Menghindari Terjadinya Limbah Korupsi

Akhir-akhir ini pemberantasan korupsi di negeri ini semakin digalakkan. Hasilnya cukup dirasakan, baik yang bersifat positif maupun yang negative. Yang positif para koruptor berhasil ditangkap, kemudian diadili, dan akhirnya dimasukkan ke penjara. Mereka yang sudah dimasukkan ke penjara tentu sudah tidak akan bisa berkorupsi lagi, karena sudah dicopot dari jabatannya. Dampak negatifnya, di antaranya, bangsa ini kehilangan orang yang semula menjadi tauladan dan bahkan di antara mereka sesunguhnya adalah orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan dan pengalaman yang sedang dibutuhkan oleh negeri ini. Mereka yang terjaring dari gerakan pemberantasan korupsi tersebut ternyata sangat banyak, dan merata di semua tingkatan, di semua departemen, dan bahkan juga di seluruh tanah air. Seain itu para tokoh yang tertangkap melakukan tindak korupsi juga orang-orang yang berpendidikan tinggi, dituakan, dan awalnya juga ditauladani. Kenyataan ini berarti bahwa pemberantasan korupsi sesungguhnya secara tidak langsung menjadikan bangsa mengalami defisit. Tidak bisa dibayangkan berapa besar dahulu biaya yang telah dikeluarkan untuk memintarkan orang-orang tersebut hingga akhirnya menjadi tokoh dan setelah itu ternyata dianggap salah, dan juga memang salah, lalu akhirnya dipenjara itu. Umpama di negeri ini sudah berhasil dibangun system yang menjadikan korupsi tidak akan terjadi, maka berapa banyak kekayaan yang bisa dihemat hingga tidak melahirkan kerugian, baik berupa SDM maupun kekayaan negara berupa dana besar yang semestinya digunakan untuk mensejahterakan rakyat. Saya termasuk orang yang paling tidak menyukai atau sangat membenci perilaku korup. Tetapi sebagai seorang pendidik, saya selalu membayangkan betapa kerugian bangsa ini jika tidak segera ditemukan sebuah system birokrasi yang benar-benar bisa mencegah tindak kurupsi itu. Saya tidak hanya melihat kerugian berupa uang, tetapi adalah kerugian berupa sumber daya manusianya. Kerugian berupa SDM saya hitung jauh lebih tinggi daripada kerugian sebatas berupa uang. Kerugian berupa SDM sesungguhnya sangat mendasar, sehingga jika itu terjadi maka bagaikan telah kehilangan segala-galanya. Berangkat dari pandangan itu, sejak mendapat amanah memimpin perguruan tinggi ialah STAIN Malang yang kini berubayh menjadi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, saya berusaha mencari cara yang sekiranya bisa mencegah terjadinya korupsi sekecil apapun. Sekalipun cara yang saya tempuh itu mungkin dipandang sangat sederhana, ternyata sejak awal saya memimpin kampus sampai saat ini, belum pernah menemukan penyimpangan itu. Bahkan selama sebulan terakhir ini UIN Maulana Malik Ibrahim diperiksa secara menyeluruh oleh BPK, ternyata dinyatakan tidak ditemukan penyimpangan korupsi sedikitpun. Memang dari pemeriksaan itu didapatkan temuan-temuan, tetapi temuan itu tidak disebuit sebagai telah merugikan Negara. Temuan itu misalnya, sejumlah pajak terlambat disetor, pencatatan penggunaan uang yang kurang tepat, pemanfaatan dana yang dianggap kurang benar karena tidak disiplin mengikuti prosedur. Tetapi semua temuan itu diketahui secara jelas, bahwa tidak ada serupiah pun kekayaan negara yang diselewengkan. Kesalahan tersebut bisa dipertanggung-jawabkan dan bahkan kemudian bisa diperbaiki sebagaimana yang diharapkan oleh system pengelolaan uang negara. Berdasarkan pemeriksaan dari BPK di UIN maliki Malang diakui , bahwa selama ini pemerintah, dengan manajemen keuangan yang didasari oleh semangat menunaikan amanah sebaik-baiknya, menjadi teruntungkan. Umpama diaudit lebih jauh lagi, —–tidak hanya sebulan dan hanya melibatkan 6 orang petugas, dan dilakukan secara komprehensif dan detail, keuntungan itu bisa dibuktikan dengan angka-angka yang kongkrit. Dengan cara itu akan diketahui misalnya, berapa setiap tahun anggaran pemerintah yang diberikan kepada UIN maliki Malang, dan berapa hasil yang dicapai. Saya yakin hasil itu jauh lebih banyak dari nilai harga yang diterimanya. Dengan strategi yang dikembangkan oleh UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, maka kampus ini tidak pernah memiliki limbah korupsi. Artinya tidak pernah ada pegawai kampus ini, —-apakah staf, dosen, atau pimpinan yang mnenjadi tersangka oleh kepolisian atau kejaksaan karena telah melakukan penyelewengan kekayaan uang negara. Saya rasakan selama ini justru sebaliknya, selalu memberikan pengabdian lebih dari kewajiban yang semestinya dibebankan kepada mereka. Sekalipun tugas PNS misalnya hanya 5 hari kerja pada setiap minggunya, tetapi para pimpinan, dosen, dan staf bekerja 6 hari kerja sejak pagi hingga malam hari. Tidak pernah para pegawai, pimpinan, dan juga dosen meninggalkan jam kerja sebelum waktunya. Cara yang selama ini saya tempuh untuk membangun budaya kerja sepenuh hati itu, kadang saya ragu menyampaikan ke masyarakat umum, khawatir mendapatkan penilaian yang berlebihan. Tetapi, mengingat cara tersebut mungkin strategis dilakukan di manapun, maka dengan berat saya sampaikan. Apalagi, akhir-akhir ini saya merasakan penyimpangan penggunaan uang negara semakin menjadi-jadi, seperti tidak ada tanda-tanda mereda. Saya berpandangan bahwa dalam sebuah organisasi atau bahkan masyarakat, maka pengikut selalu melakukan apa saja yang dilakukan oleh pemimpinnya yang tulus. Ketulusan itulah sesungguhnya menjadi kekuatan untuk mencegah penyimpangan yang seharusnya dihindari. Satu di antara hal yang saya lakukan untuk mencegah korupsi saya tempuh melalui contoh selalu berkorban. Saya memiliki rumus bahwa berjuang harus dibarengi dengan berkorban. Pemimpin hingga berhasil manakala bersedia melepaskan apa yang dimilikinya. Kerja keras, tekun, menanggung resiko, banyak ide, tidak cukup jika tidak diikuti pengorbanan itu. Berdasarkan pandangan ini, saya selama memimpin kampus ini tidak pernah membawa gaji atau penghasilan seluruhnya pada setiap bulannya. Saya selalu memotong 20 % dari penghasilan itu untuk kemudian saya salurkan ke lembaga Zis (Zakat Infaq dan Shodaqoh) yang dikembangkan oleh kampus ini. Bahkan sudah setahun terakhir ini saya sengaja tidak mengambil sedikitpun tunjangan sebagai pimpinan. Uang itu seluruhnya saya setorkan ke Lembaga Zis tersebut. Dana tersebut ternyata memiliki kekuatan yang luar biasa. Selain menjadikan orang tidak mau melakukan penyimpangan, bahkan juga sebaliknya. Para pimpian yang lain, dosen dan juga mahasiswa sekalipun tidak terlalu besar juga melakukan hal yang sama. Dana tersebut setelah terkumpul kemudian, dimanfaatkan, di antaranya untuk menolong para mahasiswa yang karena satu dan lain hal kesulitan membayar uang SPP dan lain-lain. Cara seperti ini saya katakana sangat efektif untuk menghindari penyimpangan penggunaan uang negara. Cara ini sangat baik karena berhasil mencegah tindak korupsi tanpa konsekuensii terjadinya limbah yang tidak diinginkan. Dengan cara ini, orang menjadi malu atau setidak-tidaknya sungkan melakukan penyimpangan. Semangat memberi atau berjuang dan berkorban tumbuh, karena ada contoh. Sebaliknya, semangat mengambil yang bukan haknya menjadi tidak tumbuh. Inilah menurut hemat saya, mencegah korupsi secara efektif tanpa melahirkan limbah yang tidak perlu. Sebab apapun yang kita lakukan, semestinya jangan sampai terlalu mengorbankan harkat dan martabat manusia. Harkat dan martabat manusia harus selalu dimuliakan sebagaimana Tuhan telah melakukan-Nya. Wallahu aโ€™lam.

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektorย  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *