Masih saja sering saya mendapatkan pertanyaan bernada khawatir tentang misi utama STAIN Malang setelah berubah bentuk menjadi universitas, yaitu UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Pertanyaan yang diajukan di antaranya adalah bagaimana nasip fakultas agama. Penanya selalu khawatir, jangan-jangan dengan perubahan bentuk kelembagaan itu, maka misi utama awal didirikannya perguruan tinggi Islam yakni untuk memperdalam ilmu agama menjadi berkurang atau bahkan merosot.
Orang yang gelisah dan selalu khawatir dengan perubahan itu, dan sampai kemudian memberanikan diri untuk bertanya, merasa akan kehilangan jika perubahan bentuk menjadi universitas itu mengakibatkan ilmu-ilmu agama yang sangat dicintai itu hilang. Ilmu agama yang dimaksudkan itu adalah ilmu tauhid atau aqidah, fiqh, akhlak dan tasawwuf, tarekh, dan bahasa Arab. Demikian pula yang dimaksudkan dengan fakultas agama adalah fakultas tarbiyah, fakultas syariáh, fakultas ushuluddin, dan sejenisnya.Mata pelajaran dan juga fakultas sebagaimana disebutkan di muka jangan sampai hilang, sekalipun kampus berlabel Islam ini berubah menjadi universitas. Sebab menurut pandangan mereka itu, perguruan tinggi Islam ini dahulu didirikan dengan misi utamanya untuk mengembangkan ilmu-ilmu keislaman. Sedangkan yang dimaksud dengan ilmu keislaman menurut mereka adalah sebagaimana tersebut di atas itu.Kekhawatiran seperti itu tidak saja datang dari orang awam, yaitu orang yang tidak banyak belajar agama, tetapi juga dari orang-orang yang sudah dianggap tokoh, pemimpin, dan juga ahli. Oleh karena itu, wajar jika muncul kekhawatiran yang berkepanjangan itu. Apalagi gambaran ideal yang diharapkan dari perubahan itu belum bisa segera dilihat. Misalnya, setelah menjadi universitas maka bangunan keilmuannya, yaitu antara ilmu umum dan ilmu agama menjadi terintegrasi. Walaupun sebenarnya tuntutan itu juga terlalu tergesa-gesa, jika diketahui bahwa membangun apa saja yang bersifat non fisik, selalu memerlukan waktu lebih lama.Dalam berbagai pertemuan, orang yang khawatir terhadap perubahan itu biasanya berargumentasi dengan dasar Surat Al-Taubah ayat 122. Pada ayat itu disebutkan bahwa hendaknya ada setaip golongan orang-orang yang tafaqquh fiddien, agar mereka memberi peringatan setelah mereka kembali. Kata kembali yang dimaksudkan oleh ayat ini, sesuai dengan azbabun nuzul- nya adalah kembali dari perang. Ketika itu, para sahabat Nabi sedemikian bersemangat keluar kota untuk melakukan peperangan. Hanya beberapa sahabat saja yang tinggal bersama Nabi.Ayat itu sesungguhnya tidak begitu tampak menunjukkan pengertian bahwa tafaqquh fiddien itu adalah ilmu agama menurut pengertiannya selama ini. Tafaqquh fiddien diposisikan secara berlawanan dengan kegiatan perang. Bukan tafaqquh fiddien dibedakan dari ilmu-ilmu umum sebagaimana yang sering terdengar itu. Pada saat sekarang ini, kata tafaqquh fiddien seolah-olah berbeda dari tafaqquh fil ‘uluumil ‘aammah. Selain itu, agaknya juga lain pengertiannya jika tafaqquh fiddien itu kita maknai sebagai belajar tentang ajaran yang datang dari Rasulullah, yaitu al-Qurán dan Assunnah..Jika tafaqquh fiddien kita artikan sebagai belajar tentang isi al-Qurán dan hadits Nabi, maka sesungguhnya juga tidak sebatas belajar ilmu tauhid, fiqh, akhlak, tasawwuf, tarekh, dan Bahasa Arab. Juga tidak sebatas belajar dari fakultas Syariáh, Ushuluddin, Dakwab, Adab, dan Tabiyah. Sebab isi atau muatan al-Qurán tidak sebatas itu. Al-Qurán berbicara tentang ilmu pengetahuan, tentang alam, manusia, jagat raya ini seisinya, dan bahkan juga memberikan petunjuk, penjelasan tentang kehidupan yang lebih luas, yaitu di dunia ini hingga akherat.Tafaqquh fiddien dalam makna yang lebih luas, yakni bukan sebatas ilmu-ilmu keislaman yang dimengerti selama ini, yaitu ilmu tauhid, fiqh, akhlak, tasawwuf, tarekh dan Bahasa Arab, mengkaji berbagai disiplin ilmu pengetahuan sebagaimana perintah dalam al-Qurán. Atas dasar itu, maka ilmu-ilmu yang selama ini disebut sebagai ilmu umum bisa dimasukkan dalam kategori tafaqquh fiddien itu. Dengan demikian, umat Islam seharusnya tidak saja merasa berkewajiban mengembangkan ilmu yang dianggap sudah baku, yang disebut sebagai ilmu agama itu, melainkan juga memperluas wilayah bangunan keilmuan itu, sebagaimana al-Qurán dan hadits memberikan tuntunan tentang itu. Misalnya, al-Qurán juga memperintahkan untuk memperhatikan bagaimana unta diciptakan, langit ditinggikan, bumi dihamparkan, gunung ditegakkan, dan seterusnya.Dalam rangka menunaikan perintah al-Qurán, untuk mengkaji jagad raya ini secara terus menerus tanpa henti, dalam wujudnya sebagaimana alam modern seperti ini, umat Islam seharusnya membangun institusi-institusi pendidikan yang tepat melakukan hal itu. Dalam kontek perguruan tinggi, semstinya perguruan tinggi Islam tidak saja mengkaji ilmu-ilmu tarbiyah, ushuluddin, dakwah, syariáh, dan adab, tetapi juga disiplin ilmu lainnya yang lebih luas.Al-Ghazali, seorang ulama besar dari Thus, memang membagi ilmu menjadi dua, yaitu ilmu yang hukum mempelajarinya fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Tetapi sesungguhnya tugas menjalankan fardhu kifayah bisanya juga dilaksanakan oleh orang yang mengerjakan tugas-tugas yang hukumnya fardhu ‘ain. Artinya, tidak bisa orang hanya memilih menjalankan yang fardhu kifayah, sedangkan yang fardhu ‘ain di tinggalkan. Mempelajari al-Qurán adalah fardhu ‘ain, sebab kitab ini merupakan pedoman hidup kaum muslimin. Tetapi selain itu, seseorang juga masih diberi beban untuk menunaikan fardhu kifayah, seperti belajar kedokteran, pertanian, peternakan, ekonomi dan lain-lain. Rasanya tidak cukup seseorang hanya menunaikan fardhu kifayah, yaitu belajar ekonomi, hukum, kedokteran dan sejenisnya, tanpa belajar al-Qurán dan hadits untuk memenuhi kewajiban fardhu ‘ain-nya itu. Wallahu a’lam.
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang