Minus Percaya Diri, Mahasiswa Takut Lulus

Beberapa hari yang lalu, saya ketemu seorang mahasiswa yang semestinya sudah selesai kuliahnya, tetapi ternyata belum berani ujian akhir. Ia katakan, tinggal skripsi yang tersisa belum dikerjakan. Tugas-tugas lainnya, termasuk seluruh mata kuliah sudah diikuti dan lulus. Kapan skripsi itu akan diselesaikan, ia mengaku belum terbayangkan. Pemuda tersebut mengaku masih kepingin memperpanjang statusnya sebagai mahasiswa. Baginya status sebagai mahasiswa dirasa lebih aman. Selama belum lulus, orang tuanya masih mengirim biaya hidup di kota, dan ia merasa hidupnya tidak terlalu terbebani. Selain itu, dengan berstatus sebagai mahasiswa, sekalipun sehari-hari menganggur, terasa tidak ada beban. Melalui beberapa pertanyaan, saya mendapatkan jawaban yang sebenarnya, mengapa ia menunda kelulusannya. Ia membayangkan, bahwa jika telah lulus, ia harus segera pulang, dan bekerja. Padahal mendapatkan pekerjaan, ia lihat pada saat ini, bukan perkara mudah. Ia membayangkan bahwa selepas kuliah di perguruan tinggi, harus bisa memenuhi harapan orang tua dan masyarakat di desanya. Menganggur setelah lulus kuliah dianggap aib yang harus dihindari. Menganggur bagi anak-anak desa yang tidak sekolah, dianggap tidak mengapa, sudah umum terjadi. Tetapi tidak demikian bagi mereka yang sudah sarjana. Sebutan sebagai sarjana menganggur secara psikologis sangat membebani. Status tersebut, baginya sangat menakutkan. Karena itu, ia mengambil pilihan, lebih baik menunda lulus dan masih tinggal di kota, daripada segera masuk walayah yang sarat beban pskilogis itu. Dari penjelasan itu, yang kemudian saya pikirkan adalah, jangan-jangan mereka yang berpandangan seperti itu jumlahnya banyak. Kuliah di perguruan tinggi akhirnya bukan mengantarkan orang menjadi lebih dewasa, berpandangan luas, memiliki banyak alternativejalan hidup, percaya diri, memiliki banyak jaringan berkomunikasi, dan seterusnya, melainkan justru menjadi beban. Jika demikian, maka siapa sesungguhnya yang salah, dan apa saja yang harus dibenahi untuk memperbaiki keadaan itu. Perguruan tinggi di mana saja, biasa menawarkan program-program untuk diikuti oleh siapapun. Selain itu juga menjelaskan tentang kemampuan dan kopetensi yang akan diperoleh bagi siapapun yang mengikutinya. Tentu, ada sebagian dari mereka yang berprestasi tinggi, sedang-sedang, dan bahkan ada juga yang berakhir dengan hasil pas-pasan. Bagi mahasiswa yang menjadikan perguruan tingginya sebagai wahana untuk membekali diri dengan pengalaman, pengetahuan, ketrampilan, kecakapan, dan seterusnya, maka setelah dinyatakan lulus, ia akan menjadi orang yang percaya diri. Apalagi, ia merasa lulus dari perguruan tinggi pilihannya yang telah dipercaya masyarakat. Perasaan takut setelah lulus tersebut sesungguhnya adalah merupakan bentuk kegagalannya dalam memaknai kampusnya. Bagi mahasiswa yang mengenali kampusnya itu dengan baik, kiranya perasaan takut, khawatir, ragu-ragu, tidak percaya diri, dan perasaan negative lainnya itu semua tidak akan muncul, apalagi ia sudah sekian lama ada di dalamnya. Saya lihat kenyataan itu, lebih banyak hanya terkait pada persoalan psikologis. Mungkin mahasiswa tersebut sejak awal sudah gagal membangun kebanggaan terhadap kampusnya. Sehari-hari yang diingat olehnya bukan kelebihan, melainkan serba kekurangannya, tidak terkecuali terhadap kekurangannya sendiri. Itulah sesungguhnya salah satu sebab, hingga selalu muncul perasaan tidak percaya diri, khawatir, dan ragu-ragu, sehingga mau lulus saja justru tidak berani, aneh. Wallahu a’lam.

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share