Thursday, 27 March 2025
above article banner area

Islam dan Kebersihan

Seringkali dikeluhkan oleh banyak orang tentang kebersihan, tidak terkecuali di lembaga yang beridentitas Islam. Islam diakui sangat memperhatikan kebersiahan. Tetapi hal yang sangat sederhana ini dalam banyak kasus belum bisa dijalankan secara baik. Banyak tempat ibadah, lembaga pendidikan, tempat-tempat pelayanan umum yang masih tampak belum memperhatikan perawatan kebersihan ini. Sering muncul kritik tajam misalnya, masjid atau mushollanya bagus, tetapi sayang tempat-tempat wudhu tidak dipelihara secara baik, hingga tampak kotor. Demikian pula lembaga pendidikan dan juga bahkan rumah sakit, sekalipun menggunakan indentitas Islam, tetapi tampak kurang terawat kebersihannya. Dan masih banyak lagi kasus lainnya. Keadaan seperti itu kemudian orang mengatakan bahwa umat ini sebatas menjaga kebersihan saja belum berhasil. Padahal kebersihan menjadi bagian yang sangat penting dari ajaran Islam. Kebersihan dikaitkan dengan keimanan seseorang. Dikatakan bahwa kebersihan adalah bagian dari pada keimanan seseorang. Artinya, kebersiahan menjadi sedemikian penting sebagaimana keimanan itu sendiri dalam beragama. Kewajiban menjaga kebersihan juga dinyatakan dalam kitab suci al Qur’an dan bahkan sebagian ayat itu turun pada fase awal. Dalam surat al mudatsir, turun pada fase awal, disebutkan di sana “watsiyabaka fathohhir”, dan pakaianmu bersihkanlah. Kata pakaian di sini tentu bisa dimaknai dalam pengertian yang lebih luas, hingga tsiyab tidak saja sebatas bermakna pakaian, tetapi menjadi apa saja dalam tubuh, yakni misalnya pikiran, hati, jiwa dan termasuk jasat seseorang harus dipelihara kebersihannya. Islam juga memberikan tuntunan bagaimana melakukannya. Sebelum sholat, setiap muslim harus suci dari hadats, baik hadats besar maupun hadats kecil. Bersuci dari hadats besar, seseorang harus mandi besar, sedangkan berhadats kecil agar suci kembali maka harus mengambil air wudhu. Bagaimana cara mandi besar dan berwudhu serta bagaimana menggunakan air serta berapa ukurannya, telah diberikan pedoman atau petunjuknya. Artinya melalui risalah itu, kaum muslimin telah disadarkan tentang bagaimana seharusnya menjaga kebersiahan itu. Persoalan kebersiahan bagi masyarakat tertentu, di mana air melimpah, adalah sederhana atau remeh. Namun pada kenyataannya, masih sangat berat dilakukan. Tidak jarang justru di komunitas kaum muslimin, dan bahkan di tempat-tempat ibadah pun kebersihan belum bisa berhasil dirawat secara sempurna. Padahal semestinya dengan ajaran Islam itu, kebersihan menjadi sebuah identitas kaum muslimin. Misalnya, bahwa kaum muslimin di mana-mana tampak menjaga kebersihan. Di mana saja terdapat kaum muslimin, selalu saja kebersihannya terawat. Menjaga kebersihan adalah bagian dari perintah agamanya. Selain itu kebersihan menjadi bagian dari keimanan. Sehingga kebersiahan menjadi identitas, ciri, atau kharakter kaum muslimin. Namun sementara, di banyak tempat justru masih menunjukkan sebaliknya. Kecuali di beberapa tempat, rumah ibadah atau lembaga pendidikan yang dikelola oleh kaum muslimin yang telah mampu membiayai perawatan, biasanya berhasil menjaga kebersihan ini. Tetapi di kebanyakan tempat, kebersihan melum menjadi perhatian. Bahkan tidak sedikit orang berdalih dengan membedakan antara bersih dan suci. Atas dasar pandangan ini kemudian sementara orang berpendapat, bahwa sekalipun tidak bersih tetapi suci. Padahal jika disatukan antara konsep bersih dan suci akan menjadi lebih sempurna, sehingga suci sekaligus juga bersih. Kesadaran tentang kebersihan dan sekaligus kesucian di beberapa tempat sudah tumbuh. Saya melihat misalnya, di masjid Nabawi di Madinah dan juga masjidil haram di Makkah sekalipun setiap saat jama’ahnya ribuan jumlahnya, tetapi kebersihan terjaga dengan baik. Saya selalu melihat, di masjid itu disediakan petugas khusus untuk memanage secara baik pengelolaan kebersihan ini. Memang ada saja tamu datang dari berbagai negara, yang barangkali belum memiliki budaya bersih di negerinya, maka tatkala di masjid lagi-lagi belum bisa menjaga kebersihan. Tetapi, segera petugas membersihkan kembali, sehingga tempat ibadah tetap terjaga. Dua masjid tersebut saya gunakan sebagai contoh, dengan maksud agar besarnya jumlah orang tidak dijadikan alasan tempat tidak terawat kebersihannya. Mungkin ajaran kebersihan ini, sebagaimana petunjuk al Qur’an dan juga hadits Nabi, seharusnya diposisikan pada tempat yang strategis hingga menjadi budaya kaum muslimin. Kebersihan harus menjadi sebuah nilai, budaya, dan bahkan kharakter bagi umat Islam. Bersih harus menjadi identitas kaum muslimin. Sehingga kebersihan dipandang sebagai ciri penting umat Islam. Sama halnya misalnya bahwa kaum muslimin selalu mengenakan kopyah, baju koko, atau sarung, hingga jenis pakaian itu dikenal sebagai identitas atau pakaian muslim, maka ciri khas kaum muslimin lainnya adalah selalu berpenampilan bersih. Kaum muslimin atas nilai, budaya, atau identitas itu di mana dan kapan saja menjadi malu jika berpenampilan tidak bersih. Kharakter dan bahkan jiwa bersih harus dibangun. Pendekatan yang paling strategis adalah melalui pendidikan, baik pendidikan di sekolah, di rumah ataupun juga di masyarakat. Khusus misalnya di sekolah, apalagi sekolah Islam, pendidikan kebersihan harus dijadikan prioritas utama. Bahwa Islam adalah mengajarkan hidup bersih, maka di lembaga pendidikan harus ditanamkan kepada para siswanya, baik melalui doktrin maupun lewat praktek dalam kehidupan sekolah sehari-hari. Pekerjaan merawat kebersihan memang sepele, atau remeh. Tetapi ternyata sangat sulit dilakukan. Kebersihan tidak saja sebatas terkait dengan dana, melainkan juga menyangkut kebiasaan, nilai, dan juga budaya, bahkan juga kepribadian. Oleh karena itu, persoalan ini tidak boleh lagi dipandang sederhana, karena dalam ajaran Islam sendiri, kebersihan merupakan bagian dari keimanan. Perintah menjaga kebersihan, karena sedemikian pentingnya, datang melalui al Qur’an sejak awal masa kenabian. Sayangnya, sebagian banyak kaum muslimin masih belum menyadari akan hal itu. Kebersihan dianggap masih belum terkait erat dengan keberagamaan, padahal sehari-hari mereka harus bersuci dan bersih. Lagi-lagi masih diperlukan usaha keras dan ketauladanan yang tidak boleh mengenal henti. Wallahu a’lam.

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share
below article banner

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *