Setiap akhir tahun The United Nations Development Programme atau Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) selalu mengeluarkan peringkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) negara-negara anggotanya, termasuk Indonesia. IPM mengukur tingkat kemajuan suatu bangsa dengan menggunakan tiga indikator, yakni ekonomi, kesehatan, dan pendidikan. Pembangunan ekonomi dilihat dari angka pendapatan per kapita, kesehatan dilihat dari ekspektasi tingkat hidup saat kelahiran dan angka harapan hidup, dan pendidikan dilihat dari kemampuan baca tulis warganya. Wal hasil, dengan menggunakan indikator tersebut pada tahun 2010, peringkat IPM Indonesia mengalami kenaikan dibanding tahun sebelumnya, yakni berada pada peringkat 108 dari 169 negara yang disurvei, naik 3 tingkat dari sebelumnya, yakni 111 pada tahun 2009. Walaupun naik, peringkat Indonesia jauh berada di bawah Malaysia yang menduduki peringkat ke-57. Karena itu, wajar jika dalam beberapa hal Malaysia merasa lebih memiliki self-confidence dibanding Indonesia.
Sayang peringkat ke- 108 pada tahun 2010 tersebut tidak bisa dipertahankan, apalagi diperbaiki. Sebab, peringkat Indonesia turun menjadi urutan ke-124 dari 187 negara yang disurvei. Yang lebih mengejutkan lagi, sebagaimana ditulis Omas Bulan Samosir (Kompas, 25/11/2011), peringkat Indonesia kalah dibanding dengan negara-negara baru yang disurvei , yakni Palau (49), Kuba (51), Seychelles (52), Antigua-Barbuda (60), Lebanon (71), Samoa (99), kecuali dengan Palestina yang menempati urutan ke-114. Dari 11 negara ASEAN, posisi Indonesia hanya unggul dari Vietnam, Kamboja, Myanmar, Laos, dan Timor Leste. Singapura dan Brunei Darussalam berada pada urutan teratas. Lepas dari setuju atau tidak terhadap hasil tersebut , karena metodologi penelitian apapun jenisnya, termasuk survei, tentu memiliki kelemahan, peringkat Indonesia tersebut bisa dijadikan sebagai ukuran untuk melihat kemajuan kita dibanding dengan negara-negara lain dari sisi kemajuan ekonomi, kesehatan dan pendidikan. Selain dijadikan tolok ukur, peringkat tersebut juga bisa dipakai untuk mengambil langkah-langkah konkrit dan strategis untuk tidak selalu tertinggal dengan negara-negara lain. Pertanyaannya adalah mengapa peringkat IPM Indonesia begitu rendah? Tentu masalahnya kompleks, Tetapi saya sangat yakin jika rendahnya peringkat IPM kita sangat terkait dengan pendidikan. Tidak ada bangsa di dunia yang mengalami kemajuan tanpa melalui pembangunan pendidikan yang baik. Semua negara maju di dunia menempatkan pendidikan sebagai sektor utama pembangunannya. Sebagai bangsa, kita semua mempercayai bahwa pendidikan merupakan salah kunci penting untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa dan negara. Tetapi sejak merdeka kita sejatinya belum mengelola pendidikan secara total. Akibatnya, model pendidikan kita melahirkan sosok lulusan yang tidak sanggup menghadapi tantangan, kurang percaya diri, tidak mau bekerja keras, pragmatis dan bermental priyayi. Sebuah lembaga survei independen beberapa waktu lalu melaporkan bahwa sebagian besar alumni lembaga pendidikan kita ingin bekerja sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil). Alasannya, dengan menjadi PNS, hidup terjamin hingga hari tua, walau gaji tidak besar, waktu bekerja santai, dan tidak mengenal PHK sebagaimana di lembaga swasta. Masyarakat juga memperparah keadaan dengan memandang bahwa bekerja sebagai PNS atau pegawai pemerintah memiliki status sosial tinggi dan seolah menjadi warga kelas satu di negeri ini. Malah ada yang beranggapan alumni lembaga pendidikan belum dianggap berhasil jika belum bekerja sebagai PNS. Karena itu, setiap ada lowongan PNS pelamarnya bisa membludak hingga ribuan orang. Padahal, yang dibutuhkan hanya beberapa puluh orang saja. Maka sangat mudah dipahami jika tawaran program-program kewirausahaan (enterpreneurship) di beberapa perguruan tinggi tidak memperoleh sambutan yang berarti. Sebab, kebanyakan alumni perguruan tinggi memang tidak bercita-cita menjadi wirausahawan. Mereka ingin menjadi priyayi, dengan bekerja di lembaga-lembaga pemerintah. Ada seorang kawan yang dipaksa oleh mertuanya untuk melamar menjadi PNS, walau sebenarnya dia telah bekerja di perusahaan swasta dengan gaji yang lumayan tinggi untuk ukuran masyarakat kita. Alasannya sederhana sang mertua kurang percaya diri tatkala ditanya kerabat dan tetangganya tentang pekerjaan menantunya jika bekerja di swasta. Karena rasa hormat kepada mertua, perintah tersebut dipenuhi dan jadilah dia seorang PNS di sebuah kantor pemerintah kota. Beginilah mental priyayi yang sebenarnya warisan pendidikan kolonial dulu. Pemerintah kolonial dulu mendirikan lembaga pendidikan untuk menyiapkan calon pegawai sipil atau yang disebut pamong praja. Warisan ini berlangsung hingga hari ini. Karena minat menjadi PNS begitu tinggi dan pemerintah mengakomodasinya, maka jumlah PNS dari berbagai golongan dan pangkat hingga 30 Juni 2010 menurut Badan Kepegawaian Negara (BKN) mencapai 4, 732,472 orang, termasuk Sekretaris Desa yang diangkat menjadi PNS sejumlah 53.000 orang. Periode 2004-2009 terjadi lonjakan jumlah PNS. Akibatnya, belanja pegawai yang diambil dari APBN rata-rata di atas 50% dari anggaran yang tersedia. Dana yang mestinya untuk pembangunan di berbagai bidang terserap untuk menggaji PNS. Kita tidak menutup mata bahwa pemerintah bersama DPR telah mengambil langkah-langkah konkrit untuk membenahi dunia pendidikan kita, mulai dari aspek hukum yang memayunginya, seperti Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen hingga dukungan nyata secara finansial dengan mengalokasikan dana sebesar 20% dari APBN untuk sektor pendidikan. Ini patut disyukuri, sebab sejak Indonesia merdeka baru kali ini anggaran pendidikan mencapai 20% dari APBN. Tentu, harapannya adalah dengan dana sebesar itu kualitas pendidikan kita bisa meningkat dan melahirkan lulusan yang sanggup membangun negeri ini dengan baik dan bertanggungjawab sehingga kesejahteraan rakyat bisa dicapai. Sebab, kesejahteraan merupakan cita-cita semua warga. Tetapi masalah pendidikan memang sangat kompleks, sehingga harapan itu belum terwujud. Sebab, pendidikan bukan pekerjaan berdimensi tunggal. Banyak aspek yang terkait dengan pendidikan. Dana sangat penting bagi keberlangsungan pendidikan yang berkualitas, tetapi bukan satu-satunya. Selain dana, pendidikan melibatkan beberapa hal, mulai yang sangat abstrak seperti filsafat pendidikan, political will pemerintah, semangat dan kualitas pendidik, sarana dan prasarana, manajemen, peran orangtua, hingga sistem nilai yang berkembang di masyarakat. Semuanya menjadi variabel bebas yang menentukan kualitas pendidikan. Karena itu, untuk mewujudkan pendidikan berkualitas diperlukan keseriusan semua pemangku kepentingan (stake holders). Jika pendidikan tidak dikelola dengan serius, maka akan terjadi tragedi kemanusiaan yang sangat mengerikan, yakni kebodohan. Selain keseriusan, pendidikan memerlukan ketaatan dan keikhlasan para pengelola untuk mencurahkan waktu, pikiran dan perhatiannya pada penyelenggaraan pendidikan. Pendidikan tidak bisa dikelola dengan sambil lalu, apalagi dengan kepura-puraan dan kebohongan. Tantangan pendidikan kita sangat rumit, mulai persoalan kualitas pendidik, sarana dan prasarana, kurikulum, penyebaran yang tidak merata dan berpusat di Jawa, etos kerja yang rendah, guru honorer yang menumpuk dan menunggu pengangkatan menjadi PNS — karena janji-janji politik penguasa daerah saat kampanye pilkada — hingga ketidaksesuaian antara pendidikan yang ditempuh para guru dan bidang studi yang diajarkan. Tulisan Ester Lince Napitupulu “Benang Kusut yang Belum Terurai” (Kompas, 14/12/2011) memaparkan data bahwa untuk jenjang SD ketidaksesuaian itu mencapai angka 34, 8%, SMP 31, 49%, SMA 49, 24% dan SMK 22, 68%. Data itu belum memasukkan ketidaksesuaian yang terjadi di lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti Ibtidaiyah (SD), Tsanawiyah (SMP, dan Aliyah (SMA). Angka itu akan lebih tinggi lagi. Apa artinya? Siswa Indonesia diajar oleh pendidik yang sebagian besar bukan bidang keahliannya. Sekarang, keadaan tersebut menjadi lebih rumit karena kebijakan sertifikasi guru mengharuskan guru memenuhi jam wajib mengajar sebanyak 24 jam per minggu. Akibatnya, banyak guru mengajar bidang apa saja, asal jam wajibnya terpenuhi. Misalnya, guru geografi mengajar IPS, guru bahasa Indonesia mengajar bahasa Inggris (dengan alasan sama-sama bahasa), guru fisika mengajar matematika, guru bahasa Arab mengajar agama, dst. Saya pernah menemukan guru olah raga mengajar agama. Jika kondisi tersebut terus berlangsung, maka jangan berharap berapa pun besarnya dana yang dialokasilkan akan dapat menghasilkan pendidikan yang berkualitas unggul. Yakinlah bahwa pendidikan berkualitas hanya akan lahir dari pendidik yang berkualitas. Sarana dan prasarana, manajemen, kerjasama dengan orangtua/wali siswa, kepedulian masyarakat, kurikulum dan sebagainya sebenarnya hanya bersifat komplementer. Guru merupakan ujung tombak pendidikan, dan di tangan guru lah kualitas pendidikan yang kita harapkan akan terwujud. Guru di atas segalanya. Saya berkeyakinan di tangan guru yang baik (berkualitas), akan lahir anak didik berkualitas, dan sebaliknya. Berapa pun dana, fasilitas, kurikulum yang tersedia, dan sebagainya akan sia-sia jika tidak tersedia guru yang berkualitas. Dengan melihat kekayaan alam yang dimiliki yang begitu melimpah dan jumlah penduduk usia produktif yang tinggi, peluang Indonesia untuk menjadi negara maju sebenarnya sangat terbuka. Tetapi semua tergantung pada bagaimana pendidikan dikelola dengan serius. Di tengah persaingan global yang demikian kompetitif, pendidikan yang diharapkan bisa menjawab tantangan zaman adalah yang mampu menciptakan lulusan unggul (excellent), yaitu lulusan yang mau bekerja keras, jujur (tidak korup), disiplin, bertanggung jawab, hormat pada orang lain dan saling menghargai. Peringkat IPM Indonesia tidak akan terus berada pada rangking bawah jika pendidikan berhasil menciptakan keunggulan seperti itu. Tetapi sebaliknya, jika pengelolaan pendidikan tidak serius dan bermuatan politik, maka jangan heran jika peringkat IPM Indonesia dari tahun ke tahun akan terus merosot. Dan, itulah sejatinya tragedi kemanusiaan di negeri ini yang harus kita hindari. ___________ Malang, 17 Desember 2011
Penulis : Prof DR. H. Mudjia Rahardjo
Pembantu Rektor I Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang