Persoalan Bangsa

Siapapaun kiranya bisa merasakan, bahwa persoalan bangsa ini semakin hari semakin berat dan rumit untuk diselesaikan. Sementara orang mengatakan bahwa persoalan itu hanya menyangkut pendidikan, kemiskinan, ketertinggalan, kesenjangan, politik, hukum, dan sejenisnya. Memang demikian itu benar adanya, tetapi sesungguhnya, ada lagi persoalan lain yang lebih mendasar dari sebatas itu semua.

Melalui media massa, sehari-hari kita lihat terjadi konflik antar elite, baik secara vertical maupun horizontal. Terjadi saling tuduh menuduh, membuka aib, mengembangkan kebencian, tidak saling mempercayai, berebut kebenaran, saling merendahkan dan menjatuhkan. Anehnya, semua itu dianggap biasa terjadi di alam demokrasi. Manakala persoalan itu terjadi di kalangan rakyat biasa, tentu tidak terlalu sulit menyelesaikan. Berbeda jika terjadi di kalangan elite sendiri. Tidak akan ada orang yang menyelesaikan, kecuali rakyat akan meninggalkan elitenya itu. Namun jika demikian, siapapun jangan berharap terlalu tinggi, segera mendapatkan kemakmuran dan keadilan di negeri ini. Sejak reformasi pada akhir tahun 1990-an, bangsa ini sesunggguhnya mengalami beban psikologis yang cukup berat. Melalui konsep apa yang disebut dengan pembangunan untuk memakmurkan rakyat, setelah ditunggu sekian lama, ternyata harapan itu runtuh. Alih-alih kemakmuran, pemerintah sendiri yang telah berkuasa tidak kurang dari 30 tahun runtuh. Peristiwa itu tentu sangat mengganggu psikologis bangsa ini secara keseluruhan. Ada pihak-pihak yang merasa jengkel, sedih, sakit hati dan bahkan dendam yang mendalam. Suasana batin yang demikian mestinya segera terselesaikan. Namun pada kenyataannya, bukannya berkurang, malah justru bertambah. Untuk mengurangi beban psikologis itu, ditempuh dengan cara menangkap dan menghukum bagi siapa saja yang dianggap salah, melakukan korupsi, kolosi dan nepotisme. Proses melakukan penegakkan hukum tersebut juga tidak sepi masalah. Ada tuduhan terjadi tebang pilih, tidak adil, sepihak, terjadi makelar kasus di mana-mana. Semaraknya pemberantasan korupsi ternyata juga masih saja dibarengi dengan munculnya kasus-0kasus korupsi baru. Jika dimisalkan bahwa negeri ini sedang bersih-bersih karena kehujanan, ternyata genting atapnya lupa belum terpasang. Sehingga yang terjadi kemudian, tatkala sedang membersihkan air di lantai, bersamaan itu pula air tetap bocor dari atas. Cara yang tepat mestinya adalah segera menambal genting yang bocor dan baru kemudian membersihkan air di lantai rumah yang bocor itu. Demikian pula, sumber-sumber terjadinya kurupsi, misalnya rekruitmen pejabat misalnya bupati, wli kota, gubernur, anggota DPRD, DPR dan lain-lain yang memerlukan dana besar harus dicegah terlebih dahulu. Sebab di sanalah satu di antara sumber korupsi itu. Mental transaksional harus diubah menjadi mental berjuang untuk negara dan bangsa. Mestinya beban psikologis bangsa ini dihilangkan dengan cara yang lebih arif dan produktif. Tidak boleh menghilangkan beban lama tetapi justru melahirkan beban baru. Cara kerja pengemudi mobil perlu dijadikan bahan pertimbangan. Sekalipun tersedia kaca spion, pengemudi tidak boleh terlalu banyak melihat ke belakang lewat kaca itu. Selain kendaraan yang dikemudikan tidak bisa berjalan cepat, juga akan beresiko kecelakaan. Mental atau psikologi bangsa sebagaimana dikemukakan tersebut sesungguhnya merupakan sumber persoalan yang lebih mendasar dari sebatas persoalan ekonomi, pendidikan, politik, hukum dan lain-lain. Beberapa persoalan yang disebutkan terakhir, sesungguhnya merupakan akibat dari persoalan psikologi itu. Oleh karena itu, yang diperlukan pada saat ini adalah bagaimana membuat bangsa ini tenang, sejuk, dan damai. Kedamaian, ketenangan, dan kesejukan tidak selalu diraih oleh masyarakat yang kebutuhan ekonominya berhasil terpenuhi. Oleh karena itu, dalam keadaan apapun, suasana batin seperti itu seharusnya dijaga, dan bukan malah, termasuk pejabat pemerintah sendiri tidak henti-hentinya bersilang sengketa. Wallahu a’lam.

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share