Kemana Perginya Para Pemimpin Rakyat?

Beberapa bulan terakhir, lewat media massa kita dibuat sedih oleh berita-berita yang mengenaskan terkait dengan hukum. Beberapa kasus tentang pencurian yang dilakukan oleh orang-orang miskin, menjadi berita. Tidak habis pikir, orang tua miskin sebatas mencuri tiga biji kakau, diadili, dan dipenjara. Dua orang di Kediri mencuri semangka seharga dua puluh ribu, juga diperlakukan sama, dadili dan dihukum. Masih terkait orang miskin lagi, mencuri buah kapuk lalu diadili, dan dipenjara. Di Bojonegoro, pasanagan suami isteri mencuri setandan pisang, karena memang lapar, ditangkap, diadili dan dipenjara. Mendengar berita-berita itu, seolah-olah di negeri ini hukum sudah sedemikian berhasil ditegakkan. Siapapun yang bersalah akan diadili dan dihukum sesuai dengan kesalahannya. Hukum tidak peduli terhadap siapapun. Sekalipun hanya mencuri tiga buah kakau, dua butir semangka, setandan pisang, dianggap salah dan diadili seadil-adilnya. Rasanya negeri ini telah berhasil dalam menegakkan hukum, dan menjadi negara yang sangat adil terhadap seluruh warga negaranya Kesan seperti itu menjadi runtuh tatkala memperhatikan kasus-kasus hukum lainnya. Tidak sedikit pejabat menggelapkan uang milyaran rupiah hanya dihukum beberapa tahun. Pembobol bank tidak henti-henti melakukan aksinya, dan rakyatlah yang dirugikan. Calon pejabat baik di legislative dan atau eksekutif membagi-bagi uang agar dipilih. Padahal cara itu menjadi sebab terjadinya tindak korupsi yang berkepanjangan. Namun, anehnya gejala itu dibiarkan. Mendengar berita orang miskin diadili di tengah-tengah para pejabat kaya yang korup, jelas mengusik rasa keadilan bagi semua. Pengadilan terhadap para pejabat yang menyeleweng, dan memasukkannya ke penjara, belum memuaskan rasa keadilan bagi semua orang. Apalagi, orang miskin yang diadili itu hanya melakukan kesalahan kecil, yaitu sebatas mempertahankan gerak napasnya agar tetap hidup. Orang biasanya berpikir logis dan linier, bahwa kemiskinan itu di antaranya, adalah disebabkan oleh penyelewengan pejabat pemerintah itu. Kiranya bisa dipahami, adanya pihak-pihak yang merasa terganggu oleh perilaku orang miskin yang mencuri, sekalipun yang diambil barang sederhana. Mencuri sebesar apapun tidak boleh dilakukan oleh siapapun dan harus dilarang. Pemilik barang yang dicuri, sekalipun masih kelebihan, akan merasa jengkel atas ulah orang miskin itu. Semua orang tanpa terkecuali, orang miskin sekalipun, tidak boleh mencuri. Biasanya, orang tidak saja marah karena barangnya dicuri, tetapi ia tidak mau diganggu orang. Hanya saja, tatkala mendengar orang miskin mencuri barang sesederhana dan sekecil itu, lalu diadili dan dimasukkan ke penjara, maka akan melahirkan kesan seolah-olah, dalam pengadilan itu ada sesuatu yang dibuat-buat. Pengadilan yang berkantor di gedung yang sedemikian kokoh dan hebat, lagi pula para pejabatnya berseragam dinas yang kelihatan berwibawa, ternyata hanya mengadili orang yang mencuri dua butir semangka, tiga buah kakau dan setandan pisang. Rasanya sangat trenyuh mendengar berita itu. Dulu ketika saya masih bertempat tinggal desa, memang ada peristiwa kenakalan kecil-kecilan itu. Peristiwa itu biasanya diselesaikan oleh pamong desa, atau setinggi-tingginya oleh lurah. Kasus pencurian semacam itu, ——kalau ada, dilakukan bukan karena miskin dan lapar, tetapi biasanya karena kenakalan. Ada saja di desa orang yang berperilaku menyimpang, misalnya menyuri ayam, ketela pohon, buah nangka di kebun dan sejenisnya. Hasil curiannya bukan untuk dimakan, melainkian untuk berjudi atau membeli minuman keras untuk pista kecil-kecilan. Mencuri dengan motif seperti itu, pelakunya dihukum. Akan tetapi, pelaku pencurian yang semata-mata karena lapar, tidak dilakukan proses hukum. Sebab, apa gunanya menghukum orang miskin dan lagi lapar. Oleh karena itu, tatkala mendengar berita-berita mengenaskan itu, yang terbayang adalah apakah di desa itu, di kecamatan itu, di kabupaten itu sudah tidak ada lagi pemimpin-pemimpinnya. Apakah tidak semestinya, tatkala terjadi kasus-kasus kelaparan seperti itu, para pemimpin menunjukkan kepeduliannya, baik itu pemimpin formal atau pemimpin informalnya. Mengapa di desa, kecamatan, atau kabupaten itu, seperti sudah tidak ada lagi orang yang peduli terhadap orang miskin. Mengapa orang miskin menjadi sendirian seperti itu. Bukankah para pemimpin seharusnya selalu hadir dan tampil, tatakala rakyat sedang kelaparan dan terkena masalah yang perlu ditolong. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini selalu menggoda pikiran untuk mencari jawabnya. Rasanya tidak mungkin bangsa timur, lebih-lebih pada zaman yang seperti ini tidak ada lagi orang yang tidak memiliki kepedulian, rasa iba, kasih sayang, terhadap sesama. Ataukah di desa itu, kecamatan itu, kabupaten itu semua orang sudah miskin, sebagaimana di beberapa tempat lainnya semua orang sudah kaya, sehingga tidak mungkin lagi terjadi gotong royong, atau saling membantu. Membaca berita tersebut, apalagi jika saya bandingkan dengan apa yang terjadi di kampus, ———lingkungan kehidupan saya sehari-hari, kejadian itu terasa aneh. Sebab, sekalipun gaji para dosen dan karyawan setiap bulannya sangat terbatas, masih mau menyisihkan sebagiannya untuk berinfaq. Dana infaq ini selanjutnya digunakan untuk menolong para mahasiswa yang mengalami kesulitan membayar biaya kuliah seperti SPP dan lain-lain. Selain itu, jika misalnya ada mahasiswa yang kepepet, tidak memiliki uang, selalu masih ada pimpinan, dosen, atau karyawan yang mencarikan jalan keluar untuk mengatasinya. Pertanyaannya adalah, apakah di desa itu belum digalakkan zakat, infaq, dan shodaqoh untuk mengatasi kasus-kasus kelaparan seperti itu. Membaca berita tersebut, saya terbayang, alangkah indahnya tatkala pencuri sebutir semangka itu, tiga buah kakau itu dan juga setandan pisang itu, sedang diadili maka kepala desa, camat, bupati atau wali kota ikut menyaksikan, melindungi, dan jika perlu membela dengan memberikan informasi sebenarnya. Syukur-syukur, kalau ikut berargumentasi dan menjelaskan, bahwa rakyatnya lagi lapar, dan semua sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Kemudian para pemimpin itu, menunjukkan ikut merasa salah dan kemudian memintakan maaf. Lebih-lebih, jika memang harus dihukum, ada kesanggupan para pemimpin itu mencarikan pekerjaan, setelah mereka menjalani hukumannya. Pemimpin pada tingkat apapun dan di manapun dituntut selalu membela, melindungi, menolong, dan mencintai rakyatnya sepenuh hati. Sikap seperti itulah yang seharusnya diambil oleh para pemimpin rakyat. Karena itu, tatkala media massa mengekspose berita, adanya orang miskin mencuri barang yang tidak seberapa harganya, lalu diadili, dan dipenjara, namun tidak memberikan informasi sedikitpun, bagaimana respon para pemimpin desa, kecamatan, dan kabupaten itu, maka saya bertanya-tanya, sedang ke mana para pemimpinnya, sehingga rakyat kecil dan miskin tampak sendirian ? Wallahu aโ€™lam.

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektorย  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *