Banyak orang merasakan bahwa ada kesenjangan antara isi ajaran Islam dengan perilaku kehidupan kaum muslimin sehari-hari. Al Qurán dan hadits nabi dipahami sedemikian indah, merupakan petunjuk dan penjelas terhadap kehidupan ini secara sempurna. Orang menyadari bahwa umpama al Qurán dan hadits nabi dijalankan dalam kehidupan sehari-hari, maka kehidupan ini akan terasa sedemikian indah.
Terbayangkan  bahwa umpama al Qurán dan hadits nabi dijalankan oleh ummat Islam,  maka setidak-tidaknya hubungan  antar sesama akan menjadi sedemikian baik. Orang akan saling taáruf, saling memahami, menghargai, menyayangi, dan saling bekerjasama. Antara si miskin dengan si kaya menjadi dekat dan demikian pula antara yang kecil dengan yang besar, antara yang berilmu dan mereka yang tidak memiliki ilmu, dan seterusnya. Islam adalah agama yang saling mendekatkan di antara sebagaimana disebutkan itu.  Pada setiap saat orang akan ketemu di masjid atau mushalla pada setiap waktu shalat. Mereka bertemu dalam kebersamaan menunaikan kewajiban shalat berjamaáh,   setidaknya lima kali pada setiap hari semalam. Dengan begitu mereka menjadi saling mengenal dan mendekat. Melalui ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad,  masyarakat benar-benar menjadi sebuah kehidupan yang damai. Islam menjadi identik dengan kedamaian itu sendiri.  Namun gambaran itu belum sepenuhnya terwujud dan terasakan. Nuansa  Islam baru tampak dan terasa sebagian, terbatsa pada hal-hal tertentu.  Maka kemudian sementara orang mencari cara, bagaimana mewujudkan Islam dalam kehidupan sehari-hari agar menjadi semakin sempurna. Juga muncul pertanyaan, apa sebenarnya yang salah, sehingga seolah-olah terjadi jarak antara ajaran Islam yang sedemikian indah dengan gambaran ummat Islam yang tampak sehari-hari.  Sebagai upaya menjawab persoalan itu, maka orang mengajak kembali kepada ajaran al Qurán dan hadits Nabi, tidak terkecuali  dalam pendidikan. Sebagai implementasinya, sejak dini anak-anak diperkenalkan dengan al Qurán. Anak-anak sejak awal sudah ditunjukkan dan didekatkan dengan kitab suci. Mencintai kitab suci ditanamkan sejak anak-anak usia dini.  Kegiatan semacam itu, saya pernah melihat, dilakukan secara massal di antaranya di Teheran, Iran. Di kota itu tidak kurang dari 300 lembaga pendidikan,  mengajari anak-anak untuk menghafal al Qurán. Masing-masing lembaga pendidikan tersebut  memiliki ratusan siswa. Sebagai hasilnya, anak-anak sejak usia dini sudah berhasil menghafal al Qurán. Dan menurut informasi, anak-anak yang menghafal kitab suci itu ternyata lebih cerdas dan lebih unggul  tatkala mempelajari ilmu lainnya. Saya juga pernah melihat lembaga pendidikan serupa di Riyad. Anak-anak usia dini diperkenalkan dengan al Qurán. Dan lebih menarik lagi, tatkala mengenalkan lingkungan, seperti tumbuh-tumbuhan, hewan dan juga tentang manusia dari berbagai aspeknya,  dimulai dari ayat-ayat al Quirán.  Melalui cara ini, menurut para guru yang mengajar, maka tertanam pada diri anak-anak bahwa kitab suci al Qurán  menjadi petunjuk bagi kehidupan yang sebenarnya.  Selama ini pada umumnya yang tampak, terutama di sekolah-sekolah,  bahwa dalam mempelajri Islam dimulai dari belajar fiqh, tauhid, akhlak, tarekh dan bahasa Arab.  Kitab-kitab tentang itu semua yang dipelajari oleh para siswa. Oleh karena itu maka hasilnya, para siswa mengenal Islam dari perspektif itu. Pendekatan seperti itu rupanya juga  berpengaruh terhadap cara berpikir mereka, yakni Islam dilihat dari cara pandang fiqh, tauhid, akhlak,  sebagaimana yang sehari-hari diajarkannya.  Pendekatan  seperti itu tentu tidak ada yang keliru. Akan tetapi, Islam yang mengajarkan tentang kehidupan secara utuh dan luas,  seringkali menjadi tidak tertangkap seluruhnya. Islam mengajarkan agar ummatnya mengali ilmu pengetahuan seluas-luasnya, menjadikan pribadi unggul, membangun tatanan sosial yang adil, memperdalam  spiritual dan juga beramal shaleh, maka ternyata belum berhasil ditangkap dan dikembangkan secara keseluruhan.  Cara memahami Islam dengan pendekatan langsung pada kitab suci  sebagaimana contoh tersebut di muka diharapkan bisa menjawab atas persoalan terjadinya  kesenjangan antara Islam yang sedemikian ideal dengan kenyataan dalam kehidupan sehari-hari.  Pendekatan baru tentang pendidikan Islam tersebut, sebenarnya adalah merupakan  upaya   keluar dari kesenjangan, ——antara Islam ideal dengan kenyataan dalam kehidupan sehari-hari,  untuk mendapatkan hasil yang terbaik.  Dalam pikiran banyak orang, bahwa Islam mestinya mampu mengantarkan ummatnya menjadi lebih unggul dalam berbagai aspek, baik dalam ilmu pengetahuan, ekonomi, sosial, politik dan lainnya. Namun pada kenyataannya, umat Islam masih banyak mengalami ketertinggalan. Hal itu dipandang sebagai salah satu sebabnya adalah  pendekatan pendidikan yang dijalankan selama ini masih perlu disempurnakan.  Maka, upaya mendekatkan anak-anak sejak usia dini pada al Qurán, adalah  sebagai upaya mencari cara yang terbaik. Wallahu a’lam.  Â
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang