Mencegah Munculnya Idiologi Terorisme

Selama ini sebanyak tulisan yang saya baca menunjukkan bahwa Islam sangat melarang kegiatan yang dianggap merusak kehidupan. Karena itu kegiatan teroris tidak saja dipandang tidak relevan dengan Islam, tetapi justru dilarang oleh Islam. Orang yang menganggap bahwa para teroris adalah sebagai pembela Islam dianggap salah paham, bodoh, dan dungu. Islam sama sekali tidak mengajarkan untuk melakukan hal-hal yang merusak, merugikan, dan apalagi membunuh orang lain. Sebaliknya, Islam adalah agama yang menuntun umatnya agar hidup rukun, damai, selalu berbagi kasih sayang, saling mencintai, dan bertolong menolong. Kalimat-kalimat yang selalu diperkenalkan oleh Islam adalah salam atau keselamatan. Bahkan sementara arti Islam itu sendiri adalah selamat. Sehingga, misi Islam adalah membawa siapapun menjadi selamat. Jalan menuju ke keselamatan itu juga harus ditempuh melalui cara-cara damai dan menyelamatkan. Akan tetapi pada kenyataannya, dari para teroris yang tertangkap dan bahkan terbunuh selama ini, mereka beragama Islam, dan bahkan dalam melakukan kegiatannya termotivasi dan bahkan merasa sebagai membela Islam. Lihat saja, mereka melakukan tindakan dengan resiko sebesar itu, diyakini oleh mereka, akan mendapatkan imbalan sorga. Bahkan mereka menyebutnya sebagai seorang calon kemanten, yang jika mereka terbunuh akan segera bertemu dengan bidadari di sorga. Para teroris percaya dengan pandangan seperti itu. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa Islam ternyata bisa disalah pahami, setidak-tidaknya selama ini oleh para teroris itu. Andaikan para teroris membaca tulisan-tulisan tentang bagaimana Islam mengecam terhadap kegiatan mereka, dan menyepakatinya, segera akan berhenti dan berbalik, ikut menentang langkah-langkah yang merusak kehidupan itu. Akan tetapi ternyata juga tidak. Mereka tetap bersikukuh dengan keyakinan dan langkah-langkah yang mereka tempuh. Mereka merasa telah berada pada jalan yang benar, sekalipun dengan berbagai resikonya itu. Melihat kenyataan itu, maka seharusnya dipahami bahwa jalan hidup para teroris sudah atas dasar idiologi yang kuat. Biasanya penyandang idiologi tertentu, akan membelanya dengan resiko apapun. Mereka dengan idiologinya itu sudah menemukan jalan hidupnya yang dianggap paling benar. Maka, idiologi itu harus dibela hingga kapan dan dengan resiko apapun. Selain itu idiologi akan selalu hidup, dan didukung oleh banyak orang. Atas dasar pandangan ini maka, jika selama ini pihak keamanan telah berhasil menangkap dan bahkan membunuh beberapa teroris, tidak berarti bahwa idiologi ini telah mati dan juga para pendukungnya telah habis. Idiologi dan para pendukungnya tidak pernah berhenti apalagi mati, sepanjang bibit-bibit munculnya idiologi itu masih hidup dan berkembang. Anggapan bahwa kegiatan teroris didasarkan atas idiologi dan bahkan didukung oleh sekelompok orang, sesungguhnya dengan mudah dapat dibaca. Para teroris dalam melakukan aksinya tampak sembunyi-sembunyi,—— karena kesadaran bahwa kekuatan dan pendukungnya terbatas, dilakukan dengan strategi yang tidak mudah dikenali sehingga para pengejarnya tidak mudah menangkap, kegiatan perasionalnya memerlukan biaya yang tidak akan mungkin dicukupi sendiri ——tentu ada kekuatan pendukung di belakangnya, maka tidak akan mudah mengentikan aksi itu dalam waktu dan cara sederhana. Berhasil menangkap dan atau menembak mati beberapa pelaku teroris tidak berarti idiologi itu segera hilang dan berhenti. Oleh karena itu, mencegah gejala teroris harus dilakukan melalui cara yang tepat, strategis, dan menyeluruh. Membasmi teroris tidak cukup dengan mengejar pelaku yang dikenali, tetapi seharusnya juga dilakukan dengan cara menghilangkan sumber-sumber yang memunculkan gejala itu. Kekuatan yang menjadi sumber munculnya idiologi terorisme bisa jadi adalah rasa kebencian terhadap kelompok yang selama ini dirasakan sebagai penindas, atau dianggap sebagai sumber penyebab kerusakan kehidupan bersama, ketidak-adilan, ketidak jujuran dan seterusnya. Untuk memeperjuangkan sesuatu memerlukan konsep idiologi yang kuat. Sedangkan bahan untuk membangun idiologi bisa mengambil dari konsep atau ajaran agama. Tatkala mereka menyusun idiologi, bukan bermaksud membela ajaran agama, melainkan mengambil ajaran agama untuk dijadikan bahan menyusun idiologi itu. Sama halnya dengan kasus-kasus kampanye dalam pemilu. Tidak sedikit para juru kampanye dalam pemilu menggunakan ayat-ayat al Qurán atau hadits nabi untuk menarik simpatik para calon pemilihnya. Sehingga, ayat-ayat suci al Qurán atau hadits nabi dijadikan alat probaganda untuk menarik dukungan. Sama halnya, yaitu para teroris menggunakan ayat-ayat kitab suci untuk menarik dan membangun niat dan terkatnya. Jika cara pandang seperti tersebut di muka dianggap benar, maka untuk meminimalisasi atau bahkan menghilangkan gejala teroris, langkah yang harus dipikirkan dan diambil adalah sedikitnya dua hal. Pertama, perlu dirumuskan dan disosialisasikan bagaimana memahami kehidupan ini sebenarnya. Perlu penyadaran bahwa dalam kehidupan ini selalu terjadi proses-proses social. Selalu muncul dalam kehidupan ini kelompok-kelompok, yang masing-masing saling memperkuat diri atau kelompoknya, saling berkompetisi, dan bahkan berintegrasi dan juga konflik. Perlu ditanamkan bahwa untuk memenangkan kompetisi tidak boleh ditempuh melalui konflik dan bahkan menghancurkan pihak yang dianggap sebagai lawan dengan cara yang tidak fair, semisal melalui teroris itu. Maka, pendidikan dalam pengertian yang luas, seharusnya berperan membangun pemahaman dan watak seperti ini. Kedua, ditempuh melalui agama. Hal yang perlu dipikirkan, terutama oleh para tokoh, ulama’,cendekiawan muslim adalah memikirkan bagaimana agar kitab suci dan tradisi kehidupan nabi yang diyakini sebagai pembawa misi keselamatan dan kedamaian hidup itu berhasil dipahami secara utuh. Para tokoh, ulama’, dan cendekiawan muslim perlu mengevaluasi kembali, apakah pendidikan Islam dalam berbagai bentuknya selama ini sudah berhasil memberikan wawasan tentang itu, ialah konsep kehidupan yang damai dan selamat dalam pengertian menyeluruh dan utuh. Perlu dilihat kembali secara jernih , apakah melalui pendidikan selama ini telah berhasil diperkenalkan tentang Islam secara utuh dan komprehentif, yang seharusnya membawa rakhmat bagi seluruh alam itu. Selama ini, setidaknya yang saya tahu dan pahami, ——dan sesungguhnya saya merasa gelisah dengan kenyataan ini, ialah bahwa pendidikan Islam terformulasikan dalam wilayah yang terbatas, jika tidak dikatakan sempit. Pelajaran agama Islam hanya diformat sebatas pelajaran tauhid, fiqh, akhlak dan tasawwuf, tarekh dan bahasa Arab. Demikian pula pembidangan ilmu di perguruan tinggi Islam hanya diformulasikan sebatas syariáh, ushuluddin, tarbiyah, dakwah, dan adab. Cara melihat Islam seperti ini tidak keliru, tetapi terasa sangat kurang. Pembidangan seperti itu, Islam menjadi tereduksi dan bahkan menjadi miskin nuansa kehidupan yang sebenarnya. Akibat selanjutnya, ajaran Islam, yang sesungguhnya bersifat universal itu, tereduksi menjadi sangat sempit. Pengalaman yang selalu saya rasakan menggelisahkan, ialah selalu saja saya mendapatkan pertanyaan tentang bagaimana perkembangan ilmu ke-Islaman setelah STAIN berubah menjadi UIN. Apa yang dimaksudkan para penanya dengan ilmu ke Islaman itu adalah ilmu tarbiyah, ushuluddin, syariáh dan seterusnya. Para penanya tersebut, sekalipun sudah menjadi dosen senior dan bahkan pejabat tinggi di Departemen Agama, tampak dengan jelas mereka masih memahami bahwa yang disebut Islam hanyalah sebatas fiqh, tauhid, akhlak, syariáh, ushuluddin, tarbiyah, dakwah dan adab itu. Mereka belum menangkap bahwa al Qurán dan hadits Nabi sesungguhnya berbicara dalam lingkup yang amat luas. Al Qurán berbicara tentang Tuhan, penciptaan, manusia dalam perspektif yang amat luas, al Qurán berbicara tentang alam atau jagat raya ini, dan al Qurán juga berbicara tentang keselamatan. Khusus tentang keselamatan, al Qurán memberikan perspektif secara sempurna, yaitu keselamatan di dunia dan akherat. Keselamatan itu harus diperoleh melalui keimanan, ke-Islaman, dan ikhsan. Selain itu keselamatan juga harus ditempuh dengan cara beramal sholeh dan memelihara akhlakul karimah. Bertolak dari pandangan tersebut maka, rasanya diperlukan kajian mendalam untuk merumuskan bagaimana agar Islam dipahami secara luas dan utuh. Al Qurán dan hadits nabi seharusnya diposisikan sebagai sumber utamanya. Al Qurán dan juga hadits nabi tidak saja memperkenalkan Islam tentang bagaimana melakukan ritual atau spiritual, melainkan juga dipahami telah memberikan tuntunan tentang kehidupan ini secara menyeluruh. Hanya saja yang terjadi selama ini, atas kemampuan yang berbeda-beda itu, maka tatkala menangkap isi kitab suci dan tradisi kehidupan nabi pun juga menghasilkan pemahaman yang berbeda-beda. Jika selama ini dipahami bahwa munculnya terorisme, di antaranya bersumber dari pemahaman Islam yang sempit, maka untuk menghindarinya tidak ada cara lain kecuali mencari dan mendapatkan cara bagaimana agar Islam difahami secara utuh dan luas. Inilah sesungguhnya hal yang ditunggu-tunggu dari kalangan pemikir Islam, terkait dengan upaya mencari jalan keluar meminimalkan dan bahkan menghilangkan terjadinya gejala yang tidak diharapkan bersama, ialah munculnya terorisme itu. Wallahu a’lam.

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share