Beberapa hari  lalu, saya berkunjung ke rumah seorang sahabat dekat yang baru saja ditinggal mati keluarganya. Ketika itu saya datang tepat pada peringatan hari yang ketujuh. Sebagaimana biasa, ketika ada kematian, di lingkungan masyarakat   itu diselenggarakan  pembacaan surat Yaasin dan tahlil bersama-sama. Hadir para tetangga, sanak famili, sahabat dekat, dan para kenalan  yang jumlahnya tidak kurang dari 1000- an orang.
 Selesai acara membaca surat Yaasin dan  tahlil,  saya secara mendadak diminta untuk memberikan pengajian singkat. Saya tahu, rupanya oleh shohibul bait, peristiwa itu dirasakan sebagai duka yang amat mendalam. Wafatnya tidak disangka-sangka oleh karena tidak didahului oleh sakit atau pun juga kecelakaan. Sedangkan usia yang meninggal itu  belum terlalu tua. Sehingga peristiwa itu sangat mengagetkan bagi semua keluarganya.  Oleh karena permintaan untuk memberikan pengajian itu mendadak, namun juga  tidak mungkin saya tolak, maka apa yang saya sampaikan adalah seadanya. Saya tahu bahwa  sebenarnya di antara yang hadir itu,  banyak kyai sepuh, sehingga semestinya ada yang lebih tepat  memberikan pengajian itu. Akan tetapi karena permintaan itu tidak mungkin saya tolak, maka saya sampaikan saja apa yang saya pikirkan dan renungkan ketika itu.  Dalam pengajian itu  saya mengatakan bahwa, kematian itu adalah sesuatu yang lazim, niscaya, dan dan bisa terjadi kapan dan di mana saja. Kematian tidak bisa dihindari, ditunda, dan bahkan diulur-ulur waktunya. Umur seseorang sudah ditentukan oleh Allah, tidak bisa dimajukan dan juga diakhirkan. Hanya saja, kapan kematian itu akan terjadi, tidak akan ada seorang pun yang mengetahuinya.  Saya juga mengatakan bahwa, kalau mati itu lazim, maka justru yang tidak lazim adalah ketika orang tidak mati-mati. Orang yang sudah berumur sangat panjang misalnya, dan  yang bersangkutan tidak segera mati, maka hal itu malah tidak lazim.   Orang pada umumnya, jarang memiliki umur lebih dari  80 tahun dan apalagi sampai 90-tahun. Rata-rata umur seseorang antara 70 hingga 80 tahun, dan bahkan kurang dari itu, banyak yang  sudah meninggal. Menghadapi peristiwa yang pasti akan terjadi itu,   bagi seorang muslim,  yang harus  diingat dan diucapkan adalah inna lillahi wa inna ilaihi rooji’ün, atau bahwa sesungguhnya semua itu adalah milik Allah dan sesungguhnya semua akan kembali kepada-Nya. Jika pandangan ini yang dimiliki dan diyakini, maka kematian adalah peristiwa  biasa, lazim dan atau niscaya. Semua orang yang hidup akan menemui kematian, hanya waktunya saja yang belum diketahui, kapan  dan di mana tempatnya.  Peristiwa kematian, menurut kepercayaan yang diajarkan oleh Islam,  hanyalah merupakan akhir dari kehidupan di dunia,  dan kemudian akan berpindah dan berlanjut pada kehidupan  di akherat yang lebih kekal. Peristiwa itu tidak  menjadi masalah dan menakutkan, asalkan yang bersangkutan adalah seorang beriman, beramal shaleh,  dan berakhlakul karimah.  Berbekalkan ketiga hal tersebut, maka  yang bersangkutan akan selamat dan mendapatkan kebahagiaan di alam akherat. Sebaliknya, persoalan itu  akan  muncul manakala orang yang meninggal  tidak memiliki bekal tersebut. Selanjutnya saya menyampaikan bahwa,  seorang yang baru saja wafat dan sedang diperingati hari ke tujuh ini,  adalah dikenal sebagai seorang yang alim, sepanjang hidupnya digunakan untuk mengabdi pada dunia pendidikan, dan selama itu dikenal sebagai orang yang baik atau berakhlakul karimah. Oleh karena itu, justru yang menjadi masalah, adalah keluarga yang ditinggalkannya itu. Persoalannya adalah biasanya mereka sangat sulit untuk bisa segera bersabar dan mengikhlaskannya.  Itulah sebabnya, mereka harus dilatih agar sifat sabar dan ikhlas,   menjadi benar-benar dimiliki. Saya juga menjelaskan  bahwa acara membaca surat Yaasin dan tahlil, bukan saja bermakna untuk mendoakan kepada yang  telah meninggal, tetapi juga melatih mereka yang ditinggalkan itu  agar segera bersabar dan ikhlas. Latihan  dengan cara membaca surat Yaasin dan tahlil dilakukan  bertahap, dimulai  pada hari pertama hingga hari ke enam, dan ditutup pada hari ke tujuh. Selanjutnya kegiatan serupa dilakukan pada hari ke empat puluh, ke seratus, lalu pada genap satu tahun,  dan akhirnya diulang  lagi pada hari ke seribu. Rentang waktu tersebut semakin lama semakin panjang jaraknya, yang semua itu dimaksudkan  agar para keluarga berhasil menata hatinya supaya  ikhlas dan sabar. Apa yang saya sampaikan itu semua adalah untuk mengingatkan tentang kematian yan g akan terjadi pada setiap orang, termasuk kepada semua yang hadir. Saya melihat dan merasakan, bahwa acara semacam itu penting dilakukan, oleh karena sekecil apapun memiliki nuansa pendidikan bagi keluarga dan tidak terkecuali bagi semua  yang hadir. Melalui kegiatan seperti itu, semua akan mengingat mati, dan akhirnya akan berbuah pada kesadaran tentang hidup dan segala maknanya yang seharusnya selalu dihayati untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan. Wallahu a’lam.             Â
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang