Berita tentang wafatnyanya Mbah Surip, semula saya ketahui dari berita televisi. Penyanyi ini sebetulnya belum lama saya mengenalnya. Saya terkesan bahwa seniman ini sederhana, baik dalam penampilan atau pun juga lirik lagu yang dibawakannya. Tetapi terrnyata justru dengan kesederhanaannya itu, ia mendapatkan perhatian masyarakat yang sedemikian luas. Banyak orang dikejutkan dengan peristiwa kematian itu. Rupanya masyarakat masih ingin menikmati lagu-lagu lainnya bawaan Mbah Surip, yang terdengar enak. Bagi saya sendiri, entah mengapa, setiap mendengar berita kematian tidak merasakan ada sesuatu yang aneh. Saya tidak pernah menganggap kematian sebagai sebuah persoalan. Bagi saya kematian adalah sebuah kelaziman dan bahkan kepastian. Setiap orang akan mati, dan bisa terjadi kapan atau di mana saja. Saya selalu merasakan bahwa kematian bukan merupakan persoalan, asalkan seseorang yang meninggal itu telah berhasil menyandang keimanan dan beramal sholeh dalam hidupnya. Seorang yang meninggal dalam keadaan beriman dan beramal sholeh, menurut pandangan Islam justru beruntung. Tidak ada sesuatu yang perlu disedihkan. Perjalanan hidup bagi semua orang adalah begitu, lahir, hidup dan mati. Itupun juga tidak terlalu lama, rata-rata umur itu antara 60 sampai 80 tahun saja. Bahkan tidak sedikit yang kurang dari itu. Berapa pun usia seseorang tidak mengapa, dirasa serba pantas. Sebaliknya, saya memiliki pandangan bahwa justru akan menjadi persoalan jika seseorang terlalu panjang usianya, hingga tidak segera mati. Seseorang yang memiliki usia tidak sewajarnya, melebihi ukuran umum, justru saya merasakan sebagai masalah. Paling tidak dengan begitu akan merepotkan saudara-saudaranya dan mungkin juga bagi yang bersangkutan sendiri. Kata kunci keberhasilan hidup, menurut pandangan Islam yang saya pahami adalah iman dan amal sholeh. Seseorang yang telah beriman dan beramal sholeh, maka akan mendapatkan kebahagiaan, baik di sini maupun di sana atau akherat nanti. Kaya atau miskin, menjadi rakyat atau pejabat, itu semua bukan ukuran keberhasilan hidup, sekalipun banyak orang selalu mengejar-ngejarnya. Sementara orang menganggap bahwa hidupnya berhasil, jika telah meraih kekayaan atau jabatan tinggi. Padahal bukan itu ukuran yang sebenarnyanya, hingga akhirnya hal itu menjadi dikejar-kejar. Memang kekayaan dan jabatan bisa dijadikan modal untuk beramal sholeh, sehingga hal itu dianggap perlu dalam hidup ini. Tetapi, kedua hal itu bukan merupakan syarat mutlak untuk bisa meraih keimanan dan amal sholeh. Masih banyak pintu-pintu lain untuk menggapai kebahagiaan. Belajar dari kehidupan Mbah Surip, ia bukan pejabat dan rupanya ia juga bukan termasuk orang kaya dalam hidupnya. Justru ia menjalani hidup dalam suasana kesederhanaannya. Ia telah memilih hidup dengan menekuni kesenian. Rupanya ia mengembangkan jiwanya pada dunia itu secara total, dalam arti tidak setengah-setengah. Oleh karena itu, ia berhasil memberikan yang terbaik dalam hidupnya. Ia bisa berhasil mengajak banyak orang tertawa. Mulai dari anak-anak, remaja, orang dewasa, tua, muda, rakyat hingga pejabat diajaknya tersenyum dan tertawa. Inilah yang menjadikan kehidupan Mbah Surip dikenal secara luas. Sebagai manusia pasti memiliki keterbatasan, tidak terkecuali umur yang dijalaninya. Orang tidak mengira bahwa Mbah Surip segera dipanggil oleh Allah swt., wafat. Berbagai media masa, baik cetak maupun elektronik, beberapa hari ini banyak menyiarkan peristiwa itu, termasuk juga jalan hidup yang telah dilaluinya. Sehingga, sekalipun Mbah Surip sudah wafat, tetapi terasa namanya malah justru semakin hidup. Setidak-tidaknya nama baiknya justru semakin banyak disebut orang , di mana-mana dan oleh siapa saja. Nama Mbah Surip menjadi kekuatan atau icon untuk menghidupkan semangat banyak orang. Tentu tidak semua orang berhasil meraih prestasi seperti itu. Sampai Presiden SBY pun juga menyampaikan ucapan bela sungkawa atas wafatnya seniman itu. Tentu, juga rakyat yang mendengar dan mengenalnya. Sebaliknya, banyak orang yang masih hidup, tetapi hidupnya justru mempersempit peluang hidup dan bahkan mematikan banyak orang. Dengan sifat-sifat yang dikembangkan seperti dengki, iri, tamak atau rakus, mereka menjadi sebab orang lain sengsara atau bahkan mati. Mbah Surip sekalipun telah dipanggil oleh Allah swt., telah wafat, tetapi ternyata masih saja berhasil mengajak banyak orang tersenyum dan tertawa. Atau, setidak-tidaknya beberapa hari terakhir ini, dan semoga berlanjut, terasa justru semakin hidup dan menghidupkan. Jika di negeri ini terdapat banyak orang yang selalu berusaha menjadikan orang lain bisa tersenyum dan bahkan tertawa, maka kemiskinan, kemelaratan, penderitaan, kebodohan dan seterusnya akan mudah dapat dikurangi. Kesenjangan di negeri ini sesungguhnya terjadi, oleh karena masih banyak orang yang hidupnya hanya berorientasi agar dirinya sendiri tersenyum dan tertawa, sekalipun dengan orientasi itu lalu menyusahkan orang lain. Mbah Surip yang kini telah wafat, tentu kita semua ikut berduka, dalam hidupnya telah berhasil mengajak banyak orang tertawa. Semoga amal sholehnya diterima oleh Allah swt., hingga ia tetap tersenyum di sana. Wallahu a’lam
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang