Dua kata pada judul tulisan ini sebenarnya memiliki arti berbeda, tetapi seringkali dipersamakan. Berburu adalah kegiatan untuk menangkap binatang buruan, yang biasanya dilakukan di hutan. Umumnya berburu tidak sendirian, dilakukan bersama-sama dan bahkan juga kalau perlu, menggunakan anjing. Itulah sebabnya ada sebutan anjing buruan, artinya anjing yang dimanfaatkan khusus untuk berburu.
Berbeda dengan berburu adalah berpolitik. Jika berburu yang ditangkap adalah binatang, maka dalam berpolitik yang diatangkap adalah kekuasaan. Oleh karena itu, sementara ahli mengartikan politik adalah kegiatan untuk mendapatkan, mempertahankan, dan memanfaatkan kekuasaan. Secara teoritik, kekuasaan biasanya digunakan sebagai sarana untuk mensejahterakan rakyat. Namun arti itu kadang dalam pelaksanannya, bisa saja berubah, yaitu bukan lagi untuk mensejahterakan rakyat, melainkan untuk kepentinan diri sendiri, keluarga atau kelompok politiknya itu. Tatkala berburu, yang biasanya melibatkan beberapa orang, —– termasuk anjing buruannya itu, jika berhasil, maka hasilnya akan dibagi-bagi kepada semua dari mereka yang terlibat itu. Pembagian itu mesti dilakukan secara merata dan adil, kecuali untuk anjingnya. Anjing yang diajak berburu biasanya diberi bagian yang tidak disukai oleh orang, misalnya bagian perut atau bahkan tulangnya saja. Soal bagi membagi hasil buruan tidak banyak melahirkan masalah. Jika terjadi pembagian yang tidak adil, maka pihak-pihak yang merasa dikhianati akan memisahkan diri dari kelompok itu atau kemudian bergabung dengan kelompok lain, dan bahkan bisa jadi, membuat kelompok tersendiri. Pembagian yang tidak adil dari hasil buruan tidak terlalu banyak melahirkan masalah, karena berburu bukan semata-mata mencari daging buruan, melainkan ada saja sementara orang yang menjadikan kegiatan itu sebagai penyaluran kesenangan atau hoby belaka. Rupanya pada kenyataannya, berpolitik pun kadang juga serupa dengan berburu. Setelah menang sehingga mendapatkan kekuasaan, maka siapa saja yang terlibat akan mendapatkan bagian secara merata. Jika kekusaan itu sudah didapat, katakanlah menjadi bupati, wali kota, gubernur, atau apa saja, maka pihak-pihak yang merasa terlibat atau ikut andil memenangkan pemilihan, akan meminta bagiannya. Pembagian itu bermacam-macam, bisa berupa jabatan, kedudukan, atau proyek-proyek yang mendatangkan keuntungan. Jika hal itu benar-benar terjadi, maka pejabat yang berhasil menduduki jabatan itu tidak selalu berkuasa sepenuhnya. Ia harus membagi-bagi kekuasaan yang diperolehnya, tidak terkecuali, proyek-proyek yang mendatangkan keuntungan itu. Padahal selain itu, ia juga dituntut harus memenuhi janjinya meningkatkan kesejahteraan rakyat. Keadaan yang demikian menjadikan pejabat tidak bisa obyektif lagi. Orang-orang yang telah terlibat dan juga pengusaha yang selama itu telah memberi andil, harus mendapatkan sesuatu. Gambaran seperti ini menjadikan berpolitik mirip dengan berburu. Kedua-duanya sama-sama dituntut untuk melakukan pembagian hasil buruannya, baik hasil binatang buruan, ataupun hasil-hasil kekuasaan yang diperolehnya. Padahal semestinya, antara berburu dan berpolitik harus dibedakan secara tegas. Berburu hanya sebatas mendapatkan hewan buruan, tetapi berpolitik selalu memiliki misi yang lebih mulia, yaitu mensejahterakan rakyat. Membagi-bagi hasil buruan boleh-boleh saja, karena memang merupakan hasil kerja bersama. Akan tetapi berpolitik semestinya tidak boleh dilakukan sebagaimana berburu. Misalnya, setelah menang dan mendapatkan kekuasaan, lalu hanya bagi-bagi kekuasaan dan proyek untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu saja. Berpolitik seharusnya tetap diposisikan secara terhormat, yaitu sebagai upaya mensejahterakan rakyat, dan tidak diorientasikan selainnya itu. Apalagi, hanya diserupakan dengan berburu. Wallahu a’lam.
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang