Sementara ini bangsa Indonesia direpotkan oleh penyakit yang bernama korupsi. Berbagai usaha dilakukan untuk memberantasnya, tetapi tampaknya belum berhasil. Menangkap dan mengadili para pelaku korupsi telah dilakukan, dan juga memenjarakannya. Selain itu, oleh karena memberantas korupsi dianggap tidak cukup ditangani oleh kepolisian, kejaksaan dan kehakiman, maka dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga tersebut sudah banyak hasilnya, koruptor seolah-olah tidak berkurang, dan bahkan aneh, ternyata oknum KPK sendiri juga ada yang masuk penjara karena korupsi.
Mengadili orang-orang yang terlibat korupsi ternyata juga tidak mudah. Sebab para koruptor ternyata juga memiliki kekuatan yang luar biasa. Kesulitan itu penyebabnya banyak. Di antaranya, koruptor tidak bekerja sendiri. Ada orang-orang yang memback up, menjadi calo peradilan, makelar kasus, dan semacamnya. Betapa anehnya, seorang tahanan bisa keluar nonton pertandingan olah raga ke Bali. Orang yang berstatus tahanan saja lebih merdeka daripada yang berada di luar tahanan. Uang ternyata bisa memerdekakan seseorang dari ditahan dan berekreasi sebagaimana orang bebas atau merdeka. Persoalan korupsi menjadi sangat rumit diselesaikan. Korupsi sudah ada di semua tempat dan lapisan. Polisi yang dipercaya bisa menangkap penjahat, ternyata ada oknum polisi yang berbuat jahat dan juga korupsi. Kehakiman dan juga kejaksaan yang bertugas menciptakan rasa keadilan, ternyata juga gagal, dan bahkan oknum dari lembaga itu ternyata melakukan korupsi. Tidak sebatas itu saja, para pejabat, mulai dari oknum bupati, wali kota, gubernur, mantan Menteri, Kepala BUMN, pejabat pajak, hampir semua saja, ternyata tidak ada yang bersih dari tindakan jahat itu. Sebagai upaya mencegah korupsi, kiranya perlu menengok penyelenggaraan pendidikan selama ini. Pendidikan yang dirumuskan sebagai upaya untuk membentuk manusia yang cerdas dan berakhlak mulia, ternyata belum sepenuhnya berhasil diraih. Mereka yang berhasil menjadi cerdas, lalu mendapatkan amanah menduduki posisi penting, ternyata tidak sedikit yang korup. Menurut informasi, tidak kurang dari 17 mantan gubernur dan 150 bupati dan wali kota masuk penjara. Mereka adalah produk pendidikan kita selama ini. Jumlah itu tentu sudah sangat besar. Apalagi jika diumpamakan sebagai gunung es, maka mereka yang tidak ketahuan atau tidak tertangkap, bisa jadi jumlahnya akan lebih banyak lagi. Sedangkan mereka yang kurang beruntung, mencari pekerjaan, menjadi buruh TKW ke luar negeri. Melihat kenyataan itu, pendidikan di negeri ini sebenarnya masih gagal. Bangsa ini gagal mendidik generasi penerusnya. Namun anehnya kegagalan itu belum juga disadari. Hal itu kelihatan, ——–pada setiap tahun, sistem, strategi, dan kebijakan pendidikan tidak pernah diubah. Seolah-olah apa yang dilakukan sudah benar dan tidak perlu diperbaiiki lagi. Contoh kecil saja misalnya, bahwa pengajaran Bahasa Inggris, sekalipun tidak berhasil, tetapi cara tersebut tetap dipertahankan sebagaimana yang dijalankan pada tahun-tahun sebelumnya. Akibatnya, dari tahun ke tahun, banyak anak Indonesia, tetap saja tidak bisa berbahasa Inggris Tampak sekali, para pengambil kebijakan tidak mau belajar dari pengalaman sebelumnya. Mereka sudah tahu bahwa cara yang diambil sebenarnya gagal, tetapi kegagalan itu diulang-ulang dan tidak pernah dievaluasi dan apalagi diubah. Sekalipun pelajaran Bahasa Inggris dianggap penting, dan oleh karena itu diajarkan kepada semua murid sekolah menengah, ——- sekalipun selalu gagal, ternyata tidak ada prakarsa memperbaikinya. Akhirnya setiap tahun mengalami kegagalan dan karena terbiasa gagal, maka kegagalan itupun menjadi tidak terasa. Demikian pula dalam mengajar mata pelajaran lainnya, seperti rumpun pengetahuan IPA, IPS dan juga bahasa dan seni, tidak pernah dievaluasi dan direnungkan, apakah pelajaran tersebut telah nyata-nyata menghasilkan kualitas manusia unggul yang diharapkan. Sementara ini ukuran keberhasilan pendidikan hanya dilihat dari kemampuan murid menjawab soal-soal yang diberikan. Mereka yang bisa menjawab benar maka dianggap lulus. Pertanyaan, apakah dengan kelulusannya itu, tujuan pendidikan benar-benar telah dicapai. Rupanya pertanyaan itu tidak pernah mendapatkan perhatian. Jika tujuan akhir pendidikan adalah membentuk manusia cerdas, berakhlak mulia, terampil dan seterusnya, maka semestinya rumusan itu dijadikan patokan atau alat ukur, sejauh mana bisa dicapai. Jika ternyata para lulusan pada jenjang tertentu masih menggambarkan penampilan yang belum sebagaimana dirumuskan dalam tujuan, maka apa salahnya segera dilakukan perbaikan dan bahkan perubahan. Mempertahankan kegagalan sama artinya dengan memperbanyak korban yang harus ditanggung. Melihat kenyataan itu, hal yang perlu dilihat kembli adalah jangan-jangan perilaku korup yang banyak diderita oleh bangsa ini adalah justru merupakan produk dari pendidikan selama ini. Jika hal itu benar, maka upaya untuk memberantas korupsi dengan cara menangkap, mengadili, dan memasukkannya ke penjara, tidak akan berhasil menghilangkan tindak korupsi di Indonesia. Apalagi jika korupsi dianggap sebagai akibat dari sebuah sebab, yaitu pendidikan yang kurang tepat. Maka menghilangkan penyebab korupsi akan enjadi lebih tepat. Jika benar, bahwa bibit korup itu justru tumbuh dari lembaga pendidikan, maka strategi, orientasi dan isi pendidikan seharusnya diubah. Jika pendidikan tetap saja sebagaimana yang dijalankan selama ini, maka akan lahir koruptor baru pada setiap saat. Jika korupsi adalah sebagai buah, atau akibat dari sebuah sebab, maka untuk menghilangkannya, sebab-sebab yang melahirkan tindak korupsi itu harus dihilangkan. Kalau diyakini bahwa pendidikan yang dijalankan selama ini masih melahirkan watak korup, maka mencegahnya bukan saja menghukum orang korupsi melainkan juga memperbaiki atau bahkan mengubah pendidikan yang selama ini dijalankan hingga tidak melahirkan mental korup. Tidak boleh kita membenci buahnya, akan tetapi pohonnya tetap dipelihara. Oleh karena itu, maka perlu mengevaluasi kembali tentang pendidikan yang dijalankan selama ini. Dikhawatirkan jangan-jangan lahirnya mental korup itu sebenarnya adalah justru dari pelaksanaan pendidikan di semua jenujang lembaga pendidikan, mulai tingkat dasar hingga perguruan tinggi, yang kurang tepat. Bahwa pendidikan selama ini, jangan-jangan belum berhasil melahirkan lulusan yang jujur. Wallahu a’lam.
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang