Apa sebabnya, orang di mana dan kapan pun suka berebut. Anehnya apa yang diperebutkan, kadang juga tidak jelas. Yang penting ikut berebut. Ketika kita sedang di jalan, misalnya, sering menjumpai beberapa mobil berebut saling mendahului. Ternyata pemenangnya juga tidak memperoleh apa-apa. Sebatas, asalkan merebut itu. Contoh lain, tatkala sedang mau masuk pesawat terbang, sekalipun masing-masing penumpang sudah memiliki nomor kursi, ternyata juga masih berebut agar bisa masuk duluan. Mungkin mereka hanya ingin menang, berhasil bisa duluan. Saya juga lihat perebutan itu justru di tempat suci sekalipun, di Masjidil Haram. Mereka berebut bisa mencium hajar aswat, yang berhasil tentu, merasa puas. Tetapi dalam hidup ini, memang ada sesuatu yang harus diperebutkan. Perebutan ini jumlah dan jenisnya banyak sekali. Hampir di semua bidang kehidupan. Pagi-pagi di pasar orang saling berebut mendapatkan dagangan, memperebutkan kesempatan diterima sebagai PNS, memperebutkan bisa masuk ke perguruan tinggi negeri, dan lain-lain. Agama pun sesungguhnya membolehkan kita berebut, yakni berebut melakukan kebaikan, mendapatkan ridho Allah. Di negeri ini, pada saat sekarang sedang persiapan memperebut kan posisi penting, yakni presiden dan wakil presiden. Posisi ini sangat terhormat, hanya memilih dua orang —-presiden dan wakil presiden, di antara sekian juta orang. Akan tetapi aneh, yang berani berebut jumlahnya tidak banyak. Sebagaimana yang sudah-sudah, paling hanya diikuti oleh beberapa pasang calon saja.
Sekalipun begitu, perebutan posisi sebagai kepala Negara dan sekaligus kepala pemerintahan ini, menyita perhatian bagi seluruh rakyat, yang jumlahnya lebih dari 200 juta jiwa. Selain itu biayanya juga sangat mahal. Saya mendengar, bahwa yang resmi saja, anggaran KPU untuk menopang kegiatan menyelesaikan pemilihan angota legislatif dan presiden, sampai menghabiskan puluhan triliyun. Dari mana uang itu didapat, jawabnya tentu berasal dari uang rakyat. Perkara sementara ini rakyat, sebetulnya masih kekurangan sembako, tidak mampu membayar SPP, rumah tempat berteduh mereka masih sangat tidak layak dan seterusnya, semua itu tidak perlu dipermasalahkan. Yang terpenting, karena harus mengikuti ketentuan, sekalipun mahal, tidak mengapa, berapapun dibayar. Memang, memuaskan hati itu biayanya mahal. Menjadi wakil rakyat, apalagi menjadi orang nomor satu atau dua di antara ratusan juta orang, di negeri ini, siapa yang tidak kepingin. Jika pada setiap pemilihan kepala Negara hanya ada beberapa saja yang mencalonkan diri, tidak berarti bahwa yang lain tidak berminat. Mungkin mereka sudah bisa mengukur dan memposisikan dirinya masing-masing. Sehingga mencalonkan pun merasa tidak akan terpilih, maka mengurungkan keinginan itu. Dalam Bahasa Jawan,tepo seliro, atau menyadari posisi dirinya, tidak akan ada yang memilih. Orang seperti ini sudah menghitung-hitung, atau berkalkulasi, daripada maju dan tidak akan terpilih, lebih baik tidak mencalonkan, cukup memilih peran sebagai pendukung salah satu calon saja. Pilihan itu lebih aman, kalah atau menang orang yang dijagokannya itu, mereka tidak akan rugi, namun jika menang ikut bergembira. Saya tidak pernah paham, berapa besar biaya yang harus dikeluarkan oleh masing-masing calon legislative, bupati, wali kota, gubernur dan apalagi presiden dan wakilnya dalam pemilihan itu. Saya awam sekali soal itu. Ada banyak tahap yang harus dilalui oleh para calon. Semua itu mengharuskan disediakan pendanaannya, yang tidak kecil jumlahnya. Misalnya, berkampanye dengan berbagai cara, mulai dari menyelenggarakan rapat terbuka di mana-mana, hingga memasang iklan di berbagai media massa, kiranya semua itu tidak gratis. Terkait dengan besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh kandidat pejabat, saya pernah ketemu seorang bupati, dengan berterus terang mengungkapkan kepada saya, bahwa biaya yang harus dikeluarkan untuk meraih jabatan yang baru saja didapat, tidak kurang dari 5 milyart. Atas dasar pengalamannya itu, dia memperkirakan seorang calon gubernur, harus mengeluarkan dana hingga ratusan milyard. Contoh lain, adalah calon anggpota legislative tingkat paling bawah, yakni anggota DPRD. Sebatas sebagai calon wakil rakyat setingkat itu, mereka harus mengeluarkan uang puluhan dan bahkan ratusan juta. Di antara mereka ada yang berhasil dan terpilih, tetapi juga ada yang gagal. Padahal tabungan dan bahkan semua hartanya terlanjur dihabiskan untuk kemenangan menjadi bupati, Gubernur dan wakil rakyat itu. Banyak hal yang dakibatkan dari perebutan posisi-posisi terhormat ini. Akhir-akhir ini setelah selesai pemilihan calon legislative, diberitakan banyak calon legislative yang gagal, kemudian menjadi stress. Mereka capek, malu dan sekaligus harta kekayaannya habis. Resiko itu sedemikian berat. Tetapi, mengapa mereka nekat mencalonkan diri, maka jawabnya mudah, memang manusia itu suka berebut, termasuk memperebutkan posisi-posisi yang dianggap terhormat itu. Tatkala perebutan itu sedang berlangsung, mereka lebih banyak membayangkan kenikmatan, jika kemenangan itu berhasil diraih. Sebaliknya, mereka pada saat itu, tidak terlalu membayangkan resiko yang harus ditanggung olehnya. Ternyata resiko yang menyakitkan itu yang justru datang, dan bukan sebaliknya, yakni kegembiraan. Sekalipun dulu pernah diajari hitung-menghitung dalam pelajaran matematika, dan bahkan pelajaran itu sudah dinyatakan lulus UN segala, ternyata berkalkulasi matematik itu tidak digunakan, akhirnya kalah kemudian menjadi stress. Yang saya bayangkan dengan besarnya biaya pilkada dan pemilu, untuk di berbagai level, ——tingkat kota/kabupaten, propinsi dan nasional, bukan saja kerugian langsung bagi masing-masing kandidat, lebih dari itu adalah harga yang sangat tinggi, yakni berupa kemerosotan moral yang diakibatkan oleh proses pemilihan elite politik itu. Dulu, di setiap desa dalam pemilihan kepala desa juga dilaksanakan proses pemilihan langsung oleh rakyat. Setelah dilakukan pemilihan itu, banyak orang kaya yang berubah menjadi miskin, dan kadang sangat miskin. Dikatakan sangat miskin, karena selain hartanya habis, masih ditambah harus membayar hutang dari biaya pencalonan itu. Mereka yang bangkrut itu tidak saja para calon kepala desa, melainkan para botoh atau pemain judi yang kalah. Dalam taruhan itu dikenal istilah sak leker genthong. Artinya pihak yang kalah dalam bertaruh, mereka beserta keluarganya akan meninggalkan rumah seisinya dan kemudian rumah itu diserahkan ke pihak pemenangnya. Dampak psikologis, yaitu orang menjadi frustasi, murung, dan bahkan juga melakukan kejahatan, luar biasa banyaknya setelah pemilihan kepala desa ini. Dampak negative ini tidak mudah disembuhkan. Apa yang terjadi dalam pemilihan kepala desa, yaitu menjadikan banyak orang bangkrut, ternyata juga lebih berkembang lagi dalam pilkada maupun pilpres. Yang dibicarakan oleh mereka adalah uang. Jika para caleg, cawali, dan cagub menjadi stress setelah pelaksanaan pemilihan, disebabkan karena harus mengeluarkan segara energi yang dimiliki. Harta kekayaan mereka habis. Memang berbeda dengan dulu, orang bisa digerakkan lewat kekuatan ideology. Melalui gambar atau symbol, orang menjadi bersemangat dan bangkit. Mereka rela berkorban dan melakukan apa saja, untuk membela symbol yang dicintai itu. Berbeda dengan dulu, sekarang sudah tidak ada lagi symbol-symbol itu. Bahkan kalau masih ada, symbol itu sudah tidak laku. Kini, yang dipentingkan oleh banyak orang adalah apa yang ada di balik symbol, ialah uang dan uang. Bahkan tidak sedikit orang juga bermain dengan itu. Oleh karena itulah kemudian muncul istilah politik uang dan sejenisnya. Pilkada dan juga pemilu, —–sebagaimana dalam pemilihan kepala desa, dampak dan korban piskologisnya semakin luas dan lebih besar lagi. Jika jabatan public harus diperebutkan melalui uang yang kadang jumlahnya tidak masuk akal itu, maka konsekuensinya adalah terjadinya penyimpangan-penyimpangan di dalam dunia birokrasi. Hukum bisnis akan berlaku. Uang yang telah dikeluarkan sebelumnya untuk mendapatkan jabatan tersebut harus bisa kembali. Jika untuk menjadi caleg, bupati, wali kota atau gubernur dan seterusnya harus mengeluarkan uang, maka selesai menduduki jabatan itu, sejumlah uang tersebut harus kembali semuanya, dan bahkan harus lebih banyak lagi jumlahnya, agar bisa disebut beruntung. Sebagai akibatnya, sebagaimana yang banyak terjadi akhir-akhir ini, banyak pejabat, ——anggota DPR, DPRD, bupati, wali kota, gubernur, tertangkap KPK karena telah melakukan korupsi. Mengapa mereka masih berani korupsi, jawabnya adalah untuk menebus modal yang telah dikeluarkan sebelumnya. Akhirnya, memang berebut itu biayanya sangat mahal, apalagi berebut kekuasaan di zaman sekarang. Tidak sedikit wilayah public, di negeri ini, yang menuntut beaya tinggi bagi calon pejabatnya. Mereka harus menyediakan modal besar. Rakyat pun juga tahu semua itu. Akhirnya jabatan itu di mata public juga tidak terlalu dianggap mulia dan terhormat. Hal itu disebabkan karena, mereka menjadi pejabat bukan karena prestasi yang mulia, —–semisal lebih pandai, lebih arif dan juga berakhlak mulia, melainkan sebatas karena ditopang oleh uang. Lantas dengan begitu, rakyat akan menganggap bahwa jabatan itu tidak lebih hanya sebatas permainan untuk mendapatkan kekuasaan dan uang belaka. Kenyataan ini jika dipikirkan secara mendalam, sesungguhnya di negeri ini telah terjadi krisis yang lebih parah, yaitu krisis kepercayaan dan kewibawaan. Belum terlalu lama duduk menikmati kursi yang didapat, pejabat yang bersangkutan diseret ke pengadilan, tertangkap KPK, karena telah melakukan penyimpangan. Pejabat yang semestinya dihormati dan dimuliakan, karena peran-perannya, ——sebagai orang yang dituakan, arif dan bijak sehingga bisa ditauladani, ternyata masuk ke penjara. Akibatnya kepercayaan masyarakat terhadap pemimpinnya menjadi hilang. Inilah sesungguhnya, harga termahal dan juga kerugian yang sangat daksyat dari perebutan kekuasaan itu. Semoga, fenomena yang tidak menguntungkan ini segera disadari oleh para elite bangsa dan berhasil dicarikan jalan keluarnya. Wallahu a’lam.
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang