Menangkap Hikmah Perintah Sholat Setelah Isro’ dan Mi’raj

Rasanya menjadi sangat strategis tatkala perintah sholat itu  datang setelah nabi dipanggil untuk isra’dan mi’raj terlebih dahulu. Pada awalnya,  sejak menerima status  sebagai rasul, Muhammad diberikan wahyu dari Allah.  Wahyu itu datang secara  bertahap, diawali dengan perintah membaca atau hal-hal lain terkait dengan ilmu pengetahuan.

  Pada saat di Makkah, wahyu yang turun lebih banyak berorentasi tentang ketauhidan. Ayat-ayat itu memperkenalkan tentang hal yang terkait dengan kehidupan dan  jagad raya ini. Rupanya dengan begitu, Allah memperkenalkan terlebih dahulu kepada Muhammad tentang kehidupan ini secara luas, baik yang terkait dengan Tuhan,  penciptaan, manusia dan alam yang luas ini.   Tidak saja berhenti di situ, rasul selanjutnya dipanggil untuk menyaksikan apa yang selama itu pernah diberitakan dalam ayat-ayat al Qurán. Pada ayat al Qurán yang mengkisahkan tentang kejadian isra’dan mi’raj, ditegaskan linuriyahu min ayaatina, atau agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Dengan demikian isro dan mi’raj, bagi Nabi  bisa kita pahami  sebagai semacam rikhlah ilmu  atau perjalanan untuk ilmu yang luar biasa.   Dalam perjalanan di malam hari yang didampingi oleh malaikat jibril, Nabi diperlihatkan pada ciptaan Allah yang luar biasa luas dan dahsyatnya. Nabi menjadi tahu, bahwa langit itu adalah benar benar berlapis tujuh. Bahkan di masing-masing lapis tersebut telah dijaga oleh para rasul sebelumnya. Nabi dengan demikian juga tahu, bahwa kehidupan ini benar-benar berlanjut. Para nabi yang dahulu  pernah hidup di dunia, melalui isra’dan mi’raj,  tampak bertugas menjaga lapisan-lapisan langit.   Membaca peristiwa itu, kiranya sesuai dengan kemampuan masing-masing,  orang akan  berimajinasi atau membayangkan, bagaimana Nabi menyaksikan pemandangan dahsyat  itu semua. Baru pertama kali itu, ia menyaksikan pemandangan yang amat dahsyat, yang tidak pernah dialami sebelumnya. Maka yang terjadi adalah kekaguman yang luar biasa.  Melalui peristiwa itu, akan terbayang, Nabi menjadi sadar atas kekuasaan dan ciptaan Allah,  benar-benar mengagumkan.   Selanjutnya di tengah suasana seperti itulah, Rasulullah diberi tugas untuk  senantiasa melakukan sholat. Bagaimana dan betapapun  beratnya perintah itu, diterima oleh Rasulullah. Siapapun apalagi seorang rasul, atas kekaguman itu, maka perintah apa saja akan diterimanya. Suasana seperti itu  akan menjadikan siapapun, menerima perintah yang diberikan kepadanya. Selanjutnya, setelah menerima doktrin itu, nabi kembali ke bumi, dan akan menjalankan perintah yang diberikan kepadanya.   Di tengah perjalanan pulang ke bumi, tatkala  bertemu  para rasul yang sedang bertugas menjaga lapisan langit itu, ia mendapat peringatan dari mereka, agar perintah itu dimohonkan kembali bisa diperingan. Saran itu didasarkan pertimbangan bahwa umatnya tidak akan mampu menjalankan sebaik-baiknya, jika harus dilakukan hingga 50 kali sehari semalam. Dalam kisah-kisah yang dapat kita baca dari peristiwa Isra’mi’raj itu, hingga berulang kali Rasulullah  menghadap Allah swt.,  meminta keringanan,  hingga akhirnya kewajiban sholat tinggal 5 kali dalam sehari semalam.   Kiranya peristiwa ini menarik, lebih-lebih semestinya  bagi para guru atau pendidik. Kewajiban sholat ternyata diterima oleh Nabi, setelah Nabi dipertunjukkan terhadap alam raya yang sedemikian luas melalui isra’dan mi’raj itu. Perintah itu melahirkan imajinasi, bahwa Rasul menerima dengan mudah dan ikhlas, karena ia telah  mengetahui, kagum, dan benar-benar meyakini akan kehidupan yang sebenarnya. Selain itu keyakinan tersebut menjadi kokoh karena  telah sekian lama, Nabi  berkomunikasi dengan Allah,  melalui malaikat jibril, dan apalagi setelah melihat langsung melalui pengalaman yang luar biasa dahsyatnya itu.        Fase-fase seperti itu semestinya melahirkan imajinasi, bagaimana seharusnya   membangun jiwa keberagamaan atau keber-Islaman dalam pendidikan. Selama ini, para guru tatkala mengajar agama Islam, memulainya dengan pelajaran keimanan. Bahkan selama ini mereka  telah menganggap cukup, jika peserta didik sudah menghafal rukun iman, rukun Islam dan ikhsan. Padahal Nabi sendiri sebagai seorang pendidik utama, bahkan sebagai Rasul, tugas  yang pertama adalah mengajak bertilawah, yaitu membaca.  Maksudnya adalah membaca jagad raya, baik jagad manusia maupun alam semesta.   Jika demikian itu  pemahaman kita terhadap peristiwa isra’dan mi’raj,  maka mengajar ber-Islam tidak cukup dilakukan oleh para guru agama, sebagaimana yang dimaksud dalam pengertian selama ini. Tatkala melakukan tilawah atau membaca, maka semestinya akan  membaca alam, sehingga yang dipelajari adalah biologi, fisika, kimia dan matematika. Sedangkan jagad manusia yang dipelajari adalah psikologi, sosiologi, sejarah dan antropologi. Agar kajian itu berhasil melahirkan kekaguman, maka bahan-bahan ajar yang disampaikan  harus bersumber dari ayat-ayat al Qurán dan sekaligus hasil kajian ilmiah selama ini telah berhasil ditemukan.   Akhirnya,  cara pandang seperti itu, akan mengantarkan kepada siapapun memahami, bahwa sesungguhnya pembedaan antara ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama seperti sekarang ini seharusnya segera ditinggalkan. Untuk membangun keimanan yang kokoh, ternyata Rasul pun dipanggil oleh Allah untuk isra’dan mi’raj. Maka umat, semestinya harus  berisra’dan mi’raj secara manusiawi, yaitu mengkaji al Qurán dan sekaligus membaca fenomena alam dan sosial dengan cara yang bisa dilakukan. Jika isra dan mi’raj kita pahami seperti itu, maka selanjutnya diperlukan rekonstruksi bangunan keilmuan dan juga tidak terkecuali rumusan metodologi pendidikan Islam secara mendasar dan integral. Wallahu a’lam.

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share