NU dan Muhammadiyah

Hari Sabtu, tanggal 12 Juni 2010, saya menghadiri dua acara yang keduanya mengingatkan memori saya, tentang  hubungan  antara NU dan Muhammadiyah, yang selama ini saya anggap dan rasakan menarik. Pertama, pada acara pengukuhan seorang guru besar di Universitas Muhammadiyah Malang. Saya tahu persis, seorang  yang dikukuhkan sebagai guru besar tersebut dilahirkan dari keluarga NU pedesaan yang sangat kental.

  Demikian juga, yang bersangkutan sampai lulus sarjana, masih tampak ke-NU annya.  Baru tatkala menjadi dosen di lembaga pendidikan Muhammadiyah, ia rupanya berhasil menyesuaikan diri dengan paham keagamaan di tempat kerjanya itu, menjadi Muhammadiyah. Dari apa yang saya lihat itu, setidaknya ada dua hal menarik. Pertama, identitas antara NU dan Muhammadiyah, menjadi sudah  sangat mencair. Hampir-hampir perbedaan itu tidak terasa, atau setidak-tidaknya sudah dianggap tidak perlu dirasakan.   Kedua, keluarga yang hadir dan masih berkultur NU, tidak tampak merasa ada sesuatu yang hilang dengan perubahan saudaranya dari NU menjadi Muhammadiyah itu. Bahkan, dirasakan sebagai kegembiraan dan membanggakan. Demikian pula saya juga melihat, bahwa para pimpinan Muhammadiyah yang hadir pada acara itu, juga tidak mempedulikan asal usul kultur atau paham keagamaan guru besar yang dikukuhkan itu. Mereka tidak mempersoalkan lagi, identitas antara Muhammadiyah dan NU.   Ibu seorang guru besar yang dikukuhkan itu, sekalipun sudah tua, juga dihadirkan. Menyaksikan acara itu,  saya bayangkan dan rasakan sebuah keindahan yang luar biasa. Yaitu, seorang desa, berlatar belakang pendidikan rendah, dan serba sederhana dari berbagai aspeknya, tetapi berhasil mengantarkan putranya menjadi seorang guru besar. Selain itu, Muhammadiyah pun mendapatkan keuntungan yang sangat berarti, yaitu mendapatkan SDM  dari buah amal saleh orang tua dari desa, dan sederhana yang NU itu.   Acara yang kedua,  yang saya hadiri di hari itu juga adalah, kegiatan rapat kerja nasional jamaáh al-Khidmah. Jamaáh al Khidmah dikenal sebagai kumpulan orang-orang yang mempunyai kegiatan berdzikir bersama-sama. Jaringan dan pengikut jamaáh ini ternyata sudah meluas,  hampir di seluruh propinsi di Indonesia. Memang ada jenis kegiatan lain, tetapi  yang menonjol adalah  berdzikir bersama-sama, dengan mengambil tempat berpindah-pindah, sesuai dengan kebutuhan dan kesepakatan pengurusnya.   Lagi-lagi yang menarik, dari jamaáh itu ialah bahwa yang  hadir tidak saja dari kalangan NU tetapi ada juga orang-orang Muhammadiyah. Orang NU hadir di jamaáh dzikir adalah hal biasa. Akan tetapi, ternyata ada pula sementara yang berasal dari Muhammadiyah. Bahkan, yang bertugas membaca doa penutupan acara pembukaan itu, secara ekplisit disebut nama dan lalar belalakang organisasi yang bersangkutan, yaitu pimpinan Muhammadiyah di kota itu.   Bagi saya fenomena itu sangat menarik,  dan selama ini jarang saya temukan. Yaitu, seorang pimpinan Muhammadiyah bertugas membaca doá di  tengah komunitas yang sebagian besar adalah orang-orang NU. Saya menganggapnya sebagai hal yang  aneh,  tetapi saya rasakan indah. Karena itulah mendorong saya bertanya, mengapa pimpinan Muhammadiyah bisa-bisanya ditunjuk untuk membaca doa.   Pertanyaan saya tersebut mendapat jawaban sederhana, tetapi juga aneh. Bahwa pimpinan NU di kota itu bernama Abdurrahman, sedangkan pimpinan Muhammadiyah bernama Abdurrahim. Kata arrahman dan arrahim, selalu diucapkan berurutan, karena itulah maka kedua organisasi tersebut, ———menurut pengakuannya,  harus dekat dan rukun. Saya konfirmasi pada wakil wali kota yang hadir,  ternyata pengakuan itu dibenarkan, dan selama ini di antara mereka memang selalu rukun.  Bagi saya, dan juga saya yakin bagi siapapun, kerukunan memang indah, apapun latar belakang organisasi keagamaan yang dianutnya. Wallahu a’lam.      

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share