Jika berbagai ragam budaya dan bahasa merupakan salah bagian dari keunikan negara ini sebagaimana saya tulis pada artikel sebelumnya, maka berbagai macam keanehan atau keganjilan juga mewarnai dan menjadi bagian tak tertpisahkan dari kehidupan di negara ini. Betapa tidak aneh, Mbah Minah, perempuan tua renta, yang mengambil tiga buah cokelat harus berhadapan dengan aparat keamanan dan diadili di meja hijau dan akhirnya divonis bersalah, kendati tidak harus meringkuk di penjara karena vonis hukumannya habis setelah dipotong masa tahanan. Pritasari, pasien rumah sakit internasional, yang mengadu ke publik lewat dunia maya karena pelayanan rumah sakit yang tidak memuaskan akhirnya digugat pihak rumah sakit dan dinyatakan bersalah sehingga harus membayar denda jutaan rupiah, walau akhirnya Prita tidak jadi membayar karena aksi masa yang bersimpati mengumpulkan uang recehan untuk diberikan ke pihak rumah sakit. Di Malang, seorang ibu yang seharusnya melindungi anak-anaknya tapi justru membunuh semua anaknya sebelum dia sendiri akhirnya bunuh diri. Begitu gambaran peristiwa sosial di negeri ini pada dua tahun terakhir.
Dari dunia hukum juga tidak kalah hebohnya. Seorang pegawai pajak di Derektorat Jenderal Pajak golongan III/a bernama Gayus Tambunan memiliki kekayaan miliaran rupiah sebelum akhirnya ditangkap karena menjadi pelaku mafia pajak. Karena ulahnya, negara dirugikan miliaran rupiah karena para wajib pajak yang seharusnya menyetorkan dana ke negara bisa melenggang bebas setelah direkayasa oleh Gayus. Hebatnya lagi, di saat ditahan, Gayus masih bisa bebas berkeliaran melihat pertandingan golf internasional di Bali dan berlibur ke luar negeri dengan menyuap petugas imigrasi. Di mata Gayus, hukum di Indonesia bisa dibeli. Selain mafia pajak Gayus, persoalan hukum yang memalukan adalah seorang narapidana diganti oleh orang lain dengan imbalan beberapa juta rupiah. Setahu saya peristiwa semacam ini belum pernah terjadi di mana pun di dunia. Karena itu, selain memalukan, peristiwa tersebut juga menggelikan dan menunjukkan betapa rendahnya moralitas dan integritas aparat penegak hukum kita. Hukum bisa dibeli dengan begitu murahnya dan rasanya tidak ada lagi keadilan yang bisa kita idamkan. Karena itu, jika selama ini kita mengenal joki Ujian Masuk Perguruan Tinggi, joki di jalur Three in One Jakarta, maka sekarang dikenal juga joki narapidana. Aneh tapi nyata. Dari dunia pilkada, seorang yang sudah dinyatakan tersangka tindak pidana korupsi bisa dilantik sebagai bupati di sebuah Kabupaten. Padahal, seorang Bupati adalah pemimpin publik yang mestinya bersih dari semua tindakan tercela. Bagaimana seorang pemimpin akan mengajak rakyat yang dipimpinnya berbuat baik sementara dia sendiri tidak bisa memberi contoh dan bahkan sudah dinyatakan terlibat tindak pidana kejahatan?. Bisa dibayangkan masyarakat macam apa yang akan dilahirkan dari pemimpin yang cacat sosial dan moral. Para analis politik menyatakan bahwa inilah buah dari model pemilihan langsung. Karena itu, jauh sebelum Indonesia menggunakan sistem pemilihan langsung pakar politik kenamaan William Liddle mengatakan risiko model pemilihan langsung dan Indonesia sebenarnya belum waktunya menggunakan model demikian yang notabene mengadopsi mentah-mentah model demokrasi Amerika. Amerika saja memerlukan waktu puluhan tahun sebelumnya pada akhirnya menggunakan model pemilihan langsung sebagaimana yang berlangsung hingga kini. Dengan model pemilihan langsung, masyarakat akan memilih pemimpin sesuai selera mereka. Jika mereka merupakan kelompok agamis tentu akan memilih sosok pemimpin yang agamis pula. Sebaliknya, pada masyarakat yang anggotanya tidak begitu mengenal nilai-nilai agama, pemimpin akan dipilih dari golongan mereka pula. Mereka tidak mungkin akan memilih pemimpin dari orang yang berada di luar kelompoknya. Jika demikian, maka sangat mudah ditarik kesimpulan masyarakat macam apa jika pemimpinnya adalah narapidana atau setidaknya tersangka sebagai calon narapidana. Masih dari dunia pilkada, dua Istri seorang Bupati sama-sama maju mencalonkan diri sebagai Bupati dan akhirnya salah satu di antaranya (baca: istri tua) berhasil memenangkan pilkada. Dengan demikiian demokrasi yang selama ini diperjuangkan sejak berakhirnya kekuasaan Orde Baru hanya melahirkan sistem politik oligarki di mana kekuasaan hanya dijalankan oleh orang dari kelompok tertentu saja, yaitu keluarga Bupati. Sebagai sebuah sistem politik, oligarki jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. Tampaknya, model demikian akan menjadi trend baru dalam sistem politik di Indonesia. Gejala demikian sudah mulai di tampak di beberapa daerah di mana Bupati/Walikota yang sudah menjabat dua periode, sehingga tidak bisa lagi mencalonkan diri, mulai memunculkan istri-istrinya sebagai calon penggantinya. Keberhasilan istri Bupati di sebuah Kabupaten memenangkan pilkada telah menjadi inspirator utama bagi istri pimpinan daerah untuk melakukan hal yang sama. Bagi sebagian orang fenomena politik demikian merupakan keanehan tersendiri yang tidak pernah dimimpikan oleh para pendiri negara ini. Saya yakin para pendiri negara ini adalah orang-orang bijak yang menginginkan semua aspek dan komponen kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini, termasuk politik, berjalan secara elegan dan bermartabat, sehingga negeri ini juga dihuni oleh orang-orang yang bermartabat. Seorang kawan yang mengeluh karena melihat berbagai kejanggalan yang terjadi di negara ini bertanya kepada saya apa jalan keluar dari kemelut ini jika para pemimpin tidak bisa kita harapkan lagi. Saya menjawab jangan berputus asa. Sebab, putus asa bukan ciri orang beriman. Masih ada Tuhan tempat kita semua mengadu dan memohon pertolongan dan meminta keadilan. Dan, tidak ada hakim yang lebih adil ketimbang Allah. Karena itu, kita serahkan saja semuanya kepada Allah sembari melakukan perbaikan sebatas kemampuan dan kapasitas kita kita sebagai hamba Allah. Kendati dengan wajah yang tampak tidak puas, teman saya itu bisa memahami argumentasi saya. Tetapi ketika meninggalkan tempat saya, dia berguman “mengapa negeri ini Jadi aneh”, sebagaimana judul tulisan di atas. Saya pun tidak tahu mengapa berbagai keanehan terus terjadi di negeri nan indah ini. ____________ Malang, 18 Januari 2011
Penulis : Prof DR. H. Mudjia Rahardjo
Pembantu Rektor I Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang