Mestinya bulan ini, saya menghadiri undangan ke Libya, akan tetapi karena  di negara tersebut sedang terjadi peperangan,   maka rencana itu batal.   Setelah berdiskusi panjang,  mantan menteri pendidikan Libya yang berkunjung  ke UIN Malang beberapa waktu yang lalu, tertarik dengan konsep   integrasi antara Islam dan ilmu pengetahuan modern. Ia merasa diskusi tersebut perlu dilanjutkan, dan bahkan ia menghendaki agar saya berkunjung ke negaranya dan  mengusahakan agar sekalian bisa bertemu dengan Muamar Qadafi. Â
 Untuk memenuhi rencana  kunjungan itu, saya sudah diminta dan mengirimkan dokumen-dokumen yang diperlukan, dan bahkan rencana bertemu dengan presiden yang telah berkuasa selama 40 tahun itu ternyata juga dikabulkan.  Saya tentu saja merasa senang, manakala konsep bangunan keilmuan yang dikembangkan oleh UIN Malang selama ini mendapat respon dari banyak pihak. Sebagaimana tahun lalu, saya juga diundang ke Sudan, untuk mendiskusikan konsep tersebut dengan banyak  pimpinan perguruan tinggi di sana dan bahkan juga dari negara-negara Islam lainnya.    Akan tetapi dengan situasi di Libya seperti sekarang ini, maka rencana itu tidak akan mungkin terlaksana dalam waktu dekat atau bahkan selama-lamanya.  Selanjutnya yang saya bayangkan adalah  keadaan di negara itu,    setelah beberapa hari ini dilanda krisis, dan bahkan  telah mendapatkan  serangan dari Amerika Serikat dan para sekutunya, maka keadaannya akan sangat mengerikan. Di negara itu juga telah diberlakukan larangan terbang atau no fly zone. Memperhatikan  apa yang terjadi di Libya sekarang ini, maka  terbayang apa yang pernah saya alami ketika pada awal tahun 1990 an, saya bersama Pak Amien Rais dan Pak syafii Maarif,   memenuhi undangan pemerintah Irak ke Baghdad. Ketika itu Iraq juga diberlakukan kebijakan serupa, larangan terbang, sehingga sebagai akibatnya, untuk menuju ke kota itu dari Amman, Yordan, yang berjarak sekitar 1000 an  km harus menempuh dengan kendaraan darat.  Berkunjung ke daerah dalam suasana krisis atau perang, selain selalu direpotkan oleh banyaknya pemeriksaan di jalan-jalan, juga selalu was-was, manakala sewaktu-waktu ada kiriman bom. Kekhawatiran itu ternyata juga terjadi, yakni seminggu setelah kami meninggalkan Baghdad, mendapatkan kabar bahwa ternyata hotel di mana kami bertiga menginap, yaitu Hotel ar-Rosyid—–hotel terbesar di kota itu,  dibom oleh Amertika Serikat. Membayangkan Libya pada saat sekarang ini, mungkin lebih mengerikan dibanding  apa yang terjadi di Irak  ketika saya berkunjung ke negeri itu, yakni setelah negeri itu digempur padsa babak pertama oleh tidak kurang dari 28 negara yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Ketika itu saya merasakan, betapa perasaan tidak aman selalu mewarnai kehidupan sehari-hari. Penjagaan di jalan-jalan sedemikian ketat. Pemeriksaan dilakukan berulang kali oleh serdadu, tidak saja terhadap dokumen yang dibawa, melainkan hingga mobil yang dikendarai pun dilihat hingga  semua bagian secara teliti dalam waktu yang lama.  Dalam keadaan yang tidak aman, maka  banyak orang melakukan spekulasi untuk mencari untung sebanyak-banyaknya, sekalipun merugikan bagi orang lain. Saya masih ingat ketika itu, sehari saya menginap di hotel, saya menukarkan dollar dengan dinar. Harga satu dinar  di bank resmi sama dengan tiga dollar, sehingga untuk mendapatkan seratus dinar saya harus mengeluarkan sebanyak  tiga ratus dollar. Saya pikir, hebat benar nilai tukar uang pemerintah  Saddam Husein ini, tiga kali lipat nilai dollar.  Semula nilai tukar seperti itu, saya kira sebagai hal biasa yang berlaku umum. Namun kemudian, saya menjadi sangat terkejut, tatkala naik taksi dari Hotel Ar Rasyid ke kantor Kedutaan RI yang jaraknya hanya sekitar 2 km, harus membayar 100 dinar,  sama dengan 300 dollar. Tentu ketika itu, saya sangat terkejut, dalam pikiran saya, akan berapa hari  bisa bertahan di negeri yang tidak aman itu dengan bekal yang saya bawa.  Setelah pengalaman itu saya sampaikan ke staf kedutaan, saya diberi penjelasan bahwa,  menukarkan dollar  semestinya tidak ke bank resmi, melainkan seharusnya ke pasar gelap. Harga dollar di black market  berbalik  berlipat-lipat,  bukan dollar lebih murah dari dinar, melainkan sebaliknya, yaitu seratus dollar bisa dihargai tiga ribu dinar. Inilah salah satu hal yang terasa, betapa sulitnya hidup di negeri yang sedang mengalami krisis. Dalam suasana perang, selain di mana-mana tidak aman, ——-takut ada  bom, juga selalu khawatir terhadap adanya spekulan yang sangat merugikan. Oleh karena itu, membandingkan di negeri sendiri ini, Indonesia  dengan beberapa negara yang sedang  bergejolak seperti di Mesir, Tunis, Yaman, Bahrain,  dan lain-lain, dan apalagi akhir-akhir ini adalah Libya, maka tidak ada lain,  kecuali harus bersyukur.  Sekalipun di negeri kita ini banyak problem yang terjadi, tetapi keadaannya masih terasa sedemikian aman.         Saya  juga merasa bersyukur, belum jadi berangkat ke Libya memenuhi undangan mantan menteri Pendidikan, untuk bertemu dengan  Muamar Qadafi. Umpama saja  terlanjur ke sana, maka akan merasakan sama dengan apa yang saya rasakan dulu,   dalam suasana perang,  ketika sedang berkunjung  ke Baghdad, Iraq.  Wallahu a’lam. Â
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang