Tiba-tiba nama Gayus Tambunan menjadi terkenal karena ditangkap petugas Kepolisian RI pada saat melarikan diri ke Singapura bersama anak dan istrinya. Di Singapura Gayus menginap di sebuah hotel mewah dengan sewa kamar jutaan rupiah per malam, yang tidak mungkin mampu dilakukan oleh seorang pegawai negeri sekelasnya. Sekarang Gayus sudah menjadi tersangka kasus mafia pajak yang merugikan negara miliaran rupiah. Merasa tak sendirian dalam aksinya, Gayus menyeret nama-nama pejabat tinggi di Mabespolri. Setidaknya sudah ada dua jenderal yang saat ini sedang diperiksa terkait dugaan mafia pajak. Yang satu sudah dicopot dari jabatannya sebagai Kapolda.
Terungkapnya kasus mafia pejak ini berawal dari pernyataan mantan Kabareskrim Komjen Susno Duadji yang saat ini non –job. Saat ditanya mengapa baru sekarang kasus ini diungkap, Susno mengaku memerlukan waktu yang tepat untuk mengungkap kasus itu. Lebih lanjut dia mengatakan sebenarnya semua yang dia lakukan tiada lain justru untuk kepentingan institusi Polri sendiri. Sebagai Jenderal Polisi, Susno mengaku sangat mencintai institusi Polri. Karena itu, dia tidak rela jika nama Polri menjadi jelek hanya karena ulah beberapa orang. Padahal, menurutnya, masih banyak anggota Polri yang baik dan bekerja secara profesional. “Jika Polri ingin reformasi diri inilah saat yang tepat”, begitu tegas Susno. Ketika nama Gayus mengemuka di media saya sangat terkejut. Sebab, selama ini saya kenal baik dengan Gayus Lumbuun, (Prof. Dr. Gayus Lumbuun) yang saat ini menjadi anggota DPR dari Fraksi PDIP. Beberapa waktu lalu, Gayus ini menjadi Wakil Ketua Pansus DPR tentang kasus Bank Century. Dan Gayus ini cukup vokal terhadap kasus Bank Century. Kita tentu masih ingat bagaimana Gayus adu mulut dengan Ruhut Sitompul ketika menangani kasus Bank Century. Saya kenal Pak Gayus karena beberapa kali dalam satu pesawat Malang-Jakarta. Kebetulan pada Pemilu 2009, Pak Gayus ini mewakili daerah pemilihan Malang Raya dan akhirnya terpilih. Ternyata Gayus yang berurusan dengan mafia pejak ini bukan Gayus Lumbuun yang saya kenal. Dia adalah Gayus Tambunan yang selama ini bekerja di Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan, berstatus PNS dengan golongan IIIA. Jika nanti terbukti salah, Gayus memang keterlaluan. Dia adalah aparatur negara yang bekerja mengumpulkan dan mengamankan uang negara dari sektor pajak. Tetapi yang dia lakukan justru kongkalikong dengan para wajib pajak untuk kepentingan diri sendiri dan beberapa orang kelompoknya, sehingga negara dirugikan miliaran rupiah. Aksi Gayus pun jelas-jelas sebagai tindakan korupsi. Perlu diketahui bahwa 70 % penghasilan negara berasal dari pajak. Karena itu wajar jika banyak orang marah dengan aksi Gayus yang dengan seenaknya ngemplang dana pajak. Karena ulah Gayus, pegawai pajak memperoleh penilaian miring dari masyarakat. Dirjen Pajak mengatakan kasus Gayus berdampak luar biasa bagi pegawai pajak seluruh Indonesia. Uang miliaran rupiah yang dikorupsi mestinya bisa untuk kepentingan pembangunan, membantu anak bangsa yang ingin memperoleh pendidikan, merehab gedung sekolah yang tidak layak, program pengentasan kemiskinan, perbaikan sarana dan prasarana umum dan sebagainya. . Bagaimana memahami kasus Gayus? Perspektif fenomenologi mengatakan tidak ada sebuah peristiwa yang berdiri sendiri. Sekecil apa pun sebuah peristiwa, ia melibatkan peristiwa lain. Oleh karena itu, jika banyak yang menduga bahwa Gayus tidak sendirian dalam menjalankan aksinya memang tidak salah. Selain tidak berdiri sendiri, kasus Gayus juga merupakan fenomena gunung es yang di dalamnya tersimpan tumpukan kasus yang lebih besar dan sewaktu-waktu bisa meledak. Tengara itu sudah diberikan oleh Ketua MK Prof. Dr. Machfud MD. Kata Machfud MD, ada kasus yang melibatkan mantan pegawai pajak dengan jumlah dana yang jauh lebih besar dari kasus Gayus. Malah kata Susno Duadji, sang pembongkar kasus ini, Gayus ini kecil. Dan, dia hanya pemain kecil. “Yang perlu kita bongkar adalah pemain utamanya. Saya siap membongkar jika diperlukan”, begitu papar Susno. Dengan menggunakan perspektif ini, maka aparat penegak hukum bisa melacak lebih intensif untuk membongkar kasus Gayus. Persoalannya adalah sanggupkah mereka melakukan itu? Sebab, kasus ini melibatkan petinggi kepolisian. Secara naluri, demi alasan menjaga korps sulit bagi kepolisian untuk membongkar total kasus ini. Begitu juga dengan kejaksaan, demi alasan yang sama apa mungkin akan membongksar kasus ini dengan menyeret para jaksa yang menangani kasus ini. Selain itu, pelajaran penting yang bisa dipetik dari kasus Gayus adalah kebijakan remunerasi bagi pegawai Kementerian Keuangan terbukti tidak efektif dan membersihkan aparat dari korupsi. Padahal itu merupakan tujuan utama remunerasi. Kasus Gayus ini menegaskan lagi studi–studi sebelumnya tentang hubungan gaji dan kinerja pegawai. Berbagai studi tentang tema ini menemukan bahwa tidak pernah ada korelasi positif antara kenaikan gaji dan peningkatan kinerja pegawai. Artinya, dinaikkan berapapun gajinya, kinerja pegawai tidak serta merta meningkat. Hal yang sama bisa kita amati pada kasus pegawai negeri. Hampir setiap tahun pemerintah selalu menaikan gaji pokok pegawai negeri (PNS). Harapannya dengan kenaikan gaji, maka kesejahteraan pegawai akan naik dan akan diikuti pula dengan kenaikan kinerja yang baik. Harapan pemerintah tersebut belum pernah terwujud. Kita bisa mencermati kebijakan sertifikasi bagi guru dan dosen. Apakah guru dan dosen yang sudah menerima tunjangan sertifikasi sebesar satu kali gaji pokok — bahkan untuk dosen yang berkualifikasi guru besar selain memperoleh tunjangan sertifikasi sebesar satu kali gaji pokok juga ada tunjangan kehormatan sebesar dua kali gaji pokok — serta merta kinerjanya meningkat? Tampaknya, masih diperlukan kajian lebih lanjut. Negeri ini masih jauh dari keadilan dan kesejahteraan jika masih banyak Gayus – Gayus yang lain yang berkeliaran di instansi pemerintah dan non-pemerintah. Akibat ulah seperti yang dilakukan Gayus, Indonesia masih bertengger sebagai salah satu negeri terkorup di dunia. Sebuah identitas yang menyesakkan dada dan memalukan. Sepertinya kita belum bisa menikmati alam kehidupan sebagai bangsa yang adil, sejahtera, dan bebas dari korupsi. Mudah-mudahan ada lagi orang seperti Susno yang berani membongkar gurita korupsi di negeri ini agar Gayus-Gayus yang lain bisa ditangkap dan diberi hukuman berat karena tindakannya menyengsarakan rakyat banyak. Oh Gayus ! _________ Malang, 6 April 2010
Penulis : Prof DR. H. Mudjia Rahardjo
Pembantu Rektor I Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang