Ada hadis nabi yang mengatakan bahwa, sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling banyak memberi manfaat bagi orang lain. Hadits pendek ini sering saya dengar di berbagai kesempatan, disampaikan oleh para mubaligh, kyai, dan bahkan juga pejabat pemerintah tatkala memotivasi bawahannya. Dengan demikian, hadits tersebut menjadi sedemikian popular, dikenal, dan dipahami secara luas oleh masyarakat. Sejak saya masih kecil, ayah saya selalu memberikan nasehat agar hidup ini jangan hanya memikirkan diri sendiri, tetapi juga harus memperhatikan kebutuhan orang lain. Ayah yang sehari-hari dikenal sebagai tokoh agama tingkat desa, seringkali mengatakan bahwa, jika seseorang mau memikirkan kebutuhan orang lain, maka kebutuhannya sendiri akan dicukupi oleh Allah. Sebaliknya, jika hanya berpikir untuk mengurusi diri sendiri, jangankan kebutuhan orang lain, kebutuhan dirinya sendiri pun belum tentu tercukupi. Saya kira, nasehat seperti itu didasarkan pada hadits pendek tersebut di atas. Saya masih ingat, ketika masih kecil tinggal bersama orang tua di desa, ayah selalu berusaha memberikan sesuatu yang dimiliki untuk melapangkan orang lain. Sekalipun harus menanggung beban hidup putra-putrinya yang cukup banyak, yakni 14 orang, ayah masih selalu menambah lagi,sehingga beban keluarga menjadi bertambah banyak. Besarnya jumlah keluarga, bagi sementara masyarakat desa, memang tidak terasakan berat, sebagaimana hal itu dirasakan bagi orang kota. Rumah di desa biasanya berukuran besar. Demikian pula rumah ayah, cukup besar dan belum lagi, persis di sebelah rumah terdapat masjid. Sehingga, untuk menampung berapa pun saja anggota keluarga, tidak menjadi masalah. Kehidupan di desa tidak sebagaimana di kota, masing-masing anak tidak memerlukan kamar sendiri-sendiri. Sejak kecil anak-anak dibiasakan hidup mandiri dan orang tua tidak terlalu melayani. Kebiasaan hidup di desa, anak-anak harus membantu orang tua, bukan justru sebaliknya, anak menjadi beban orang tua. Selain ayah gemar mengambil dan memelihara anak yatim, juga memelihara orang stress atau gila. Seingat saya, selalu saja ada orang gila dititipkan di rumah. Ayah ketika itu selalu memberikan penjelasan bahwa orang yang memiliki anggota keluarga stress atau gila akan merasakan penderitaan yang sangat berat. Oleh karena itu, jika kita bisa membantu dan syukur menyembuhkannya, maka keluarganya akan merasakan sebagai sebuah pertolongan yang luar biasa besarnya. Saya masih ingat, kadang di rumah dalam waktu yang bersamaan, ayah mendapatkan titipan tidak kurang dari tiga sampai empat orang dan bahkan lebih orang yang tidak waras akalnya. Ayah dengan berpegang pada prinsip hidup itu, yakni selalu berusaha melapangkan beban orang lain, bersedia saja menerima titipan itu. Ayah tidak pernah menolak orang yang datang untuk meminta bantuan, sepanjang bisa melakukannya. Orang stress atau orang gila yang dititipkan di rumah, biasanya sehari-hari dipekerjakan untuk membantu kegiatan rumah tangga. Antara lain misalnya, mereka disuruh menjaga tanaman padi di sawah dari serangan burung. Sekalipun orang gila, biasanya masih bisa diberi tugas atau komando untuk menunaikan pekerjaan ringan. Saya masih ingat, orang gila pun ternyata juga bisa menjaga amanah. Di tengah sawah yang luas, ia lari ke sana-kemari mengusir burung pengganggu tanaman padi yang mulai berbuah. Orang yang tidak normal seperti itu, sehari-hari ditugasi bekerja yang sekiranya mungkin bisa dilakukan. Akhirnya dengan bekerja seharian, mereka akan merasa lelah dan menjelang malam, bisa segera tidur. Selesai menjalani tugas, oleh ayah orang gila tersebut selalu diberi apresiasi atas prestasinya. Jenis tugas berbeda juga diberikan kepada penderita penyakit akal lainnya. Misalnya, mengangkut hasil tanaman dari kebun ke rumah, seperti kelapa, jagung, ketela pohon, dan lain-lain. Sementara lainnya ditugasi untuk bersih-bersih di sekitar rumah. Semua orang gila yang dititipkan di rumah tidak boleh berhenti dari bekerja. Mereka semua sehari-hari harus bergerak, dan dengan bekerja itu energy mereka tersalurkan. Selain itu, ayah juga memberikan pujian atau pengakuan atas prestasi mereka. Sekalipun tidak selalu, dalam beberapa waktu, mereka menjadi membaik dan bahkan sembuh, sehingga bisa diserahkan kembali pada keluarganya. Dua jenis pengabdian terhadap masyarakat, yaitu memelihara anak yatim dan orang gila yang dilakukan oleh ayah semasa saya masih kecil, tidak pernah saya lupakan. Kata ayah, dua problem itu selalu ada di mana-mana. Oleh karena itu jika kita mau berbuat baik, yakni memberi manfaat bagi orang lain, kiranya tidak sulit dilakukan. Apalagi hidup di perkotaan, problem social semakin banyak, mulai dari pengangguran, pengentasan kemiskinan, kenakalan, dan berbagai hal lainnya. Maka jika ada kelebihan dan mau melapangkan orang lain, maka banyak hal yang bisa dilakukan. Insya Allah, jika hal itu ditunaikan dengan ikhlas, maka siapapun, akan menjadi yang terbaik, atau disebut sebagai khoirunnas. Wallahu aโlam.
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektorย Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Leave a Reply