Ma’had al Jamiáh dan Pembinaan Karakter Mahasiswa

Akhir-akhir ini banyak perguruan tinggi memandang pentingnya asrama bagi mahasiswa. Asrama mahasiswa tidak saja dilihat sebagai sarana penting  sebagai  tempat tinggal,  melainkan diharapkan memiliki nilai lebih untuk meningkatkan kualitas akademik mahasiswa dan bahkan juga dikaitkan dengan upaya membangun karakter.  Atas dasar pandangan itu maka, banyak perguruan tinggi melengkapi sarana pendidikannya dengan asrama mahasiswa atau  dikenal dengan sebutan rusunawa.     UIN Maulana Malik Ibrahim Malang  mulai melengkapi kampusnya dengan asrama mahasiswa yang kemudian disebut dengan nama ma’had al aly  sejak akhir tahun  1999 yang lalu.  Ma’had al aly ini oleh karena sudah berumur lebih dari 10 tahun, maka  sudah dirasakan menjadi bagian  dari universitas.  Setiap mahasiswa yang mendaftar dan masuk UIN Malang tanpa ada penjelasan  sebelumnya sudah mengetahui, bahwa  pada tahun pertama, mereka harus masuk ma’had.   Pada awalnya, memanmg banyak orang mempertanyakan peran dan fungsi ma’had dalam kaitannya dengan pengembangan perguruan tinggi. Ma’had atau juga disebut pesantren dianggap memiliki kultur berbeda dengan perguruan tinggi. Oleh sebab itu banyak orang yang skeptis memandang konsep itu. Mereka  menganggap bahwa tidak akan mungkin kultur ma’had disatukan dengan kultur perguruan tinggi. Selain itu, tidak sedikit orang mempertanyakan posisi ma’had dalam struktur organisasi perguruan tinggi.   Berbagai pertanyaan tersebut pada awalnya sengaja diabaikan, karena memang belum ada contoh yang bisa dijadikan bukti penjelas, lebih-lebih perpaduan antara dua tradisi yang berbeda tersebut diterapkan di perguruan  tinggi yang berstatus negeri. Memang telah ada sebelumnya,  pesantren yang membuka  perguruan tinggi. Akan tetapi , antara mereka yang berstatus sebagai mahasiswa dan yang yang berstatus sebagai santri adalah berbeda. Oleh karena itu, keberadaan perguruan tinggi di pesantren tidak mem unculkan persoalan baru. Hal itu berbeda dengan konsep ma’had al aly  UIN Malang, yang  para mahasiswanya sekaligus berstatus sebagai santri ma’had.  Hal yang terkait dengan posisi ma’had dalam struktrur organisasi perguruan tinggi dirumuskan  bahwa ma’had adalah bagian penting dari perguruan tinggi Islam. Misi  perguruan tinggi Islam untuk mengantarkan para lulusannya menjadi ulama yang intelek professional dan intelek professional yang ulama, maka kampusnya  harus  memiliki  9 pilar  yang disebut  sebagai rukun universitas atau arkanul jaami’ah.   Adapun yang disebut sebagai rukun universitas itu adalah meliputi sebagai berikut : (1) harus ada guru besar atau dosen yang berkualitas, (2) masjid, (3) ma’had al aly, (4) perpustakaan, (5) laboratorium, (6) pusat-pusat kegiatan akademik, (7) pusat-pusat pelayanan administrasi, (8) pusat-pusat pengembangan seni dan olah raga dan (9) sumber-sumber pendanaan  yang luas dan kuat.   Sebagai sebuah rukun, maka penyebutan masing-masing unsur tersebut harus konsisten, sebab hal itu menggambarkan tingkat urgensi atau kepentingan masing-masing. Misalnya, guru besar harus disebut paling awal, sebab tanpa guru besar atau dosen tidak akan mungkin,fungsi-fungsi perguruan tinggi akan berjalan dengan sempurna. Demikian pula masjid dan ma’had harus ada dan sekaligus memiliki tingkat urgensi yang tinggi untuk membangun spiritualitas dan karakter mahasiswa.   Melalui penjelasan seperti itu, maka konsep  berupa perpaduan  antara  perguruan tinggi dan ma’had, semakin  lama semakin diterima oleh kalangan luas. Bahkan pada saat  ini, setelah konsep itu telah berjalan lebih dari 10 tahun,  maka  semua pihak,  khususnya warga kampus sudah  merasakan sebagai   ciri khas UIN Maliki Malang.  Dengan demikian, bagi orang yang tidak mau mengikuti konsep atau program itu, maka tidak akan mendaftar masuk  menjadi mahasiswa di kampus ini.   Unsur-Unsur Ma’had al Jami’ah  Rupanya kementerian agama dalam hal ini dirjen pendidikan Islam tidak menamai ma’had al aly sebagaimana yang sudah lama digunakan oleh UIN Maliki Malang, melainkan  menyebutnya dengan ma’had al Jami’ah.  Penyebutan  seperti itu kiranya bisa dipahami, yaitu agar menjadi jelas bahwa ma’had tersebut adalah bagian dari perguruan tinggi Islam.   Bagi UIN Maliki Malang penyebutan ma’had al aly memiliki sejarah tersendiri. Penyebutan ma’had dan tidak disebut pesantren agar memiliki konotasi  modern sebagai sebuah gejala kota. Sedangkan penyebutan al aly sebenarnya agar terbangun rasa bangga di kalangan  mahasiswanya. Sebab dengan sebutan al aly, maka ma’had tersebut bukan sebagaimana ma’had pada umumnya, melainkan ma’had tingkat tinggi, dan hal itu sejalan dengan posisi sebagai seorang mahasiswa,  berada pada lembaga pendidikan tingkat tinggi. Jadi penggunaan istilah itu sebenarnya untuk memenuhi tuntutan psikologis, agar melahirkan kebanggaan.   Berbeda dengan asrama mahasiswa pada umumnya, ma’had al Jami’ah yang dimaksudkan  untuk memberikan nilai lebih, terutama dikaitkan dengan upaya membangun karakter  bagi  calon ulama Islam, maka fasilitas tersebut harus memenuhi,  setidaknya tiga unsur. Yaitu, masjid, rumah pengasuh,  dan  tempat tinggal mahasiswa atau asrama itu sendiri. Selain ketiga unsur tersebut  masih harus ditambah lagi dengan program-program kegiatan kema’hadan.    Jika ma’had al jamiah benar-benar dimaksudkan untuk membangun kultur keulama’an dan sekaligus kekokohan intelektual para mahasiswa, maka unsure-unsur tersebut harus dipenuhi. Terkait dengan pentingnya  ma’had atau pesantren  dalam membangun keulama’an, pernah Prof.Dr.Mukti Ali membuat statemen yang menarik.  Beliau mengatakan bahwa : “tidak pernah ada ulama yang lahir dari lembaga selain  pesantren. Ulamna selalu lahir dari pesantren”. Oleh sebab itu, jika perguruan tinggi Islam diharapkan berhasil melahirkan ulama’, maka perguruan tinggi itu harus dilengkapi dengan pesantren atau disebut dengan ma’had al Jami’ah. Atau disebut  ma’had al aly untuk UIN Maliki Malang.   Melalui ketiga unsur tersebut, yaitu masjid, pengasuh ma’had yang juga berada  di lingkungan itu, ——menyatu di lokasi asrama mahasiswa, dan asrama mahasiswa, maka akan terbangun tradisi kehidupan spiritual dan intelektual sekaligus. Para mahasiswa pada setiap masuk waktu shalat dengan dipimpin oleh para  pengasuk atau kyainya, menjalankan shalat berjama’ah,  tadarrus al Qur’an,  menjalankan puasa wajib maupun  puasa sunnah dan atau kegiatan-kegiatan  kema’hadan lainnya, seperti halaqoh untuk membahas berbagai persoalan  yang diperlukan atau diprogramkan secara bersama-sama.   Menurut sementara informasi,  bahwa banyak asrama yang  didirikan oleh perguruan tinggi,  yang disebut dengan istilah rusunawa,  dianggap belum memberikan kontribusi secara maksimal  dalam upaya meningkatkan kualiatas akademik para mahasiswa. Menurut hemat saya,  hal itu disebabkan  oleh karena fasilitasnya  belum semuanya didukung oleh unsur lain yang semestinya ada, yaitu tempat ibadah dan perumahan atau tempat tinggal dosen pengasuhnya. Jika yang ada hanya sebatas tempat tinggal untuk mahasiswa, tanpa dilengkapi dengan tempat ibadah ——masjid, dan rumah pengasuh, maka fasilitas  tersebut tidak akan memberi manfaat,  kecuali hanya memudahkan mahasiswa mendapatkan tempat tinggal.     Posisi Strategis Pengasuh  dan Organisasi Santri Ma’had Ketika  ada  rencana membangun ma’had al jami’ah,  maka  rupanya yang dipikirkan adalah tentang bagaimana membangun fasilitas gedung  tempat tinggal mahasiswa beserta kelengkapan lainnya. Oleh karena itu dalam pembicaraan  tentang ma’had al jami’ah yang lebih sering dipertanyakan adalah berapa jumlah kamar,  yang bisa disediakan untuk menampung para mahasiswa. Makin banyak jumlah kamar, maka dianggap persoalan kema’hadan sudah selesai. Padahal sebenarnya, keberadaan masjid, kamar mahasiswa,  dan rumah pengasuh, adalah sebatas fasilitas yang tidak akan memberi  makna apa-apa jika tidak dimanfaatkan oleh mereka yang menempati fasilitas itu.   Keberadaan fasilitas  tersebuit memang penting, namun yang lebih penting lagi dari semua itu adalah kekuatan penggeraknya. Sedangkan yang saya maksud dengan kekuatan penggerak itu adalah para dosen pengasuh yang bersedia bertempat tinggal di lingkungan ma’had. Kehidupan ma’had akan sangat tergantung dari integritas, tanggung jawab, keikhlasan, dan ruhhul jihad dari  para dosen pengasuh ma’had  itu. Mereka bertugas tidak pernah berhenti selama 24 jam. Oleh karena itu, jika mereka hanya bekerja atas dasar peraturan, tata tertib, dan atau surat keputusan pimpinan, maka  ma’had itu tidak akan berjalan sebagaimana yang diinginkan.   Kenyataan seperti itu  adalah sama dengan  pondok pesantren. Bahwa  kekuatan  pesantren  adalah pada pribadi kyainya. Oleh karena itu bahwa sebenarnya,  membangun fasilitas ma’had tidak lebih sulit dari menggerakkan kehidupan ma’had itu sendiri. Sedangkan  yang dimaksud sebagai penggerak itu adalah para dosen pengasuhnya itu. Betapa strategisnya posisi dosen pengasuh, bisa digambarkan bahwa,  umpama mereka itu kebetulan tidak rajin shalat berjama’ah di masjid, maka para santri atau mahasiswa di ma’had  akan mengikutinya, —-tidak mau ke masjid. Saya mengamati, bahwa para santri dan mahasiswa akan mau menjalankan apa saja yang dianggap baik oleh perguruan tinggi atau kampus, sepanjang pimpinan kampus dan  dosen sebagai pengasuhnya telah menjalankan kebaikan  itu terlebih dahulu.   Berdasarkan pengalaman selama ini,  mencari  dosen yang sanggup bertindak sebagai pengasuh  dengan berbagai tuntutan itu ternyata tidak mudah.  Persyaratan sebagai pengasuk ma’had al jami’ah tidak cukup hanya dilihat dari latar belakang ijazahnya, m isalnya bergelar master atau bahkan doctor. Pengasuh ma’had  harus  berbekalkan kultur kema’hadan yang tidak selalu bisa diperoleh dari seperangkat pendidikan atau pelatihan yang bersifat formal.   UIN Maliliki Malang pada saat ini dalam mencari dosen pengasuh tidak terlalu sulit sebagaimana pada awal merintisnya.  Umur ma’had yang sudah lebih dari 10 tahun, telah menghasilkan  alumni, sehingga mereka bisa dikader untuk mengurus lembaga  tersebut.   Peran strategis selanjutnya adalah organisasi santri  kema’hadan. Para santri atau mahasiswa pada  umumnya akan lebih mudah digerakkan oleh  sesama santri atau  mahasiswa.  Oleh karena itu  organisasi para santri yang berada di bawah bimbingan dosen pengasuh itulah sebenarnya  yang memiliki kekuatan sebagai penggerak kegiatan ma’had.  Ma’had Sunan Ampel al aly UIN Maliki Malang memiliki  organisasi santri yang disusun  di  masing-masing mabna.  Organisasi itu dibentuk oleh mereka sendiri, disusun dan dikembangkan programnya masing-masing. Namun,sebagai pembinanya,   maka  ditunjuk  tenaga-tenaga yang diambilkan dari mahasiswa senior yang berprestasi.  Mereka  itu disebut sebagai musrif dan musrifah. Para musrif dan musrifah inilah yang berperan sebagai penggerak dan pembimbing langsung  terhadap semua kegiatan ma’had di bawah bimbingan dan tauladan dari para dewan pengasuh ma’had yang dalam hal ini adalah para dosen tetap.   Posisi ma’had al aly di lingkungan UIN Maliki Malang dianggap sangat strategis, oleh karena itu Mudir  ma’had al aly ditetapkan sebagai anggota tetap senat universitas. Keberadaan ma’had bukan semata-mata sebagai pelengkap dan apalagi tambahan, melainkan sebagai unsur penting dalam universitas. Demikian pula, beberapa  kegiatan halaqoh di ma’had juga dijadikan sebagai persyaratan untuk mengikuti mata kuliah yang diprogramkan oleh masing-masing fakultas atau jurusan. Melalui cara ini maka posisi ma’had benar-benar  ikut menentukan,  dan oleh karena itu wajib  diikuti oleh seluruh mahasiswa  UIN Maliki Malang.  Hasil Yang Bisa Dirasakan dari Adanya Ma’had al Jami’ah Hasil  dari adanya ma’had  al jamiah, memang agak sulit dilaporkan secara kuantitatif.  Namun hal itu  lebih mudah dirasakan atau didiskripsikan dari pada  disampaikan dengan angka-angka yang bersifat kuantitatif.  Setelah adanya ma’had, maka hubungan  antara dosen dan mahasiswa dirasakan menjadi semakin dekat.  Ikatan-katan formal  berupa   peraturan atau tata tertib masih ada, dan tidak  mungkin dihilangkan, namun hal itu disempurnakan dengan  adanya hubungan emosional antara guru m urid itu.   Selain itu, kegiatan shalat berjama’ah  di masjid, tadarrus al Qur’an, kegiatan menghafal al Qur’an semakin tumbuh di kalangan mahasiswa. Hal yang sangat menggembirakan, bahwa sejak adanya ma’had maka banyak prestasi yang lahir  yang sebelumnya tidak pernah  muncul. Misalnya,  semakin banyak mahasiswa yang hafal al Qur’an dan sekaligus meraih prestasi akademik,  dan  bahkan prestasi itu masih ditambah dengan menulis karya ilmiah  berbahasa asing.  Sebagai contoh lagi,  pada wisuda terakhir hari sabtu, tanggal 7 Mei 2011 yang lalu, seorang mahasiswa Fakultas Tarbiyah IP nya tertinggi, ia menulis skripsi tiga bahasa. Demikian pula, ada mahasiswa psikologi, hafal al Qur’an 30 juz, sklpsinya ditulis dengan menggunakan Bahasa Arab dan IPnya ternyata tertinggi di fakultasnya. Prestasi yang menggembirakan seperti itu selalu tampak pada setiap kali wisuda.      Tentu,  masih banyak hal positif lainnhya yang tidak bisa disebut  secara lengkap. Akan tetapi, memang adanya ma’had Sunan Ampel al aly di UIN Maliki Malang telah dirasakan manfaatnya baik oleh orang tua, para pimpinan,  dosen,  karyawan dan mahasiswa sendiri. Oleh karena itu jika kementerian agama berkehendak menjadikan ma’had al jami’ah sebagai program utama atau unggulan  seharusnya segera dimulai dan diberlakukan di semua PTAIN di Indonesia. Saya melihat  bahwa program ma’had al jami’ah adalah pilihan yang tepat untuk  meningkatkan kualitas lulusan, baik akademik maupun karakter bagi  mahasiswa  perguruan tinggi Islam. Wallahu a’lam. *) Tulisan dipersiapkan sebagai bahan diskusi di Direktorat Perguruan Tinggi Islam Kementerian Agama,  pada tanggal 12 Mei 2011,  di Jakarta

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share