Negara Tanpa Penjara

Ide yang terbaca dalam judul tersebut, mungkin oleh sementara orang dianggap aneh. Mana ada selama ini negara ——-baik yang kuno maupun yang modern, tidak memiliki lembaga yang khusus bertugas merehabilitasi orang-orang yang telah melakukan kesalahan, kenakalan, dholim dan juga kejahatan. Negara-negara di manapun pasti memiliki penjara. Hanya saja, terdapat negara yang penjaranya selalu penuh dan sebaliknya, karena masyarakatnya sudah berhasil menjadi baik semua, maka penjara pun tidak berfungsi lagi. Sementara negara tertentu, karena pemerintah belum berhasil mendidik rakyatnya, dan bahkan juga sebagian pejabatnya, maka penjaranya menjadi penuh sesak. Penjara akhirnya bagaikan pasar, selalu dipenuhi orang. Pertanyaan besar yang tersirat pada judul tulisan ini ialah, apakah mungkin sebuah negara dibangun tanpa dilengkapi dengan penjara, dengan alasan rakyat dan para pejabatnya tidak ada yang perlu dimasukkan ke lembaga itu. Saya akan mengatakan, sangat mungkin. Atau, setidak-tidaknya institusi itu diubah nama dan fungsinya, bukan diberi nama penjara, melainkan misalnya rehabilitasi kepribadian. Mengembangkan logika bahwa orang salah harus segera diadili dan kemudian harus dimasukkan ke penjara, bagi saya adalah merupakan cara berpikir pendek. Logika itu hanya menuntun siapapun untuk mengambil keputusan yang gampang atau mudah. Apalagi, dengan hukuman itu dimaksudkan agar orang jera dan atau tidak akan melakukan kesalahan lagi. Ada pertanyaan sederhana, seberapa banyak kejahatan atau penyimpangan yang seungguhnya bisa dicegah dengan adanya penjara itu. Jangan-jangan yang terjadi adalah justru sebaliknya. Dengan adanya penjara, maka banyak orang menjadi lebih pintar melakukan kejahatan baru. Setelah masuk penjara, orang menjadi frustasi, kecewa, dan dendam, sehingga setelah bebas perilakunya tidak akan menjadi lebih baik. Jika benar demikian yang terjadi, maka konsep penjara yang bertujuan untuk mengurangi kejahatan, terbukti gagal. Sebagai orang yang seumur-umur menggeluti pendidikan, saya lebih percaya bahwa pendidikan akan lebih berhasil digunakan untuk menjadikan warga negara lebih baik daripada institusi penjara. Tetapi pendidikan yang saya maksudkan bukan sebatas persekolahan seperti yang kita lihat sekarang ini. Saya merasakan, persekolahan sekarang ini, dalam banyak aspeknya justru berpotensi mengantarkan lulusannya ke tepi penjara. Sebab yang saya lihat, banyak pendidikan dijalankan sebatas formal, hingga sebatas memenuhi formalitasnya. Hal itu akan sangat membahayakan. Selanjutnya, pendidikan seperti apa yang berhasil melahirkan warga negara yang terjauh dari perbuatan tercela. Jawabnya adalah pendidikan yang mampu mengembangkan pribadi secara utuh, yaitu mendewasakan spiritual, karakter atau akhlak, kecerdasan intelektual, dan juga ketrampilannya. Pendidikan seperti ini memerlukan guru yang benar-benar guru, yakni orang yang berjiwa guru. Seorang yang berjiwa guru adalah orang mampu menunaikan tugas-tugas sebagai guru, misalnya memiliki keikhlasan, integritas, ketauladanan, kesabaran, kejuangan, berilmu yang luas, mencintai ilmu, akhlak, dan juga mencintai para siswanya, serta memiliki ketrampilan yang akan diberikan kepada para muridnya. Saya pernah melihat bekas-bekas sekolah tua di Baghdad, Iraq. Di sekolah itu, disediakan perumahan guru, perpustakaan, tempat belajar, tempat berlatih berbagai hal, termasuk tempat kegiatan spiritual, Bahkan, tempat latihan perang pun disediakan di lembaga pendidikan tersebut. Ketika melihat sekolah tua itu, terbayang pada pikiran saya, bahwa lembaga pendidikan memang seharusnya menjadi semacam tempat bagi siapapun untuk membekali diri menuju kehidupan yang sebenarnya. Melalui lembaga pendidikan itu, maka Baghdad pernah dikenal sebagai kota yang sukses dalam membangun peradaban. Sampai-sampai, Imam al-Ghazali, ulama’ besar yang dikenal di dunia Islam, sekalipun lahir di kota Thus, ia pernah belajar di Baghdad, dan menjadi guru atau ulama di kota itu, dan baru setelah menginjak usia tua kembali ke tempat kelahirannya dan meninggal di sana. Jika sebuah negara mampu membangun lembaga pendidikan yang berkualitas, dalam pengertian yang sebenarnya, maka akan melahirkan warga negara yang terjauh dari penjara. Sebuah negara, di mana penghuni penjaranya semakin banyak, adalah menggambarkan bahwa, pendidikannya belum sempurna dan bahkan terdapat banyak aspek dalam lembaga pendidikannya itu yang perlu diperbaiki. Para siswa yang telah dinyatakan lulus semestinya bukan saja telah berhasil meningkatkan kepintaran atau kecerdasannya, melainkan juga berhasil meningkatkan kualitas spiritual, akhlak, dan sosialnya. Memperhatikan fungsi dan cakupan pendidikan seperti itu, jika di suatu negeri yang warga negaranya banyak melakukan kenakalan atau bahkan kejahatan, maka seyogyanya institusi pendidikannyalah yang harus ditinjau kembali. Sebaliknya, bukan hanya segera memperkokoh lembaga pengadilan dan juga memperluas gedung-gedung penjaranya. Negara dengan tugas melindungi seluruh warganya, tidak boleh mengambil bagian yang dirasakan enak, misalnya jika warganya melakukan kenakalan atau kejahatan, yang dilakukan sebatas memasukan mereka ke penjara. Cara seperti ini memang ringan, praktis, berbiaya murah, tetapi sesungguhnya hal itu tidak terlalu tepat. Pertanyaan penting selanjutnya ialah, bagaimana jika dengan pendidikan yang baik pun masih saja terdapat warga negara yang melakukan kenakalan dan bahkan kejahatan. Orang yang melakukan kenakalan atau kejahatan harus dilihat sebagaimana orang yang sedang sakit. Manusia tersusun atas aspek jasmani dan ruhani. Jika selama ini pemerintah telah berhasil mendirikan rumah sakit untuk menyembuhkan jasmani yang sakit, maka semestinya juga harus membangun institusi untuk menyembuhkan ruhani atau jiwa, hati yang sakit pula. Bentuk dan nama lembaga itu bukan disebut penjara, tetapi diformat dan dinamai dengan istilah yang lebih manusiawi. Sebutan penjara menggambarkan adanya penistaan terhadap pribadi orang yang dihukum. Perlu disadari, bahwa orang yang dihukum pada hakekatnya bukan saja mengakibatkan rasa menderita bagi yang bersangkutan, melainkan juga bagi keluarga besarnya, dan bahkan, —-jika yang bersangkutan seorang pemimpin, juga pengikut atau umatnya. Jika hal ini dipahami secara mendalam, maka penjara akan menyiksa sekian banyak orang, termasuk mereka yang tidak melakukan kenakalan atau kejahatan. Lembaga itu, bisa jadi disebut dengan istilah pusat rehabilitasi, atau istilah lainnya yang lebih tepat. Fungsi lembaga itu sama dengan rumah sakit pada umumnya, dan harus dikesankan sebagai institusii terhormat. Di tempat itu dibuat program-program kegiatan untuk penguatan spiritual—–pendekatan agama, dan jenis agama apapun dilayani sesuaikan dengan kepercayaan para penghuninya. Diharapkan dengan lembaga dimaksud, siapapun yang masuk dan telah dianggap sehat , maka menjadi semakin percaya diri dan juga dipercaya, hingga akhirnya dipandang lebih sehat, baik jasmani maupun ruhaninya. Saya mengemukakan gagasan ini setelah melakukan perenungan yang lama dan mendalam. Seringkali saya mendengar berita bahwa orang yang keluar dari penjara bukan bertambah baik, melainkan tingkat kejahatannya meningkat. Bahkan, tidak sedikit orang masuk penjara berkali-kali atas kesalahan yang sama. Anehnya lagi, tingkat kejahatannya justru meningkat. Selain itu, banyak saya mendapat informasi yang mengerikan. Bahwa di penjara pun ternyata terdapat korupsi——–dari skala kecil berupa pungutan liar, hingga mafia penjualan narkoba. Mendengar berita tersebut, siapapun akan merasa prihatin dan jengkel. Oleh karena itu, sangat perlu dipikirkan bagaimana negara, dalam upaya melindungi dan mensejahterakan seluruh rakyatnya, berhasil merumuskan alternative baru, dalam membangun kehidupan yang lebih baik dan menghargai manusia sebagai makhluk yang mulia dan harus dimuliakan. Jika hal itu yang menjadi cita-cita, maka memenjara orang seharus dihindari, dan bahkan bukan malah dianggap telah berprestasi. Negara semestinya, suatu saat justru merasa tidak memerlukan adanya institusi penjara lagi. Wallahu a’lam

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share