Pembicaraan tentang kearifan pembantu rumah tangga dalam tulisan ini hanya sedikit mengupas bagaimana mereka menunaikan tugasnya sehari-hari yang paling sederthana, yaitu ketika merawat anak-anak asuhannya. Dengan kearifannya itu, mereka berhasil menunaikan tugasnya dengan baik. Apa yang dialukan oleh orang yang umumnya berpendidikan rendah ini, ternyata justru dilupakan oleh para pejabat yang umumnya berpendidikan tinggi. Sehingga seolah-olah, kearifan tidak ada hubungannya dengan latar belakang pendidikan dan status seseorang.
Pembantu rumah tangga biasanya diperlakukan sebagai keluarga sendiri, sehingga kadang batas antara pembantu dan tuan rumah tidak terlalu kelihatan. Posisi seperti itu menjadikan para pembantu rumah tangga betah, hingga bertahun-tahun kerja di rumah itu. Selain itu, perlakuan seperti itu, menjadikan mereka tidak terlalu merasa rendah diri. Pembantu rumah tangga juga sering disebut dengan istilah babu. Tetapi istilah itu jarang diucapkan dalam pergaulan sehari-hari. Sebab sebutan babu berkonotasi rendah, diskriminatif, dan bahkan terasa eksploitatif. Hal yang teringat di pikiran saya, terkait dengan kearifan pembantu rumah tangga adalah cara mereka mengasuh anak-anak, terutama tatkala sedang bertugas menyuapi anak-anak. Biasanya anak kecil tidak mudah diberi makan, sekalipun mereka lapar. Anak kecil, tidak sebagaimana orang dewasa, sebatas makan saja tidak mudah dilakukan. Pembantu rumah tangga agar berhasil menjalankan tugasnya itu, selain harus sabar, juga menggunakan cara yang arif. Anak kecil dikenal suka bermain. Dalam psikologi anak disebut ada fase bermain. Anak yang usianya memasuki fase ini, maka apapun harus dilakukan bersamaan dengan bermain-main. Para pembantu rumah tangga, sekalipun mereka tidak pernah mendapatkan pelajaran, apalagi kuliah psikologi anak, mengerti tentang perkembangan jiwa atau psikologi anak. Mereka mengerti bahwa anak-kanak sangat menyukai permainan. Atas dasar pengetahuannya itu, tatkala mereka menyuapi anak-anak maka melakukannya sambil mengajak bermain. Adakalanya digendong, diletakkan di ayunan, diajak jalan-jalan, dinaikkan kereta dorong, dan seterusnya. Anak-anak diajak bermain agar senang. Di tengah-tengah suasana bermain yang menyenangkan itu, anak-anak pun menjadi tidak terasa, bahwasanya mereka sedang disuapi. Rasa senang menjadikan anak, sekalipun tidak bernafsu makan, berhasil menghabiskan semua nasi yang disediakan untuknya. Keberhasilan para pembantu rumah tangga tersebut sesungguhnya karena menggunakan teori social yang mereka bangun sendiri. Yaitu bahwa orang akan menerima perlakukan apa saja jika hatinya senang. Anak-anak asuhannya disenangkan dengan cara diajak bermain, dan dengan suasana senang itulah kemudian mereka disuapi. Sekalipun anak-anak sedang tidak menyukai makanan, mereka akan menerimanya tatkala dalam keadaan senang. Teori pembantu rumah tangga ini sederhana sekali. Tapi selalu berhasil digunakan untuk menunaikan tugas-tugasnya. Teori ini sebenarnya bisa digunakan oleh siapapun, termasuk oleh pemerintah tatkala melakukan penertiban kota. Pemerintah kota selalu dituntut menertibkan lingkungan kota agar kotanya tidak kelihatan kumuh. Kota yang semrawut dan kumuh menggambarkan, penguasanya tidak cakap. Oleh karena itu, segala cara ditempuh untuk menertibkannya, termasuk menghadapi penduduk kota yang menolak kebijakannya. Menghadapi persoalan itu, jika saja pemerintah menggunakan kearifan atau teori pembantu rumah tangga tersebut, maka resiko yang dihadapi bisa diperkecil dan mungkin justru lebih berhasil. Yaitu, bagaimana agar penataan keindahan kota itu menjadi kebutuhan bersama. Misalnya, dalam menertibkan pedagang kaki lima. Agar jumlah pedagang kali lima tidak bertambah terus, maka pemerintah bisa bekerja sama dengan mereka. Pendatang baru harus seijin dengan pedagang lama. Pemerintah harus memiliki data itu, sehingga jika ada penyimpangan, maka dengan mudah ditegur dan bahkan diberi sanksi. Demikian pula, pemerintah bisa bekerjasama dengan para pengusaha, untuk membuatkan tempat-tempat jualan para pedagang kaki lima, agar sekalian mereka berpromosi. Pedagang kali lima tidak boleh dilihat sebagai penganggu semata. Sebab keberadaan mereka juga diperlukan, yaitu melayani pegawai kecil yang bergaji murah. Orang-orang berpenghasilan kecil tidak akan setiap hari makan siang di restoran, melainkan di pedagang kaki lima itu. Begitu pula para pengusaha, sambil berpromosi, ditugasi membuatkan sarana jualan pedagang kaki lima yang indah dan kuat. Dengan cara itu, pemerintah kota akan teruntungkan. Yaitu, kotanya menjadi indah, pedagang kaki lima senang, banyak rakyat terbantu atas keberadaan kaki lima itu, dan demikian pula kebutuhan berpromosi para pengusaha tersalurkan. Intinya semua pihak disenangkan. Umpama, pemerintah DKI dalam menyelesaikan makam Mbah Priok lebih bersabar, berusaha menguntungkan dan menyenangkan bagi semua pihak, maka tidak akan terjadi kekerasan. Demikian pula penertiban di kota-kota lain, perlu negosiasi, berpegang pada prinsip win-win solusion, menghargai martabat orang, maka hidup ini tidak harus dilalui dengan bertengkar, apalagi sampai ada yang mati segala. Menyenangkan, menggembirakan dan saling berbagi kasih sayang adalah kunci keberhasilan pada setiap usaha apapun. Betapa pentingnya suasana itu ditumbuh-kembangkan, sampai-sampai ayat bismillahirrahmanirrahiem dalam al Qurán selalu diulang di semua surat, kecuali surat at taubah. Hanya surat at taubah saja tidak dimulai dengan basmallah. Bahkan dalam surat al fatehah yang hanya terdiri atas tujuh ayat, arrahman arrahiem diulang hingga dua kali. Ini menggambarkan betapa sifat Allah yang maha mulia, yaitu Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, juga dimiliki oleh penduduk bumi ini, sekalipun dalam kadar yang terbatas. Jika para pembantu rumah tangga saja, dengan kasih sayang dan kearifannya, mereka sukses menunaikan tugasnya menyuapi anak asuhnya, maka mestinya para penguasa atau pejabat di berbagai level, tampak lebih pandai dan arif, sehingga dalam menunaikan tugasnya tidak harus bentrok dengan rakyat sampai ada yang luka, dan bahkan mati segala. Wallahu a’lam.Â
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang