Penghafal Al Qurán di Perguruan Tinggi Umum

Adanya pondok pesantren tahfidz adalah hal biasa dan  ada di mana-mana. Demikian pula,  kyai  hafal al Qur’an 30 juz sudah banyak jumlahnya. Akan tetapi, ternyata akhir-akhir ini,  kegiatan hafalan al Qur’an juga terjadi di perguruan tinggi umum. Terdengar agak aneh, tetapi tradisi itu sudah mulai tumbuh dan berkembang di beberapa kampus.

 Dalam suatu pertemuan para rektor perguruan tinggi negeri umum, saya diajak bicara oleh beberapa pimpinannya,  terkait dengan hafalan al Qur’an.  Pembicaraan itu tentu sangat menarik. Para rektor mengakui bahwa sebenarnya pendidikan karakter harus dimulai dari kitab suci itu. Mereka juga berpendapat bahwa siapapun yang selalu dekat dengan al Qur’an, —–yang didasari oleh niat yang baik, maka akan berhasil menjaga kepribadian dan akhlaknya.  Salah seorang rektor PTN,  dalam pembicaraan itu,  menjelaskan bahwa mulai  tahun 2011, ia berhasil merekrut tidak kurang dari 20 calon mahasiswa yang hafal al Qur’an secara sempurna, 30 juz.  Setelah program itu diumumkan, bahwa kampusnya akan memberikan beasiswa kepada para  penghafal al Qur’an, banyak kedatangan pendaftar. Akan tetapi,  Rektor PTN tersebut hanya mengambil dari mereka yang telah hafal secara sempurna, 30 juz. Para penghafal al Qur’an yang diterima di perguruan tinggi tersebut diberi kebebasan untuk mengambil jurusan apa saja yang diminati, dan sesuai dengan kemampuannya. Idialisme rektor tersebut adalah, agar suatu ketika, melalui kampusnya lahir ilmuwan atau saintis yang juga memahami al Qur’an. Ia berkeyakinan bahwa, kebenaran akan diperoleh secara sempurna, manakala  pendekatan ilmiahnya disempurnakan dengan merujuk  pada  kitab suci dan tradisi pribadi kehidupan Rasulullah.  Memang,  niat  untuk menghargai para  penghafal al Qur’an  baru dimulai pada tahun ini. Akan tetapi, ia telah memberikan gambaran yang cukup jelas,  tentang apa yang dikehendaki di masa depan. Dua puluh orang mahasiswa penghafal al Qur’an yang telah direkrut pada  tahun ini, diharapkan menjadi bibit atau kekuatan pengembangan selanjutnya. Bahkan,  rektor ini juga membayangkan, manakala setiap tahun berhasil merekrut sejumlah itu, ——setidak-tidaknya 20 orang, maka ke depan kampusnya benar-benar akan menjadi perguruan tinggi yang bernuansa al Qur’an.  Pada kesempatan itu, saya memberi apresiasi yang tinggi dengan mengatakan bahwa,  kampus yang memuliakan al Qur’an  akan penuh berkah, menjadi dekat dengan para ulama, dan lebih dari itu, namanya akan benar-benar masuk pada relung-relung hati sanubari masyarakat. Saya mengatakan begitu, ——karena saya tahu, bahwa masyarakat di mana kampus itu berada,  terkenal sangat agamis. Hal menarik lagi, bahwa gagasan rektor untuk menghargai  penghafal al Qur’an, ternyata juga mendapatkan apresiasi positif  dari banyak pimpinan perguruan tinggi negeri lainnya. Memperhatikan fenomena tersebut, maka ingatan  saya tertuju  pada salah satu potongan ayat al Qur’an yang menyatakan bahwa,  semua yang diciptakan Allah tidak ada yang sia-sia. Rabbana ma kholaqta hadza bathila. Kedaan negeri yang sudah sekian lama  dianggap memprihatinkan, karena  banyaknya korupsi, suap, mafia, konflik yang tidak henti-hentinya, ——-sekalipun tidak kita sukai, ternyata masih ada manfaatnya. Setidak-tidaknya, atas berbagai persoalan yang memprihatinkan itu, menjadikan sementara orang mencari jawab, yaitu dengan mendekat pada al Qur’an.  Saya membayangkan,  jika gejala tersebut berlanjut, maka justru kebangkitan Islam akan muncul dari kampus-kampus, tidak saja kampus yang beridentitas Islam, tetapi dari kampus manapun, tidak terkecuali dari kampus yang dikelola oleh pemerintah atau PTN. Selain itu, penghafal al Qur’an tidak saja berasal dari pondok pesantren, —-sebagaimana yang dikenal selama ini, melainkan juga dari orang-orang perguruan tinggi. Wallahu a’lam.     

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share