SEAKAN tak ada yang peduli dengan nasib hutan Indonesia yang terus menyusut luasannya dari hari ke hari. Bahkan hanya dalam kurun sepuluh tahun (1995-2005), pabrik olahan kayu juga menyusut jumlahnya: dari 120 menjadi 30 pabrik.
Sekolah pun jadi bagian terpenting untuk turut andil dalam upaya penyelamatan bumi. Sebuah konsep pendidikan tematik sebenarnya telah mulai diperkenalkan dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah (umum dan kejuruan) di Indonesia sejak tahun 1984. Secara terintegrasi, mata ajar tentang kependudukan dan lingkungan hidup mulai dimasukkan ke dalam setiap mata pelajaran sekolah sejak tahun 1989/1990.
Hal ini kembali disegarkan dalam salah satu materi yang dipaparkan oleh Johny P. Kusumo, Asisten Deputi Urusan Edukasi dan Komunikasi dari Kementrian Negara Lingkungan Hidup, pada sebuah acara Seminar Pendidikan Lingkungan Hidup yang digelar pada tanggal 24 Februari lalu, di Auditorium Gedung D, Lt. B Universitas Trisakti. Bersamaan dengan acara seminar, di ruang lain diadakan pula kompetisi daur ulang yang diikuti oleh 13 sekolah menengah se-Jabodetabek. Fakultas Tehnik Jurusan Tehnik Lingkungan Usakti Jakarta selaku penyelenggaranya, didukung oleh WWF-Indonesia dan beberapa media rekanan diantaranya majalah Gadis, Seventeen, Reader’s Digest Indonesia, serta dua sponsor lainnya, yaitu Sea World Indonesia dan Cilandak Town Square. Tidak kurang dari 100 orang yang hadir memenuhi kursi dalam auditorium ini, termasuk di dalamnya beberapa orang guru SD, SMP dan SMU se-Jabotabek sebagai para undangan, beberapa orang mahasiswa dan mahasiswi Fakultas Tehnik Usakti Jakarta, serta para supporter WWF-Indonesia. Disebutkan pula bahwa acara ini termasuk dalam program Bumi-ku Satu, sebuah rangkaian acara apresiasi terhadap supporter WWF-Indonesia sekaligus kampanye publik untuk menyampaikan pesan konservasi, meningkatkan pemahaman publik terhadap isu lingkungan serta menarik dukungan yang lebih luas dalam menjaga lingkungan secara bersama-sama.
Program Adiwiyata Masuk Sekolah
Dalam paparan makalahnya, Dr. Mubariq Ahmad, Direktur Eksekutif WWF-Indonesia, mengenai “Peranan para pihak dalam Pendidikan Lingkungan Hidup”, dengan tegas dinyatakan bahwa sekolah adalah instrumen yang sangat mampu dan sangat strategis untuk mengembangkan sistem yang keluar dari nilai-nilai materialisme, individualisme, hedonisme, menuju ke jalur penghargaan multiple intelligent dan moral serta membangun kultur pendidikan yang memiliki dignity dan berani berjalan di atas kejujuran serta berani berjalan untuk kepentingan generasi yang akan datang. Efektifitasnya pun sangat ditentukan pola kultur yang dianut oleh pola pendidikan secara umum, organisasi guru, dan organisasi orangtua siswanya yang dikenal dengan nama Komite Sekolah.
Berkaitan dengan hal ini, Kementrian Negara dan Lingkungan Hidup (KNLH) bekerja sama dengan Departemen Pendidikan Nasional mengambil peranan konkrit dengan menandatangani kesepakatan bersama KEP.07/MENLH/06/2005 dan Nomor 05/VI/KB/2005 tentang Pembinaan dan pengembangan Pendidikan Lingkungan Hidup pada bulan Juni 2005 lalu.
Semenjak itu, dicanangkanlah Program adiwiyata. Secara teknis, KNLH dan berbagai lembaga di bidang Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH), turut terlibat dalam proses penyusunan panduan Garis Besar Isi Materi (GBIM) PLH. Program ini bertujuan untuk menciptakan kondisi yang baik bagi sekolah untuk menjadi tempat pembelajaran dan penyadaran warga sekolah (guru, murid, dan pekerja lainnya), sehingga di kemudian hari dapat turut bertanggung jawab dalam upaya penyelamatan lingkungan dan pembangunan yang berkelanjutan. Kesempatan pun telah dibuka luas bagi semua sekolah yang ingin mengikuti program ini dengan cara mendaftarkan sekolah ke kementrian Negara Lingkungan Hidup. Sekolah yang memenuhi indikator program, akan ditetapkan sebagai sekolah model adiwiyata.
Keberhasilan program adiwiyata ditentukan oleh 4 indikator, yaitu pengembangan kebijakan sekolah peduli dan berbudaya lingkungan, pengembangan kurikulum berbasis lingkungan, pengembangan kegiatan berbasis partisipatif, dan pengembangan serta pengelolaan sarana pendukung sekolah.
Secara riil, program adiwiyata baru berjalan pada tahun 2006 lalu. Sampai kini program adiwiyata hanya menjangkau di beberapa sekolah yang tahun lalu dinyatakan sebagai calon model sekolah adiwiyata. SDN Kp. Dalem I Tulungagung, SDN Ungaran I Yogyakarta, SDN Paku Jajar Cipta Bina Mandiri Sukabumi, SD Citra Alam Ciganjur Jakarta Selatan, SMPN 2 Ciamis, SMPN I Kedamaian dan SMPN IV Gresik, SMAN I Mandi Rancan Kuningan, dan SMAN IV Pandeglang.
Antusiasme terhadap pentingnya pendidikan lingkungan hidup (PLH), terlihat menjadi tak imbang. Karena kriteria yang dianggap memenuhi, hanya bagi sekolah-sekolah yang sudah menjalankan program peduli lingkungan. Terkesan program adiwiyata lebih sebagai sebuah bentuk penghargaan saja dan bukan sebagai sebuah program pembinaan yang berkelanjutan. Menurut pengakuan dari Tety Suryati, salah satu guru dari SMAN 12 Jakarta yang sekolahnya kini sedang menerapkan dan mengembangkan PLH sebagai muatan lokal, ternyata sampai sekarang masih mengalami kesulitan untuk mengajukan sekolahnya sebagai calon model sekolah adiwiyata. Selain itu, ia juga mengeluhkan tidak adanya kurikulum khusus untuk pendidikan lingkungan hidup. Hingga sekolah mereka memutuskan untuk memasukkannya sebagai muatan lokal, yang berdurasi 2 jam pelajaran dalam setiap minggunya.
Novita, seorang praktisi PLH, menyatakan benar bahwa PLH layak menjadi muatan lokal karena nantinya bisa menjadi modal awal untuk menyusun indikator yang disesuaikan berdasarkan kebutuhan lokal di lingkungan sekitar sekolah itu sendiri. Sebagai contohnya, ia memaparkan pengalamannya sebagai tenaga yang diperbantukan untuk menyusun muatan lokal materi PLH di beberapa sekolah dasar di Kecamatan Terawas, Mojokerto, Jawa Timur. “Sampai kini belum ada yang setaraf dengan SD-SD di Terawas. Kendala terbesarnya ada pada proses koordinasi masing-masing sekolah bermuatan lokal PLH dalam satu wilayah yang sama,” katanya. Program Adiwiyata jelas butuh sosialisasi dan strategi yang lebih baik lagi.