Muhammadiyah Dan Tajdid Keilmuan

Beberapa bulan terakhir ini, saya diundang oleh beberapa Perguruan Tinggi Muhammadiyah untuk membicarakan tentang reformulasi bangunan keilmuan yang maunya akan dikembangkan di kampus-kampus mereka. Beberapa perguruan tinggi Muhammadiyah yang saya maksudkan itu antara lain Universitas Muhammadiyah Surakarta, Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Universitas Muhammadiyah Pare-Pare, Uhamka Jakarta, Universitas Muhammadiyah Metro, Lampung, dan terakhir, minggu yang lalu, saya hadir di Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

Tema yang dibicarakan dalam pertemuan di beberapa kampus itu adalah serupa, yaitu mengajak berdiskusi tentang bangunan keilmuan yang bersifat holistic, yaitu tidak memisahkan antara ilmu-ilmu umum dan ilmu agama. Sementara ini, di antara keduanya di masing-masing perguruan tinggi Muhammadiyah masih dilihat secara dikotomik atau terpisah. Seolah-olah agama yang bersumber dari al Qurán dan hadits hanya membicarakan persoalan-persoalan tauhid, fiqh, akhlak, tasawwuf, tarekh, dan bahasa Arab. Beberapa bidang ilmu itulah yang sementara ini disebut sebagai ilmu agama, sedangkan yang lain bukan. Demikian pula, sementara ini di lingkungan perguruan tinggi Muihammadiyah, juga dibedakan antara adanya fakultas umum dan fakultas agama. Fakultas agama, sebagaimana di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri pada umumnya, terdiri atas jurusan-jurusan ushuluddin, syariáh, tarbiyah, adab dan dakwah. Bidang keilmuan seperti itulah yang sementara ini disebut sebagai bagian dari fakultas agama. Rupanya pembagian keilmuan secara dikotomik seperti itu telah dirasakan sebagai hal yang kurang tepat. Sumber ajaran Islam berupa al Qurán dan hadits nabi yang bersifat universal semestinya juga tampak dalam bangunan keilmuan yang dikembangkan oleh perguruan tinggi Muhammadiyah itu. Artinya, mulai muncul kesadaran dari kalangan mereka, bahwa semestinya tidak melakukan pembagian ilmu yang bersifat dikotomik itu. Ilmu yang bersifat holistik dalam arti tidak dikotomik, mestinya tidak dibedakan antara ilmu umum dan ilmu agama. Semua ilmu adalah satu, datang dari Allah, bersumberkan dari ayat-ayat qawliyah dan ayat-ayat qawniyah. Semua bidang keilmuan yang di kembangkan oleh perguruan tinggi Muhammadiyah semestinya bersumber dari dua hal tersebut. Ilmu-ilmu murni seperti fisika, kimia, biologi, sosiologi, psikologi, antropologi, sejarah dan lainnya, seharusnya dikembangkan dari kedua jenis sumber ilmu tersebut, yaitu ayat qawliyah dan sekaligus ayat qawniyah. Kitab suci al Qurán dan hadits nabi, sesungguhnya tidak saja berbicara soal-soal ritual dan dunia spiritual, melainkan berbicara tentang semua hal, terkait dengan konsep ketuhanan, penciptaan, manusia, alam, dan juga konsep tentang keselamatan manusia dan alam. Tatkala bicara tentang alam misalnya, al Qurán mengungkap tentang bumi, langit, matahari, bulan, air, udara, hujan, petir, gunung, laut, binatang, tumbuh-tumbuhan dan segala hal lainnya terkait dengan itu. Semua itu adalah menjadi opbjek kajian ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, dalam mengembangkan disiplin ilmu apa saja, di kampus-kampus perguruan tinggi Muhammadiyah, semestinya selalu merujuk pada dua sumber ilmu tersebut sekaligus, yaitu ayat-ayat qawliyah berupa al Qurán dan hadits maupun ayat-ayat qawniyah, yaitu hasil-hasil observasi, elksperimen dan penalaran logis. Jika hal itu benar-benar dilakukan, maka di kalangan perguruan tinggi Muhammadiyah, al Qurán dan hadits tidak lagi hanya menjadi bahan kajian fakultas ilmu agama, melainkan juga oleh semua fakultas yang ada. Demikian pula mata kuliah al Islam yang selama itu diberikan secara terpisah dari mata kuliah umum, maka seharusnya diberikan secara padu dan menyatu dengan mata kuliah lainnya. Bahkan pembagian, fakultas agama dan fakultas non agama, juga seharusnya dihilangkan. Dengan demikian, ilmu akan dilihat secara utuh, padu, dan holistic. Apa yang saya kemukakan terkait dengan bangunan keilmuan, sebagaimana yang saya sebutkan di muka, pada umumnya mendapatkan respon yang positif dan mereka menerimanya. Hanya satu hal yang mereka pikirkan adalah bagaimana teknis kajian itu sebenarnya harus dilakukan, tatkala di sana-sini masih menghadapi beberapa kendala. Di antaranya, misalnya bahwa selama ini dosen yang ada masih justru menggambarkan adanya ilmu yang bersifat dikotomik itu. Yaitu, terdapat dosen biologi, fisika, sosiologi, psikologi yang tidak terlalu mendalami al Qurán dan hadits. Sebaliknya, para dosen al Islam umumnya juga kurang menguasai ilmu-ilmu murni tersebut. Hambatan yang bersifat teknis tersebut menurut hemat saya, pada saatnya nanti akan terpecahkan. Konsep bangunan keilmuan secara holistic tersebut memang tidak akan mungkin dapat dilaksanakan secara mendadak atau dalam waktu singkat, tetapi memerlukan waktu yang lama. Namun setidaknya, dari kunjungan ke beberapa perguruan tinggi Muhammadiyah, saya melihat sudah mulai ada pemikiran baru untuk melihat ilmu secara holistic di kalangan perguruan tinggi Muhammadiyah. Fenomena itulah yang saya sebut sebagai telah munculnya tajdid keilmuan di lingkungan Muhammadiyah, dan bukan hanya sekedar tajdid di bidang fiqh sebagaimana yang terdengar selama ini. Wallahu a’lam. 

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share