Menggagas Pendidikan Islam Progresif Dan Aktualisasinya Untuk Membangun Karakter Bangsa

Jika diperhatikan secara saksama, pelaksanaan pendidikan Islam selama ini tampak paradoks. Pada satu sisi dianggap unggul, namun pada tataran amplikasi dan juga hasil-hasilnya belum tampak keunggulannya itu. Terasa ada kesenjangan yang amat lebar antara tataran teoretik, yaitu konsep pendidikan yang dibangun dari wahyu dan contoh kehidupan Rasul-Nya dengan kenyataan-kenyataan  dalam praktik selama ini di lapangan.

    Secara konseptual pendidikan Islam dianggap komprehensif dan sangat ideal, sehingga jika dilaksanakan akan berhasil mengantarkan seseorang menjadi lebih sempurna. Pendidikan Islam akan mampu mengantarkan seseorang mengenal Ke-Maha Esa-an Tuhan, para utusan-Nya, kitab suci-Nya, amal shaleh, dan akhlaqul karimah. Produk pendidikan seperti ini, akan unggul dibanding dengan pendidikan lainnya. Akan tetapi,  pada kenyataannya belum demikian.     Selain itu, pendidikan Islam, dan atau lebih sempit lagi pelajaran agama Islam, seringkali  ditempatkan pada posisi yang kurang strategis. Sekalipun keberadaannya telah didasarkan pada undang-undang, namun pelaksanaannya tidak terlalu dianggap penting. Guru agama tidak selalu diposisikan pada tempat strategis. Bahkan kadang  peran itu hanya sebagai tambahan. Selain mengajar, guru agama hanya bertugas memimpin doa. Tugas ini memang mulia di hadapan Tuhan, tetapi tidak selalu demikian di hadapan manusia.     Anggapan sederhana juga diberikan kepada lembaga pendidikan Islam. Kesan umum terhadap lembaga pendidikan agama adalah kurang maju, atau bahkan tertinggal, sederhana, berkualitas rendah, murah, kurang terawat. Jarang ditemukan lembaga pendidikan agama Islam diunggulkan. Jika itu ada maka jumlahnya amat terbatas.     Kesan sederhana  dalam  konotasi negatif itu semestinya dihilangkan. Citra pendidikan Islam harus diangkat dan diperjuangkan.  Pendidikan Islam telah memiliki konsep yang lebih unggul. Para elitenya memiliki kecakapan, semangat, serta kemauan berjuang untuk membangun lembaga pendidikan Islam yang unggul dan hingga diperhitungkan orang.     Tulisan  yang akan dijadikan bahan diskusi pada kesempatan ini, hanya akan melihat kembali  materi pendidikan Islam di lembaga pendidikan. Memfokuskan perhatian pada aspek ini saya anggap perlu, untuk mencari alternatif pendidikan Islam yang progresif. Islam sebagai ajaran yang sedemikian luas, wilayahnya meliputi berbagai aspek kehidupan, tatkala dikembangkan dalam bentuk materi dan apalagi kurikulum ternyata belum menggambarkan keluasan itu. Islam hanya dilihat dari aspek tauhid, fiqh, akhlak dan tasawuf, tarikh dan bahasa Arab.             Islam: Agama Sekaligus Peradaban   Setelah melakukan perenungan panjang,  saya sampai pada kesimpulan bahwa mungkin selama ini yang terjadi adalah bahwa Islam hanya dipahami dari aspek terbatas, yaitu dari aspek agama saja. Memang benar bahwa Islam adalah sebuah agama. Akan tetapi sebenarnya, jika mempelajari isi kitab suci dan juga hadits Nabi, Islam bukan sebatas agama, melainkan agama dan sekaligus peradaban.     Jika pelajaran agama di sekolah hanya menyangkut tentang tauhid, fiqh, akhlak dan tasawuf, tarikh dan Bahasa Arab sebagaimana dikemukakan di muka, maka aspek-aspek itu hanyalah menyentuh persoalan agama. Jika  Islam hanya dipahami sebagai agama, maka perbincangan hanya menyangkut pada  persoalan masjid, shalat, zakat,  puasa, haji, kelahiran, nikah, kematian, waris dan sejenisnya. Akibatnya, sementara orang menganggap kajian Islam menjadi sesuatu yang sempit, tidak menarik dan kadang hanya diangap sebagai pelengkap.     Sementara orang mengharap,  dengan Islam ia menjadi maju, dinamis, progresif,  dan modern. Karena dianggap Islam seperti itu. Maka tuntutan itu sebenarnya juga tidak salah, karena Islam memang demikian keadaannya. Oleh karena itu, jika diharapkan Islam sebagai wajah kemajuan, modern dan progresif, maka pemahaman tentang Islam yang harus diperluas.         Perubahan wawasan Islam secara luas adalah sebuah keharusan. Jika Islam yang diajarkan di lembaga pendidikan mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi sebagaimana yang terjadi selama ini, maka produknya akan tetap sama. Islam hanya sebagai agama yang  tidak akan membawa kemajuan. Kemajuan akan tercapai tatkala Islam dilihat secara utuh. Hanya persoalannya adalah beranikah kita memperkenalkan Islam secara utuh itu.     Seringkali perubahan, apalagi  terkait dengan keyakinan, sangat berisiko. Persoalan keyakinan menyangkut hal yang peka. Jika tidak hati-hati akan melahirkan salah paham, dianggap akan mengubah-ubah keyakinan. Padahal sebenarnya juga akan mengajak untuk memahami ajaran itu secara lebih utuh atau komprehensif.       Pemikiran tersebut sebenarnya bukan hal baru. Telah lama disadari oleh banyak orang, bahwa dengan pespektif seperti itu, maka Islam tidak akan maju. Akan tetapi dalam berbagai diskusi, orang selalu kembali, Islam dianggap sebagai sebatas agama. Pernah suatu ketika diselenggarakan seminar tentang  sistematika ajaran Islam. Semula ajaran Islam dilihat sedemikian luas, tetapi rumusannya kembali pada pandangan sediakala itu.     Namun akhir-akhir ini keinginan untuk menampilkan Islam secara luas dan komprehensif semakin terasakan.  Bahkan akhir-akhir ini, muncul semangat untuk mengintegrasikan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu umum. Hingga Menteri Agama sendiri —terakhir  Suryadharma Ali— dalam  berbagai kesempatan mengatakan bahwa tidak selayaknya ada pembagian ilmu secara dikotomik seperti dipahami oleh banyak orang selama ini.     Bahkan setahu saya, kegelisahan yang disebabkan oleh cara pandang terhadap Islam hanya sebatas ritual, terjadi di mana-mana. Semangat untuk mengintegrasikan antara ilmu agama dan ilmu umum yang tidak saja terjadi di Indonesia, adalah sebagiannya didorong oleh kegelisahan itu. Munculnya fenomena perubahan beberapa IAIN dan STAIN menjadi universitas, adalah sebagai wujud ingin menampilkan Islam secara utuh.  Fenomena itu ternyata tidak saja terjadi di Indonesia,  tetapi juga muncul di beberapa negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.     Sebagai misal,  beberapa waktu yang lalu saya  diundang oleh Universitas Al-Qur’anul Karim di Sudan, untuk menyampaikan makalah tentang itu. Dalam kesempatan seminar yang mengundang berbagai perguruan tinggi Islam dari berbagai negara itu dibahas tentang bangunan  keilmuan yang bersumber dari ayat-ayat qauliyah dan kauniyah.     Akan tetapi ternyata untuk melakukan perubahan pandangan itu tidak mudah. Bahkan bagi mereka yang telah menggelisahkan adanya pandangan ilmu yang dilihat secara dikotomik tersebut, belum juga mampu melakukan perubahan. Perubahan itu harus berjalan pelan, selalu bergerak menuju gambaran  ideal yang diinginkan. Umumnya, banyak orang memahami bahwa ilmu-ilmu ke-Islaman adalah sebagaimana yang dipahami selama ini. Yaitu ilmu-ilmu yang tergabung dalam fakultas ushukluddin, fakultas syariáh, fakultas tarbiyah, fakultas adab dan fakultas dakwah. Selain itu disebut sebagai ilmu umum.   Sebuah Tawaran Pendidikan Islam Progresif   Untuk memberikan alternatif agar Islam dilihat secara utuh melalui pendidikan, saya melakukan perenungan  dalam tempo yang lama. Hasilnya saya mendapatkan gambaran bahwa Islam sebenarnya bisa dilihat dari perspektif  sebagai berikut. Perspektif ini saya rumuskan setelah melakukan  renungan terhadap  fase-fase turunnya al-Qur’an. Saya berpandangan bahwa sumber ajaran Islam adalah al-Qur’an dan hadits. Oleh karena itu, dalam  menyusun sistematika ajaran Islam, di antaranya  bisa mengikuti fase-fase turunnya kitab suci dan juga tugas-tugas kerasulan.     Ada lima aspek yang seharusnya dikaji untuk memahami Islam. Kelima aspek itu adalah sebagai berikut. Pertama, adalah tentang ilmu. Mempelajari ilmu pengetahuan adalah bagian dari pemenuhan dari perintah Islam. Hal itu didasarkan bahwa ayat al-Qur’an yang turun pertama kali adalah terkait dengan perintah membaca. Sedangkan membaca merupakan pintu utama untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Sudah barang tentu, membaca di sini harus dimaknai dalam pengertian yang luas. Membaca bukan sebatas pengertian untuk memahami tulisan-tulisan dalam buku, tetapi bisa dimaknai sebagai membaca alam semesta.     Kegiatan membaca dimulai dari membaca gejala-gejala alam, seperti biologi, fisika, kimia dan matematika dengan berbagai cabangnya masing-masing, termasuk yang bersifat aplikatif, seperti teknik, kedokteran, pertanian, kelautan dan seterusnya. Termasuk juga membaca perilaku manusia yang disebut sebagai ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Perilaku sosial bisa dilihat dari susut pandang sosiologi, psikologi, sejarah dan antropologi. Sedangkn dari sudut humaniora terdiri atas filsafat, bahasa, sastra, dan seni.     Pemahaman seperti itu sesungguhnya relevan dengan tugas-tugas kerasulan sebagai berikut. Pertama, melakukan tilawah terhadap ayat-ayat Allah. Yang dimaksudkan dengan ayat-ayat Allah, tidak lain adalah jagad semesta ini. Tugas Rasul yang harus diikuti oleh umatnya adalah bagaimana memahami ciptaan Allah baik di langit maupun di bumi. Sudah barang tentu, dalam mengkaji ayat-ayat Allah dengan motivasi beribadah, maka seharusnya akan melahirkan sikap pengakuan, kesadaran dan keyakinan hingga mengantarkannya pada puncak keimanan yaitu kemudian bertasbih, bertakbir dan bertakhmid.           Kedua, menyangkut tentang penyucian diri, atau tazkiyah. Bahwa dengan ber-Islam maka seseorang hendaknya selalu selektif dalam berperilaku, baik yang terkait dengan dirinya sendiri maupun orang lain dan bahkan juga dengan lingkungahn yang luas. Melalui pensucian diri itu maka manusia akan selalu memperbaiki watak, kharakter, perilaku dan akhlaknya.     Sebagai bagian dari upaya menyucikan diri maka seseorang harus menjaga hatinya, tutur katanya, perbuatannya, pergaulannya, harta benda yang dimiliki,  dan juga makanannya. Dalam kaitannya untuk menjaga hati, maka seseorang tidak boleh sombong, rakus, iri hati, tinggi hati, suka permusuhan, berbohong, menipu,  dengki pada  orang lain, su’uzhzhan dan sifat-sifat buruk lainnya. Sebaliknya, harus mengembangkan sifat jujur, adil, ikhlas, syukur, sabar, amanah dan istiqomah. Semua ini terkait dengan upaya untuk menjaga diri atau tazkiyatun nafs.     Hal lain yang termasuk tazkiyatun nafs adalah bahwa dalam mencari harta atau rizki, harus menjaganya, agar semua harta benda yang diperoleh dan makanan yang dikonsumsi sehari-hari harus dipilih yang baik, halal,  dan berbarakah. Dalam hal rizki dalam Islam tidak diukur dari aspek banyaknya, melainkan dari sifat harta itu, ialah halal dan baik. Demikian pula dalam berkomunikasi, harus didasari oleh kasih saying, saling menghormati dan menghargai. Oleh karena itu, maka kata-kata dalam al-Qur’an dibedakan, misalnya disebut qawlan karima, qawlan syadida, qawlan ma’rufa, qawlan baligha, qawlan layyina, qawlan khafifa, qawlan tsaqila. Pembedaan dan pilihan itu dimaksudkan untuk membangun agar komunikasi dan selanjutnya kesucian masing-masing senantiasa terjaga.     Ketiga, menyangkut tentang tatanan sosial. Islam memberikan konsep yang jelas tentang bagaimana kehidupan ini ditata agar terjadi keadilan di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Pada saat nabi dilahirkan di kota Makkah, bangsa Arab dikenal terdiri atas para kabilah-kabilah. Di antara kabilah-kabilah itu saling bersaing berebut kekuasaan, prestise, kehormatan  dan juga harta benda. Maka terjadilah penindasan yang luar biasa. Mereka yang lemah tidak ditolong, melainkan justru ditindas.     Pada saat itu, kehormatan orang, termasuk wanita, anak yatim, dan orang miskin tidak mendapatkan tempat yang semestinya. Ilmu pengetahuan tidak dibangun. Mereka hanya membangun kekuasaan dan pemilikan harta secara berlebih-lebihan. Perbudakan terjadi. Budak tidak saja dipekerjakan secara tidak manusiawi, melainkan juga diperjual-belikan. Itulah tatanan sosial yang pincang, tidak adil, manusia tidak diperlakukan sebagaimana harkat dan martabatnya.     Islam hadir untuk memperbaiki itu semua, baik dari aspek ekonomi, politik, sosial, budaya dan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, maka bisa disebutkan bahwa Islam hadir di muka bumi bukan sebatas mengajak orang untuk menjalankan ritual, memenuhi tempat ibadah, melainkan lebih dari itu, adalah untuk membangun tatanan sosial yang berkulitas. Selama ini konsep-konsep tentang tatanan sosial dalam Islam masih terlupakan.     Keempat, Islam memberikan pedoman ritual. Selama ini aspek tersebut   telah mendapatkan perhatian yang cukup banyak.  Bahkan  yang selama ini  ditangkap oleh umatnya secara penuh adalah Islam dalam  aspek ritual ini. Kita lihat pelajaran agama dan juga kelembagaan pendidikan agama Islam di perguruan tinggi Islam, lebih menekankan pada aspek ritual ini. Oleh karena itu, sejak awal diperkenalkan tentang rukun Islam, rukun iman, tentang bersuci, shalat, puasa, haji, berdoa dan seterusnya. Demikian pula pembagian keilmuan hingga di perguruan tinggi Islam lebih banyak menekankan tentang itu.     Kelima, tentang amal saleh atau bekerja  secara profesional. Sedemikian banyak ayat al- Qur’an tatkala menyebut iman selalu diikuti dengan sebutan amal saleh. Semestinya amal saleh harus dimaknai sebagai bekerja  secara lurus, tepat, benar,  dan bahkan juga profesional. Bekerja secara profesional harus didasarkan pada ilmu atau pengetahuan yang cukup memadai. Selama ini rasanya, amal saleh belum dimaknai  sebagaimana mestinya.     Umpama saja, ajaran amal saleh ini dikembangkan dan menjadi bagian dari ajaran Islam yang penting, maka akan mendorong umat Islam untuk menjalankan pekerjaannya secara benar. Bekerja secara benar akan dianggap sebagai panggilan dari Islam. Sebagai  seorang muslim akan terdorong pikiran, perasaan,  dan jiwanya untuk menampakkan ke-Islamanya dalam semua kegiatan, termasuk dalam beramal atau bekerja secara saleh itu.   Implementasi Pendidikan Islam Progresif     Membangun pendidikan Islam Progresif  harus dimulai dari cara pandang terhadap Islam itu sendiri. Islam harus diyakini bukan saja sebatas agama, melainkan adalah juga sebagai sebuah peradaban. Islam harus dipandang sebagai ajaran yang utuh dan komprehensif. Harus dipandang pula bahwa mengembangkan  ilmu pengetahuan adalah bagian terpenting dari Islam.     Selain itu, umat Islam tidak cukup hanya mengimani ayat-ayat qauliyah, melainkan memerlukan ayat-ayat kawniyah. Kedua sumber ilmu pengetahuan tersebut harus dilihat secara bersama-sama dan padu.  Keduanya harus diposisikan pada tempatnya masing-masing yang semestinya,  dan tidak perlu dihadap-hadapkan untuk saling dikonfrontasikan.     Sementara orang sangat mengimani ayat-ayat qawliyah, tetapi sebaliknya kurang mempercayai terhadap ayat-ayat kawniyah, sehingga banyak mengalami ketertinggalan. Sebaliknya banyak orang yang terlalu mengimani ayat-ayat kawniyah dan kurang peduli pada ayat-ayat qauliyah sehingga mengalami kesesatan dalam hidupnya. Umat Islam seharusnya tidak sesat dan juga tidak mengalami kerugian. Maka, cara yang tepat sebagaimana ajaran Islam itu sendiri memberikan tuntutan, seharusnya  umat Islam merujuk  dua sumber ilmu tersebut, yaitu ayat-ayat qawliyah dan ayat-ayat kawniyah.    

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share