Muttaqien, Kafirien Dan Munafiqien

Dalam al Qurán, manusia dikelompokkan menjadi tiga golongan, yaitu kelompok muttaqien, kafirien dan munafiqien. Ketiga kelompok manusia itu ditunjukkan ciri-cirinya masing-masing.  Ciri-ciri orang muttaqien adalah orang-orang beriman kepada yang ghoib, mendirikan shalat, mau menginfaqkan sebagian rizkiya, mengimani kitab-kirab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad maupun kitab-kitab yang diturunkan kepada rasul sebelumnya, dan mereka itu yakin akan hari akhir.

  Adapun ciri-ciri orang kafir adalah orang yang antara diberi peringatan dan tidak dberi peringatan adalah sama saja. Hati mereka telah tertutup, demikian pula telinganya, matanya  dan bagi mereka adalah  siksa yang pedih. Sedangkan ciri kelompok orang yang ketiga adalah orang-orang yang tidak jelas. Mereka mengaku iman tetapi sebenarnya dalam hatinya tidak beriman. Hati mereka disebutkan sedang sakit, dan penyakit itu akan bertambah dan bertambah lagi.   Memperhatikan kategorisasi manusia dalam al Qurán tersebut terasa sangat menarik. Ternyata al Qurán memberikan petunjuk bagaimana memahami sesuatu, —–dalam hal ini adalah manusia, melalui kategorisasi yang jelas. Dalam ilmu-ilmu sosial, banyak ahli membuat kategorisasi seperti itu. Akan tetapi seringkali, hasilnya tidak jelas karena  tumpang tindih.  Misalnya,  yang dibuat oleh Clifford Geerdz tentang masyarakat Jawa, yaitu santri, priyayi dan abangan. Kategorisasi itu dianggap kurang jelas, sebab santri bisa  masuk priyayi, demikian pula abangan.   Kategorisasi dalam al Qurán tersebut,  adalah bersifat universal. Artinya bisa digunakan untuk membaca  semua gejala yang terkait  dengan sikap orang terhadap sesuatu, bahkan  dalam bidang apapun. Kategorisasi manusia  menjadi kelompok muttaqien, kafirien,  dan munafiqien dalam al Qurán  tersebut adalah terkait dengan ajaran yang datang dari Allah, yaitu Islam.  Tentu sikap manusia terhadap apapun, misalnya terhadap pemimpin, guru, organisasi, negara dan lain-lain akan bisa dibagi menjadi tiga kategori tersebut. Mereka ada yang bersikap setuju, menolak,  dan  atau tidak jelas.   Dua di antara ketiga kelompok dalam al Qurán tersebut, ——muttaqien dan kafirien, tidak terlalu sulit dihadapi, karena menampakkan wajah yang jelas.    Berbeda dengan kedua kelompok tersebut, adalah kelompok ketiga, yaitu yang disebut munafiqien. Mereka itu  sangat sulit dihadapi, karena selalu menampakkan wajah yang  tidak jelas. Mereka mengaku beriman pada hal tidak. Mereka selalu bohong terhadap  orang lain,  sekalipun  sebenarnya  adalah membohongi dirinya sendiri.   Dalam kehidupan sehari-hari, siapapun  tatkala menghadapi kelompok  ketiga  ini, —–karena tidak jelas,  akan mengalami kesulitan.  Sesuatu yang jelas, apapun bentuknya,  akan mudah dihadapi. Akan tetapi  terhadap mereka yang tidak jelas,  siapapun akan mengalami kesulitan. Sesuatu yang tidak jelas, apalagi  terkait dengan sikap atau perilaku seseorang, akan sangat sulit dihadapi.  Al Qurán ternyata memberikan petunjuk atau peringatan tentang  selalu adanya kelompok manusia yang tidak jelas, yang disebut sebagai kaum  munafiqien.   Masih terkait dengan kategorisasi manusia, seorang pemimpin akan mengalami kesulitan tatkala mereka yang dipimpin tidak jelas keberpihakannya. Tatkala mereka diangap sebagai kelompoknya, ternyata justru  adalah musuhnya. Di mana dan kapan pun,  musuh yang paling berat dihadapi adalah mereka  yang paling dekat dengannya. Mereka itu menampakkan sebagai sekutu, seolah-olah membantu dan mendukung, padahal pada kenyataannya selalu memusuhi dari dalam. Mereka itu hanya ingin mendapatkan keuntungan pribadi dan tidak mau beresiko.   Orang seperti  yang digambarkan itu  ternyata selalu ada dalam semua komunitas. Padahal komunitas apa saja tatkala  di dalamnya terdapat orang-orang yang tidak jelas posisi yang sebenarnya, berpura-pura menjadi sekutu, padahal sebenarnya mereka adalah sebagai musuh, maka suatu saat  akan menghancurkan kekuatan dari dalam. Orang-orang seperti itu, di manapun, tidak terkecuali di dunia pendidikan sekalipun, selalu ada. Jika kelompok ini jumlahnya banyak, maka akan meruntuhkan komunitas di mana mereka berada.   Dalam organisasi pemerintahan,  orang-orang yang mengambil  posisi tidak jelas, selalu ada dan   kadang jumlahnya cukup  banyak. Orang seperti ini  kerjanya  sebagai penjilat, selalu menggunting dalam lipatan, dan pengkhianat. Para koruptor yang selalu menghabiskan uang negara, pada hakekatnya adalah kelompok munafiqien ini. Mereka seolah-olah loyal, pejuang, berpenampilan  sebagai orang baik, tetapi sebenarnya hatinya  sedang sakit. Oleh karena itu,  para koruptor itu sebenarnya adalah orang-orang yang sedang tidak sehat. Lebih berbahaya lagi, karena penyakitnya itu  berada  di dalam hati mereka.   Berangkat dari pemahaman  tersebut,  maka memperbaiki masyarakat korup, memang tidak mudah. Tidak cukup  memberantas korupsi dengan pendekatan hukum, menambah institusi  kepolisian, kejaksaan,  dan kehakiman dengan KPK. Sebagaimana  yang tampak  selama ini, institusi yang dipercaya mampu memberantas korupsi dengan pendekatan hukum, ternyata sebagian mereka sendiri juga terlibat korupsi.  Semua itu  adalah bukti,  bahwa pendekatan hukum tidak akan menghilangkan penyakit hati,  sebagai penyebab terjadinya korupsi  di mana-mana.   Menghilangkan atau setidak-tidaknya mengurangi korupsi harus dilakukan dengan pendekatan profetik, yaitu pendekatan kenabian. Para rasul dalam memperbaiki masyarakat selalu  berdasarkan  petunjuk Tuhan  melalui kitab suci, ketauladanan, dan akhlak yang luhur. Ketauladanan harus dimulai dari para pimpinannya.  Pemimpin adalah pemimpin,  berbeda dengan pejabat, pegawai apalagi bermental buruh. Seorang pemimpin bekerja bukan  karena  gaji, tunjangan atau upah, melainkan atas dasar   ketulusan dan atau keikhlasan.     Sebagai gambaran sederhana pendekatan profetik itu adalah dilakukan  dengan cara mendekatkan masyarakat pada kitab suci, tempat ibadah, dan memfungsikan ulama’ sebagai pembimbing kehidupan. Pendekatan profetik,  seorang pemimpin harus selalu berada di depan dalam melaksanakan tugas-tugasnya.  Selain itu, pemimpin tidak selayaknya  berbicara gaji, tunjangan, atau fasilitas. Jika itu dilakukan, maka habislah kewibawaannya dan selanjutnya tidak akan dipercaya orang. Pemimpin, dalan pendekatan profetik, tidak perlu menerima gaji, tunjangan atau upah. Maka,jika para petugas pemberantas kurupsi, bergaji atau berupah tinggi,  saya berpendapat,  mereka  sebenarnya justru menjadi penyulut terjadinya penyimpangan itu.   Boleh-boleh saja menghilangkan korupsi menempuh cara lain sebagai tambahan, tetapi ketiga hal tersebut  adalah sangat mendasar untuk dijalankan, jika benar-benar bangsa ini ingin menjadi baik bersih, dan maju. Seseorang yang dekat pada kitab suci, tempat ibadah,  dan para ulama’ sebagai pemandunya, insya Allah hati mereka akan menjadi sehat. Orang-orang yang sehat, tentu akan berhasil mengendalikan diri  sehingga  menjadi orang yang jelas di mana posisinya. Sebaliknya, orang yang tidak jelas atau  kelompok munafiqien, karena  hatinya sedang sakit, maka diapa-apakan saja akan tetap menyeleweng dan merusak, semisal melakukan korupsi.  Wallahu a’lam.            

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share