Sunday, 16 March 2025
above article banner area

Memikirkan Masa Depan

Dalam sebuah diskusi kecil dan sederhana, hanya beberapa orang saja, mengambil tema tentang masa depan. Semua rupanya tertarik dengan tema itu. Kebahagiaan masa depan harus diraih. Mereka sepakat tidak ingin hidup gagal, menderita, dan sengsara. Hidup di dunia hanya sekali, maka tidak boleh disia-siakan. Hidup harus dijalani dengan benar, agar mendapatkan kebahagiaan itu. Kalau orang lain bisa sukses, kenapa ia harus gagal. Jika orang lain bisa kaya raya, kenapa ia misalnya, harus menjadi miskin papa. Kalau orang lain bisa membangun hotel berbintang, mengapa ia hanya bisa tidur di rumah kumuh dan bahkan di bawah kolong jembatan. Jika orang lain berhasil menempuh pendidikan setinggi-tingginya, sehingga bergelar akademik tinggi, mengapa ia harus menjadi orang yang drop out. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu didiskusikan. Memang sederhana tetapi ternyata tidak mudah dijawab. Memikirkan masa depan tidak lepas dari persoalan agama, ekonomi, pendidikan, pekerjaan, status sosial, dan lain-lain. Hidup ini ternyata banyak tawaran yang harus dipilih, atau dipilihkan. Mereka yang berusaha memilih, tentu akan mendapatkan sesuatu yang berbeda dengan mereka yang hanya sebatas dipilihkan. Banyak pandangan disampaikan, hingga diskusi menjadi terbelah. Sebagian hanya mendasarkan pada nalar atau pikiran belaka. Sedangkan lainnya, selain mendasarkan pada pikiran atau akal, juga mengambil reference agama. Mereka yang menggunakan akal pikirannya saja, masa depan hanya dipahami secara sederhana. Bagi kelompok ini, kunci sukses hanyalah harta. Mereka yang berpandangan seperti ini, mengatakan bahwa kunci kebahagiaan adalah harta. Dengan harta maka semua keinginannya akan bisa dipenuhi. Siapapun yang menguasai harta, kata mereka, maka itulah yang disebut sukses di masa depan. Untuk meraih sukses masa depan seperti itu, dalam zaman seperti sekarang ini, bisa diraih melalui pendidikan. Jika seseorang memperoleh pendidikan yang baik, lulus dengan prestasi unggul, maka berhasil membuka usaha atau akan mendapatkan pekerjaan yang mendatangkan gaji tinggi. Dengan pendapatan besar itu, maka apa saja berhasil dipenuhi. Artinya, masa depan bisa diraih dengan hasil yang gemilang. Sebaliknya, mereka yang menggunakan acuan agama, al Qur’an dan hadits Nabi, memandang bahwa hidup ini ada dua tahap, yakni hidup di dunia dan di akherat. Oleh karena itu tatkala berpikir masa depan, maka kedua fase kehidupan itu harus dipikirkan semuanya. Tidak cukup hanya sukses di dunia, tetapi di akherat gagal. Begitu pula sebaliknya di akherat sukses, sedang di dunianya gagal. Keduanya harus diraih. Pertanyaannya, bagaimana kebahagiaan masa depan di dua fase kehidupan itu berhasil diraih semuanya, baik di dunia dan juga di akherat sekaligus. Jika hanya berpikir tentang dunia, toh kehidupan ini tidak lama. Umur manusia hanya sekitar antara 60 hingga 70 tahun. Bagi mereka yang memasukkan variabel agama dalam berdiskusi itu, ternyata memandang bahwa hidup masa depan tidak mudah dan sederhana. Mereka memandang bahwa keberhasilan dalam menguasai aspek ekonomi tetap penting, tetapi tidak berarti keberhasilan ekonomi itu sudah segala-galanya. Pendidikan dipandang penting, tetapi pendidikan yang dimaksud tidak hanya pendidikan yang sebatas mengantarkan orang menjadi kuat dan cerdas, hingga dengan bekal itu akan diperoleh keuntungan ekonomi. Dengan memasukkan variabel agama, maka banyak aspek lagi yang harus dipertimbangkan. Hidup harus berstandar dan selektif. Tatkala variabel agama dijadikan dasar dalam memandang masa depan, maka wilayah kehidupan ini juga semakin luas. Manusia tidak saja dilihat dari aspek fisik dan akalnya belaka, tetapi juga harus menyentuh aspek yang lebih luas dari itu, misalnya aspek hati dan spiritualnya. Dalam berekonomi misalnya, tidak saja menghitung berapa harta yang didapat, tetapi lebih dari itu akan melihat apakah kekayaan yang diperoleh itu tidak mengganggu dan bahkan merugikan pihak lain. Berekonomi dengan melibatkan keyakinan agama, tidak saja akan mempertimbangkan jumlah atau besarnya yang dihasilkan, tetapi juga mempertanyakan, apakah harta yang didapat itu tergolong baik, halal, dan memberikan berkah. Melalui diskusi kecil itu dipahami bahwa, ternyata hidup ini jika dipikirkan secara mendalam, tidaklah mudah. Pilihan hidup tidak saja bersifat kuantitatif tetapi juga kualitatif. Selain itu hidup semestinya tidak saja berpikir tentang diri sendiri, melainkan juga keluarga dan orang lain secara lebih luas. Lagi pula, tidak saja memikirkan terpenuhi kebutuhan fisik dan atau akal, tetapi juga memperhatikan hati, jiwa, dan spiritualnya. Dengan memasukkan variabel agama, hidup ini tidak saja menyangkut hari ini di dunia, tetapi juga di akherat sana. Hidup di dunia ini juga selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan yang sedemikian banyak dan bervariatif. Pilihan itu seringkali juga tidak hanya terhadap dua warna atau bentuk yang berbeda. Mengambil dari dua pilihan yang berbeda, tidak sulit. Tetapi pilihan itu, kadang serupa, mirip ,atau orang mengatakan berwarna abu-abu, atau tidak terlalu jelas. Kita harus memilihnya secara tepat. Untuk menghadapi pilihan-pilihan itu, manusia dibekali beberapa piranti, yaitu naluri, akal, pengetahuan, dan agama. Dalam ajaran Islam, agar seseorang benar dan selamat dalam menghadapi pilihan-pilihan hidup itu, maka ada dua bekal yang tidak boleh ditinggalkan, yaitu kitab suci al Qur’an dan hadits nabi. Berbekalkan akal dan ilmu pengetahuan saja tidaklah cukup. Buktinya sudah banyak. Betapa banyak kita lihat, orang pintar, berpengetahuan luas, cerdas, dan bahkan juga cerdik, dengan mengabaikan kedua pegangan itu,m al Qur’an dan hadits, akibatnya mereka hidup berakhir di penjara, ialah masa depan yang gagal dan menyusahkan. Wallahu a’lam.

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share
below article banner

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *