Isra’ dan mi’raj yang dialami oleh Nabi betul-betul mengagumkan. Nabi benar-benar, —-melalui isra dan mi’raj itu, diperlihatkan oleh Allah bentangan jagad raya yang sedemikian luas, dan bahkan dipertunjukkan berbagai gambaran orang-orang yang pernah berbuat baik hingga berada di sorga, dan sebaliknya orang-orang yang berbuat jahat hingga disiksa  di neraka. Semua itu  diperlihatkan oleh Allah  kepada Nabi secara langsung.
 Kejadian seperti itu menjadikan keimanan nabi  sedemikian kokoh. Keimanan seperti itu menjadikan shalat nabi sangat khusu’ dan berkualitas tinggi. Nabi ketika shalat benar-benar shalat. Banyak riwayat yang dapat dibaca, bahwa  ketika nabi sedang shalat, hingga menangis tersedu-sedu, sampai-sampai suatu ketika, —-karena air matanya,  baju nabi menjadi basah kuyup.  Berbeda dengan nabi, adalah shalatnya orang biasa. Shalatnya orang biasa tidak selalu didasarkan pada pengalaman spiritual yang mendalam.  Salatnya orang biasa,  hanya didasarkan atas tuntutan bahwa setiap manusia berkewajiban menjalankan shalat lima kali dalam sehari semalam. Mereka diberikan doktrin bahwa shalat adalah wajib dilakukan, dan tidak boleh ditinggalkan. Selain itu dikatakan  bahwa shalat merupakan tiyang agama, sehingga jika tidak dijalankan, akan menjadi bagaikan rumah tanpa tiyang.  Sekalipun dikehendaki, shalat khusuk ternyata tidak mudah dilakukan. Banyak orang bertanya, bagaimana agar sholat menjadi khusuk, dan benar-benar khusuk. Shalat yang khusuk sebagaimana Nabi mengalami, adalah dijalankan setelah isro’dan mi’raj. Pertanyaannya kemudian adalah,   bagaimana  bagi orang biasa yang tidak mungkin berisra’dan mi’raj, agar melahirkan  rasa kagum terhadap ciptaan Allah yang dahsyat ini. Manusia biasa, sekalipun tidak sebagaimana  Nabi  berisro’dan mi’raj, pada saat sekarang ini  bisa membaca jagad raya melalui ilmu pengetahuan. Membaca jagat raya, bagi siapapun sangat penting dilakukan. Bahkan  tugas Rasul yang pertama kali    adalah mengajak untuk melakukan tilawah, yaitu membaca. Maksudnya adalah membaca jagad raya, yaitu ayat-ayat Allah, baik berupa alam maupun   sosial. Ketika seseorang belajar biologi, fisika, dan kimia secara sungguh-sungguh pada hakeketnya adalah bertilawah atas ciptaan Allah yang berupa alam.  Demikian pula tatkala mereka belajar sosiologi, psikologi, sejarah dan antropologi, maka sesungguhnya mereka sedang membaca ayat-ayat kawniyah tentang kehidupan sosial. Apa yang mereka lakukan itu, sepanjang diniatkan untuk ibadah, ikhlas karena Allah, maka sebenarnya  adalah bermakna memenuhi perintah Allah. Kegiatan  itu jika dilakukan secara sungguh-sungguh akan melahirkan rasa kagum atas ciptaan Allah yang sedemikian besar.  Kegiatan  membaca ayat-ayat kawniyah dan sekaligus kawliyah, yang melahirkan kekaguman hingga mendorong hatinya bertasbih, maka sesungguhnya  bisa diartikan  sebagai isra’dan mi’rajnya bagi orang yang bersangkutan. Rasa kagum itu akan  muncul jika proses itu dilakukan dengan sungguh-sungguh dan niat ikhlas. Namun sayangnya banyak orang tatkala belajar biologi, kimia, fisika, sosiologi, psikologi dan lainnya itu, —– belum tentu, didasarkan pada niat yang benar, sehingga tidak  menghasilkan  apa-apa.   Banyak orang  belajar berbagai jenis ilmu, bukan untuk  memahami ciptaan Allah, melainkan sebatas memenuhi kewajiban agar lulus ujian.  Dengan demikian apa yang dilakukan oleh banyak orang tidak sampai menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya, sebagaimana apa yang diperoleh Nabi ketika berisra’ dan mi’raj, ialah kekaguman terhadap ciptaan Allah, sehingga  melahirkan keimanan yang kokoh dan mendorong untuk melakukan sholat secara khusuk.  Umpama saja, tatkala orang belajar sehari-hari berhasil  melahirkan kekaguman dan mengantarkan mereka untuk mengucap subhanallah, maka akan menghasilkan pula sholat yang khusuk. Shalat yang dilakukan akhirnya bukan sebatas dirasakan sebagai kewajiban yang memberatkan, melainkan karena dorongan batin, pengakuan, atau perasaan kagum atas ciptaan-Nya. Itulah isra’dan mi’rajnya orang biasa hingga mengantarkannya bertasbih, bertahmid dan bertakbir, dan  sholat mereka pun menjadi khusu’. Wallahu a’lam.
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang