Semua orang rupanya sudah sangat membenci perbuatan korup, sampai-sampai ada buku yang berjudul korupsi itu kafir. Sedemikian benci terhadap tindakan korupsi, Â sehingga pelakunya disebut kafir. Padahal, menurut keyakinan Islam, Â orang yang mengingkari adanya Tuhan, —–yang disebut kafir itu, Â tidak akan pernah masuk surga. Tempat mereka di akherat nanti adalah di neraka.
 Jika perbuatan korupsi itu hanya dimaknai sebagai tindakan seseorang mengambil uang dengan cara tidak syah di kalangan birokrasi atau organisasi formal lainnya, maka memang koruptor itu tidak banyak. Korupsi hanya dilakukan oleh para birokrat dan orang-orang yang bekerja di organisasi atau lembaga-lembaga  formal. Akan tetapi, kalau korupsi dimaknai secara lebih luas, yaitu semua cara mengambil uang atau keuntungan dengan cara yang tidak syah, maka menjadikan korupsi  ada di mana-mana.  Dengan pengertian seperti itu, maka korupsi bisa dilakukan oleh siapapun. Termasuk orang miskin yang tidak berstatus sebagai pegawai pun bisa melakukan tindakan yang disebut korupsi. Dan jika pengertiannya adalah seperti itu, maka sebenarnya lebih banyak lagi orang yang menyimpang terkait dengan keuangan itu. Korupsi tidak saja dilakukan oleh pejabat pemerintah atau pegawai negeri atau pegawai swasta, tetapi juga bisa saja dilakukan oleh semua orang.  Hanya saja, di tengah masyarakat pada umumnya, mengambil uang dengan cara tidak syah itu bermacam-macam sebutannya,  misalnya : mengemplang, mencuri, merampok, menggasab, merampas, menyopet, dan lain-lain. Sudah barang tentu, ——dengan demikian, hal itu dilakukan oleh banyak orang dan terjadi di mana-mana.  Orang miskin pun bisa korupsi. Saya pernah mendapatkan pengalaman yang menyedihkan tentang itu. Suatu saat, datanglah seseorang ke kantor. Ia mengaku mengalami kesulitan terkait dengan pengambilan ijazah anaknya. Sudah sekian lama anaknya lulus dari sekolah kejuruan. Namun, selama ini belum bisa digunakan melamar pekerjaan, karena ijazahnya masih ditahan oleh pihak sekolah, lantaran belum melunasi uang sekolah.  Kedatangannya mau meminta bantuan untuk membayar kewajibannya itu. Mendengarkan cerita yang sangat menyentuh hati, saya segera menyanggupi menutup beban itu. Orang tersebut saya suruh pulang, dan tanggungannya akan saya bayar sendiri langsung ke sekolah. Saya hanya meminta nama anak yang bersangkutan dan juga alamat sekolah dimaksud. Ternyata dia menolak jika saya membayar sendiri, dengan alasan agar tidak merepotkan. Dia hanya meminta uang sejumlah tertentu dan akan dibayarkannya sendiri. Saya juga tidak mau membantu, kalau ada syarat harus dibayar sendiri oleh orang tersebut, akhirnya dia mengalah, dan akhirnya pulang.   Setelah saya menyuruh seorang staf, untuk menyelesaikan dengan datang ke sekolah dimaksud ternyata  tanggungan yang harus dibayar tidak sebanyak uang yang diminta. Artinya orang meminta bantuan pun juga mau korupsi. Kejadian yang sama, juga dilakukan oleh orang lain, datang ke rumah dengan maksud serupa. Setelah saya utusan seseorang untuk membayar uang sekolah dimaksud, ternyata jumlah kekurangan itu  tidak sebesar yang diminta. Lagi-lagi, orang meminta bantuan pun masih berharap mendapatkan kelebihan, dengan cara yang tidak jujur.  Kejadian yang menjengkelkan serupa juga saya alami di kampus. Pada saat penerimaan mahasiswa baru, datang seorang ibu bersama anaknya. Mereka mengaku sedah diterima sebagai mahasiswa baru, tetapi tidak sedikitpun memiliki dana untuk membayar kewajiban yang telah ditentukan. Mereka meminta  dibebaskan dari kewajiban membayar sejumlah dana yang ditentukan, dengan alasan tidak mampu. Ia mengaku sebagai janda, yang sehari-hari hanya bekerja sebagai buruh tani. Jika ada pekerjaan, penghasilan sehari-hari, ——-menurut pengakuannya,  hanya sekitar Rp. 25.000,- Pekerjaan Itu pun tidak selalu didapat setiap hari. Maka, menurut perhitungan saya, dengan penghasilan seperti itu, tidak akan mungkin cukup  untuk membiayai anaknya hingga lulus.  Mendengar keluhan itu, saya menawari alternative pemecahan. Yaitu, seluruh biaya kuliah hingga lulus akan saya tanggung. Selanjutnya,  dengan mempertimbangkan usia ibunya sudah tua, dan tidak setiap saat  mendapatkan pekerjaan, maka saya menawari untuk bekerja saja di rumah saya sebagai pembantu, yang kebetulan di rumah, sedang tidak memiliki pembantu. Ternyata tawaran saya tersebut  ditolak, dan bahkan keduanya  menangis sejadi-jadinya. Dengan tawaean itu, mereka  merasa direndahkan, lantaran akan diperlakukan sebagai pembantu rumah tangga.  Anehnya, ketika diadakan pertemuan wali mahasiswa, orang yang saya maksudkan hadir. Artinya mereka sudah membayar lunas kewajiban yang dibebankan kepadanya. Peristiwa seperti ini, menurut hemat saya, ——kalau usahanya mendapatkan keringanan itu berhasil, juga masuk dalam kategori  korupsi.  Melalui cerita pengalaman itu, maka sebenarnya jiwa koruptif sudah ada di mana-mana. Korupsi sudah menjadi penyakit umum yang tidak hanya terbatas di kalangan tertentu. Bisa jadi orang yang sehari-hari membeci korupsi, ——disengaja atau tidak, diam-diam juga melakukan sesuatu yang dibencinya sendiri. Jika benar demikian, maka menurut hemat saya, memberantas korupsi tidak cukup hanya dengan cara menangkap para koruptor, mengadili,  dan memasukkannya ke penjara.  Memberantas korupsi, juga harus dilakukan dengan cara menghilangkan akar munculnya jiwa korup itu.  Sementara ini, saya memandang bahwa,  sumber korup ada pada hati orang, yaitu hati yang terlalu mencintai harta kekayaan. Terlalu mencintai harta itulah yang sebenarnya menjadi sumber utama lahirnya tindakan korupsi.  Dalam Islam, terlalu mencintai harta, adalah merupakan bagian dari akhlak buruk. Sayangnya sementara ini, kita membenci korupsi sebagai wujud dari akhlak buruk itu, tetapi bagaimana membangun akhlak baik dan mulia, masih  kurang mendapatkan perhatian, tidak terkecuali di lembaga pendidikan kita. Wallahu a’lam.
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang