hari itu diundang oleh Rektor Institut Agama Hindu Dharma Negeri Bali untuk bersama-sama menanda-tangani naskah kerjasama dengan UIN Maliki Malang. Upacara penanda-tanganan MoU itu dibarengkan dengan upacara Dies Natalis ke V IHDN Bali pada hari itu. Sesampainya di Lapangan Terbang Ngurah Rai, Bali, saya dijemput oleh mantan Kakanwil Deparftemen Agama, Bali dan Mantan Rektor IHDN. Rektor IHDN Bali yang baru tidak bisa menjemput sendiri, sebagaimana sebelumnya ketika saya berkunjung ke sana, karena harus mempersiapkan upacara Dies yang dilaksanakan pada siang itu. Di antara hal menarik perhatian saya dalam perbincangan dengan mantak Kakanwil Departemen Agama dan juga dengan mantan Rektor IHDN Bali adalah tentang semakin langkanya air bersih di Bali. Beliau berdua di sepanjang perjalanan dari Airport ke kota Bangli, kampus IHDN Bali yang baru, membicarakan tentang semakin langkanya air bersih di Bali. Beberapa tahun lalu, di Bali juga pernah dibicarakan oleh para pimpinan berbagai negara tentang kelangkaan air itu. Menurut mantan pejabat penting di Bali yang menjemput saya tersebut, dulu ketika mereka masih kecil, biasa bermain di parit-parit atau selokan yang ada di kanan atau kiri rumah. Di tempat-tempat itu, airnya jernih dan selalu mengalir. Anak-anak kecil biasanya bermain di situ. Bahkan di parit-parit atau sungai kecil yang airnya jernih itu banyak ikan air tawar yang hidup di situ. Anak-anak banyak bermain di situ, sambil menangkapnya. Gambaran indah itu, sekarang ini sudah tidak tampak lagi. Parit-parit itu sekarang sudah tidak ada airnya, keculai di musim hujan yang hanya beberapa saat. Bahkan sungai-sungai, yang dulu airnya jernih dan selalu mengalir, sekarang keadaan yang indah itu sudah tidak ada lagi. Sungai seolah-olah sudah menghilang. Hanya ada air mengalir di sungai ketika musim hujan. Setelah itu sudah tidak ada lagi. Pada saat ini, kata mantan Kakanwil dan mantanb Rektor IHDN Bali, sudah seringkali terjadi perebutan air antara organisasi subak, PDAM, dan para pemilik Hotel. Semua pihak membutuhkan air yang cukup, sementara persediaannya semakin terbatas. Dalam pembicaraan itu, mereka membayangkan apa yang akan terjadi, jika air bersih sudah nyata-nyata tidak tersedia lagi. Pada saat sekarang ini saja, penggalian air bersih sudah semakin sulit. Dulu, masyarakat pada umumnya memanfaatkan air tanah dengan menggali sumur. Mendapatkan air bersih dengan cara membuat sumur seperti itu, sekarang di beberapa tempat sudah sulit dilakukan, kecuali penggaliannya lebih jauh ke dalam lagi. Kiranya apa yang dirasakan di Bali itu juga terjadi di mana-mana di Indonesia, lebih-lebih di kota-kota besar. Air semakin langka dan mahal. Bahkan air, selain sulit dicari kadang juga selalu membawa petaka. Tatkala musim hujan segera terjadi banjir hingga menyusahkan banyak orang. Sebaliknya, tatkala datang musim kemarau, air itu kembali tidak mudah didapat. Kelangkaan air di masa depan di negeri ini, cepat atau lambat, pasti akan datang. Padahal air merupakan kebutuhan pokok yang semakin hari semakin banyak dibutuhkan. Benda ini tidak akan bisa digantikan oleh lainnya, karena itu harus diadakan. Oleh karena itu, mulai saat ini harus ada perencanaan dan langkah-langkah untuk mengatasi ancaman kekurangan itu, termasuk oleh pemerintah sendiri. Menghadapi beban kehidupan bangsa seperti itu, —–kebutuhan air bersih saja misalnya, ——tidak boleh dianggap ringan. Persoalan air bersih, listrik, dan kebutuhan bahan pokok lainnya tidak boleh terabaikan, hanya karena terlalu sibuk ngurus perselisihan antar elite, sebagaimana yang terjadi akhir-akhir ini. Para pemimpin menghadapi persoalan berat ini, semestinya tidak boleh terlalu sibuk hanya mengurusi persoalan pemimpin, yang akibatnya lupa terhadap persoalan rakyat, baik pada hari ini maupun masa depan. Wallahu a’lam.
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang