Banyak orang, —–sekalipun ada juga yang tidak sepakat, menganggap bahwa tanggal 1 Juni 1945 adalah sebagai hari lahir Pancasila. Presiden Soekarno pada tanggal itu dalam pidatonya menyebut istilah itu, kemudian atas dasar isi pidato itu dijadikan sebagai dasar negara, yang dikenal dengan sebutan Pancasila.
 Apakah hal itu disetujui atau tidak, atau telah ditetapkan secara resmi atau belum, setidak-tidaknya tanggal itu telah banyak orang mengenalnya sebagai hari kelahiran Pancasila. Banyak buku pelajaran yang menyebutkannya demikian. Bahkan, dalam ujian mata pelajaran Pancasila, jika ada pertanyaan tentang tanggal kelahirannya, maka pertanyaan itu akan dijawab, pada tanggal 1 Juni 1945. Jika dijawannya selain  itu, maka dianggap salah dan tidak lulus.  Memang secara akademik, boleh-boleh saja hal itu diperdebatkan tanpa kesudahan. Akan tetapi, bagi masyarakat pada umumnya, perdebatan itu, apalagi di zaman yang sudah sedemikian banyak debat seperti sekarang ini, bisa jadi hal itu  tidak menarik. Kapan persisnya Pancasila itu lahir, tidak dianggap penting. Tetapi bagi bangsa Indonesia, pada saat seperti sekarang ini, pancasila terasa teramat penting.  Memang bagi siapapun,  tatkala merasakan  sesuatu sebagai hal yang  amat penting, —-baik bagi seseorang, dan apalagi bangsa sebesar ini, maka mengetahui dan memperingati hari kelahirannya adalah sebuah kebutuhan. Berangkat dari perasaan dan pandangan seperti itu maka, sesungguhnya sangat diperlukan penetapan atau kesepakatan bersama tentang hari lahir itu. Jika hal itu tidak bisa disepakati, maka untuk memenuhi kebutuhan rasa, jiwa, dan pikiran, maka apa yang ada, semestinya bisa dipegangi. Tokh, pada tanggal 1 Juni 1945, Presiden pertama bangsa ini, Ir.Soekarno,  secara jelas berpidato tentang hal itu.    Bangsa dalam keadaan seperti sekarang ini, sesungguhnya sangat memerlukan sesuatu yang bisa dipegangi bersama. Pancasila yang selama ini dijadikan sebagai dasar negara adalah telah terbukti bisa berhasil memenuhi kebutuan itu. Berdebat tentang kapan lahirnya Pancasila, jelas akan menguras energy yang tidak sedikit.  Pro dan kontra akan selalu terjadi. Padahal, bangsa pada saat sekarang ini sudah terlalu kaya perdebatan dan  perbedaan pendapat.  Pada saat sekarang, bangsa  ini Justru memerlukan jawaban, bagaimana  agar bersatu padu untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang ada di depan mata, yang tidak kecil dan ringan. Menyadari hal itu, bukan berdebat tentang hari lahirnya Pancasila  yang dibutuhkan, melainkan bagaimana menghayati dan mengamalkannya sepenuh hati.   Bangsa yang sedemikian majemuk, baik dari sudut agama, suku, bahasa, tempat tinggal, adat istiadat dan lain sebagainya memerlukan tali pemersatu yang tangguh. Dari sudut agama, bangsa ini sebagian menganut Islam, Kristen, katholik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu. Mereka tentu menganggap dan bahkan berkeyakinan, bahwa dengan agama yang mereka anut, kehidupannya menjadi selamat, baik di dunia maupun di akherat.  Kaum muslimin misalnya, berkeyakinan bahwa hanya dengan Islam sajalah, mereka akan menemukan keselamatan dan kebahagiaan. Begitu pula penganut agama lainnya. Terkait dengan keyakinan keagamaan, siapapun  tidak bisa dipaksa. Jangankan memaksa seseorang agar mengubah keyakinannya, sedangkan sebatas memaksa penganut Islam agar selalu sholat subuh berjamaáh di masjid saja misalnya,  juga tidak mudah. Akibatnya,  tidak sedikit masjid yang pada waktu subuh sepi jamaáh. Kiranya hal itu sama dialami oleh penganut agama lainnya. Pemuka Kristen atau Katholik, misalnya,  tidak mudah memaksa umatnya selalu ke gereja. Demikian pula penganut Hindu,  tidak mudah dipaksa agar selalu ke Pura dan seterusnya.  Melalui Pancasila, dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, agama apapun yang dianut, seluruh warga negara berpegang dan menjalankan agamanya masing-masing. Sekalipun agama mereka berbeda-beda, namun semua merasa hidup dalam satu rumah besar, yaitu yang disebut dengan Negara Kesatuan Republik  Indonesia. Mereka secara bebas memeluk dan menjalankan agamanya masing-masing, tanpa ada gangguan dari dan oleh siapapun.  Demikian pula selanjutnya terhadap sila-sila lainnya dari Pancasila itu. Selama ini probem  mendasar terkait  Pancasila bukan lagi terletak pada upaya membangun kesepakatan tentang dasar negara itu, melainkan pada bagaimana mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Pansacila sudah disepakati sebagai dasar negara, dan bahkan disebut-sebut telah berada pada titik final, sehingga tidak boleh siapapun memperdebatkan lagi.  Problem implementasi itu tidak saja pada pengamalan sila pertama, tetapi juga pada sila-sila lainnya. Tatkala sila kedua menyatakan bahwa, kemanusiaan yang adil dan beradap, maka orang mempertanyakan sejauh mana keadilan itu telah berhasil diwujudkan, sementara  di sana-sini masih disaksikan harga manusia masih terasa sedemikian rendah dan diperlakukan secara tidak jujur dan tidak adil. Mempermainkan harkat dan martabat manusia dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Padahal semestinya, dengan falsafah Pancasila, harkat dan martabat manusia harus dijunjung setinggi-tingginya.  Persatuan yang sedemikian indah terdengar, dan dalam Pancasila disebut sebagai sila yang ketiga, ternyata juga belum diimplementasikan oleh semua secara memadai. Perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Akan tetapi, perbedaan itu justru harus menjadi kekuatan untuk menyatukan, dan bukan dijadikan alasan untuk berpecah dan bercerai berai. Semangat bersatu menjadi sangat penting bagi bangsa yang beraneka ragam dari berbagai sudut dan aspeknya ini. Namun pada kenyataannya, kebersamaan untuk meraih persatuan, kadang masih dikalahkan oleh alasan-alasan teknis dan sepele. Misalnya, hanya alasan  remunerasi atau pemberian penghargaan,  di antara berbagai kementerian, lembaga atau instansi  dibeda-bedakan, sehingga kebijakan itu melahirkan kesenjangan yang seharusnya tidak boleh terjadi.  Sila ke empat dari Pancasila, yang berbunyi kerakyataan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam  permusyawaratan perwakilan,  dalam implementasinya, ternyata tidak semakin mendekat pada konsep idealnya, melainkan justru semakin menjauh. Dalam pemilihan pimpinan daerah, wilayah dan bahkan secara nasional, tidak lagi menggunakan perwakilan, melainkan dilakukan secara langsung. Padahal dengan cara itu, pelaksanaannya selama ini, selain menguras biaya yang sangat mahal, juga selalu menelan korban yang tidak sedikit. Kita saksikan, di berbagai tempat terjadi kerusuhan, konflik, pertikaian yang selalu membawa korban, baik jiwa maupun harta.  Nasip yang sama atau serupa juga terjadi pada  sila kelima, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kita berbicara keadilan, tetapi sehari-hari, kita saksikan justru sebaliknya, yaitu ketidak adanya keadilan. Kesenjangan di berbagai kehidupan, baik eknomi, hukum, pendidikan, sosial dan lain-lain merupakan pemandangan yang tidak lagi melahirkan sensitifitas atau keprihatinan bagi kebanyakan orang,  disebabkan oleh karena hal itu sudah menjadi biasa dan terbiasa. Keadilan justru kadang dianggap aneh, karena tidak terbiasa.  Keadaan seperti itu bukan berarti Pancasila menjadi tidak penting, melainkan justru sebaliknya. Pancasila seharusnya bukan saja dijadikan sebagai jargon, doktrin, slogan, atau apalah namanya, melainkan seharusnya dijadikan sebagai cita-cita, pandangan hidup, dan juga type ideal bagi bangsa ini. Pada tanggal 1 Juni 2010 hari ini, mestinya  diperingati sebagai lahirnya atau sebagai apa, tetapi saya tetap melihat dan berpandangan, harus dijadikan sebagai momentum untuk membangun kulitas bangsa yang semakin unggul dan beradab.  Selain itu, melalui momentum 1 Juni 2010 ini pula semestinya, bangsa ini semakin sadar akan persoalan bersama yang sedemikian pelik dan rumit untuk diselesaikan. Sehingga, apa saja yang mengarah pada perpecahan, merugikan, dan apalagi membahayakan bangsa secara keseluruhan harus segera disudahi. Semangat bersatu, berjuang, dan berkorban untuk meraih cita-cita luhur bangsa ini, melalui peringatan sejarah dikumandangkannya Pancasila,  harus berhasil ditumbuh-kembangkan kembali. Pancasila bukan lagi waktunya diperdebatkan, melainkan harus diamalkan atau diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh semua, tanpa terkecuali. Wallahu a’lam.Â
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang