Menjadikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) Bertaraf Internasional

Seorang teman wartawan menanyakan pada saya, apakah mungkin PTAIN suatu saat menjadi perguruan tinggi  bertaraf internasional. Secara spontan saya katakan, sangat mungkin, dan bahkan seharusnya seperti itu. Sekarang ini saja sesungguhnya,  sebagiannya sudah cukup maju. Bahkan akhir-akhir ini ada fenomena yang sangat menarik, perkembangan PTAIN sedemikian cepat, sehingga beberapa di antaranya  berhasil melebihi sebagian perguruan tinggi pada umumnya.

  Selanjutnya saya katakan, bila perkembangan itu konsisten, dan  tidak ada hal yang mengganggu, maka untuk menjadi PTAIN klas dunia yang dimaksudkan itu tidak sulit. Apalagi yang dimaksudkan PTAI klas dunia itu sebatas dibandingkan dengan perguruan tinggi di negara-negara Islam, seperti di Mesir, Sudan, Yaman, Saudi Arabia, Iran,  dan lainnya. Saya pernah mengunjungi beberapa perguruan tinggi di negara-negara tersebut, ternyata beberapa PTAIN di Indonesia, secara jujur dan obyektif, tidak kalah maju.   Memang,  kalau dibandingkan dengan perguruan tinggi di negara-negara  maju, PTAIN masih kalah, bahkan juga kalah dibanding dengan beberapa perguruan tinggi umum di Indonesia sendiri,  semisal UI, ITB, UGM dan yang setara dengan itu. Sekalipun begitu, saya masih optimis, suatu saat jika ada kesadaran yang tinggi, perubahan cara berpikir, perencanaan, langkah-langkah strategis, dan dukungan yang kuat, PTAIN akan meraih keunggulan.   Untuk meraih keunggulan itu, memang harus ada kekuatan pembangkit. Kekuatan yang saya maksudkan itu adalah bersumber dari diri dalam sendiri, yaitu kesadaran yang mampu mengubah cara berpikir,  berperilaku,  dan bekerja. Kesadaran mengubah jiwanya sendiri, yaitu menjadi jiwa maju, unggul, dan menang. Selama ini, saya merasakan bahwa di kalangan perguruan tinggi Islam masih belum memiliki kekayaan itu.  Saya selama ini merasakan, di kalangan sementara perguruan tinggi Islam, baru  berhasil menumbuhkan kesadaran  bereksistensi, yaitu bahwa yang penting ada, tetapi belum sampai pada tingkat ada, sekaligus maju, dan unggul.   Kesadaran eksistensi ini perlu ditumbuh-kembangkan menjadi kesadaran meraih kemajuan, keunggulan, dan kemenangan itu. Tatkala kesadaran itu telah terbangun, dan kemudian diikuti oleh perubahan cara berpikir, berperilaku, dan bekerja, maka kemajuan itu akan cepat  diraih. Oleh karena itu, menurut hemat saya, tantangan terbesar PTAIN  agar menjadi perguruan tinggi kelas internasional, justru bersumber dari internal sendiri. Kalau harus menyebut hambatan, maka hambatan yang dominan justru datang dari dalam diri PTAIN itu sendiri.   Persis sama dan sejalan  dengan hal tersebut, saya teringat beberapa ayat al Qurán yang turun pada fase kedua, yaitu pada surat al Muddassir. Pada surat itu disebut kata yang amat tepat, yaitu yaa ayyuhal muddassir, atau hai  orang-orang yang sedang berselimut. Ayat itu segera dilanjutkan  dengan perintah untuk bangkit, dengan kata yang tegas, yaitu bangkitlah dan berikanlah  peringatan. Ayat ini jika direnungkan secara mendalam, sekalipun diturunkan sejak 14 abad yang lalu, ternyata masih relevan dengan zaman sekarang. Pada setiap waktu dan tempat, ada saja orang yang berselimut, artinya membelenggukan dirinya sendiri, hingga tidak maju dan tidak meraih keunggulan.   Manakala PTAIN mampu melepaskan belenggunya sendiri, yaitu mengubah  cara berpikir, berperilaku, dan bekerja, maka tidak lama akan mengalami kemajuan. Namun sebaliknya, kapan saja dan di mana saja, jika tidak mau mengubah kesadaran itu, dan masih tetap menggunakan cara berpikir, berperilaku, dan bekerja sebagaimana yang selama ini dilakukan, maka tidak akan mengalami kemajuan.   Saya juga selalu ditanya tentang nasib bidang ilmu yang dikembangkan selama ini, yaitu apakah akan tetap dipertahankan setelah misalnya,  PTAIN membuka program studi baru yang bersifat umum atau bahkan berubah menjadi universitas. Atas pertanyaan itu saya selalu menjawab dengan jawaban yang sederhana, bahwa semestinya perguruan tinggi  tidak hanya sebatas mempertahankan sesuatu yang oleh masyarakat sendiri sudah tidak diperlukan.  Perguruan tinggi harus selalu memposisikan diri sebagai  pusat pembaharu, inovasi, dan modernisasi. Bidang ilmu apapun, sepanjang masih diminati oleh masyarakatnya, maka tidak perlu dipertahankan akan tetap bertahan sendiri, dan begitu juga sebaliknya.   Bagi saya, mempertahankan bidang ilmu yang sudah sulit dipertahankan melalui cara menjualnya dengan harga murah, dan apalagi dengan memberi insentif bagi peminatnya,  maka tidak akan membawa hasil yang semestinya. Sebaliknya, cara itu justru akan melahirkan suasana batin yang tidak menyenangkan, seperti menyesal, kecewa, frustasi, dan bahkan juga  suasana saling menyalahkan. Menurut hemat saya, sikap dan langkah yang seharusnya dibangun adalah memberikan penjelasan secukupnya, dan kemudian mempersilahkan bagi siapapun untuk mensikapi. Dengan cara itu,  umpama program studi itu tidak ada peminat, maka  tidak perlu diratapi, dan dirasakan sebagai kekecewaan yang mendalam.   Saya selalu berpandangan bahwa PTAIN tidak boleh mandeg atau berhenti. Berhenti bagi saya, sama artinya dengan sakit atau bahkan mati. PTAIN tidak boleh mengalami hal itu. Maka, ke depan penambahan dan bahkan perubahan harus disikapi sebagai sebuah keniscayaan. STAIN atau IAIN yang mau berubah  menjadi UIN, justru harus dicarikan jalannya agar niat itu tercapai. Hanya saja, tidak boleh sebatas menambah dan berubah. Perubahan itu harus didasari oleh kesadaran, dan ditindak-lanjuti dengan perubahan cara berpikir, berperilaku, dan bekerja lebih keras.   Islam dengan mengacu pada sumbernya, yaitu al Qurán dan hadits Nabi, memberikan ruang, wilayah, atau cakupan yang amat luas, yaitu seluas kehidupan ini. Islam meliputi aspek-aspek yang terkait dengan intelektual, sosial, karakter  atau akhlak, ritual, dan bahkan profesional. Sementara ini kajian Islam di mana-mana,  masih lebih banyak terkonsentrasi pada aspek ritualnya. Hal itu bisa kita lihat misalnya, pelajaran tentang Islam di sekolah-sekolah/madrasah baru sebatas terkait dengan fiqh, aqidah, akhlak, tasawwuf, dan tarekh. Demikian pula pembidangan ilmu di kampus-kampus PTAIN juga masih tidak jauh dari itu.   Cara pandang seperti itu, ——jika dikehendaki PTAIN menjadi kelas dunia, maka harus ada keberanian mengubahnya. PTAIN harus berani mengubah dirinya sendiri. Perubahan itu harus dimaknai sebagai wujud dari perintah kitab suci,  al Qurán dan hadits Nabi. Sumber ajaran Islam itu, justru mendorong agar umat Islam menjadi yang terbaik, yaitu dengan memiliki ilmu yang luas, iman, dan amal saleh. Semangat dan kesadaran seperti itulah sesungguhnya yang akan menjadi daya dorong gerak dan bekal bagi PTAIN menjadi perguruan tinggi terbaik yang kemudian disebut sebagai berada pada tingkat dunia itu. Wallahu a’lam.   

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share