Para Pendidik Akhlak Mulia

  Pendidikan sebagai sebuah proses penanaman nilai-nilai, tidak terkecuali adalah  pendidikan akhlak mulia, terdapat pihak-pihak yang berpengaruh secara signifikan. Mereka itu adalah para pemimpin di berbagai levelnya.  Terdapat  sebuah pepatah yang  mengatakan bahwa,  watak, perilaku, karakter atau akhlak sebuah masyarakat tergantung pada para pemimpinnya. Keadaan masyarakat pada hakekatnya adalah cermin dari  siapa  yang memimpinnya.

   Dalam level  kecil, —–yaitu keluarga, ada  pepatah  Jawa mengatakan bahwa,  kacang panjang tidak pernah meninggalkan lanjarannya. Serupa dengan pepatah  itu,  juga terdapat pepatah lain yang mengatakan bahwa,  daun tidak pernah jatuh dari pohonnya.  Maka artinya bahwa.   sedemikian kuat pengaruh pimpinan keluarga terhadap watak, perilaku,  karakter, atau akhlak terhadap orang-orang yang berada di bawah asuhannya.    Dalam lingkup yang lebih luas, pengaruh itu adalah datang dari para pemimpin, baik pemimpin formal maupun pemimpin non formal.  Para pemimpin formal yang dimaksudkan itu, mulai dari lingkup yang terkecil hingga yang tertinggi, yaitu kepala desa, camat, bupati, gubernur, menteri hingga presidennya sekalian. Sebagai pemimpin non formal adalah para pimpinan organisasi politik atau sosial, pemuka agama, dan lain-lain. Mereka itu semua sebenarnya adalah para guru pendidikan karakter atau akhlak mulia.    Para pemimpin, ——-sebagai orang timur,  tidak saja dianggap sebagai orang yang berwenang dan atau berkewajiban menyelesaikan persoalan-persoalan yang terkait dengan organisasi atau pemerintahan, melainkan perilakunya   dijadikan sebagai acuan atau refenrence person oleh masyarakat yang dipimpinnya. Lebih-lebih hal itu adalah masyarakat yang bersifat paternalistik, maka pemimpin selalu dijadikan kebanggaan dan sekaligus ditiru tentang  segala perilaku dan wataknya.  Oleh karena itu ketika akhir-akhir ini  mulai terjadi fenomena yang dirasakan menggelisahkan terkait dengan  watak dan atau karakter bangsa,  bahkan  disebut sudah semakin memprihatinkan, maka sebenarnya, adalah bersumber  dari para elitenya sendiri. Membanjirnya informasi yang sehari-hari  terjadi  seperti,   suap menyuap, korupsi, kolusi, nepotisme, berbagai jenis  mafia, penggunaan obat terlarang, konflik yang tidak pernah berhenti,  dan seterusnya,  yang dilakukan oleh para pemimpin di berbagai level, adalah merupakan kekuatan perusak moral, karakter, dan akhlak masyarakat.    Selain itu, mungkin sebagian banyak  orang tidak menyadari bahwa hingar bingar politik dengan dalih pelaksanaan demokrasi, tetapi dilakukan secara transaksional, ——jual beli suara dan seterusnya,  sebenarnya adalah sangat membahayakan terhadap  perilaku, watak, karakter dan akhlak mulia yang seharusnya dibangun.  Mobilitas vertikal para pemimpin yang  diwarnai oleh transaksi-transaksi tersebut  akan menurunkan wibawa atau harkat martabat dari para pemimpin yang seharusnya dibangun secara kokoh.    Pemimpin yang tidak memiliki kewibawaan, akan berpengaruh  terhadap rendahnya watak atau akhlak masyarakat yang dipimpinnya. Sekalipun misalnya saja, pemimpin itu memiliki pengetahuan dan mungkin bisa menjalankan kepemimpinannya secara profesional, namun jika mereka tidak ditopang oleh karakter, atau akhlak yang mulia, maka kelebihan yang dimiliki,  tidak akan banyak memberikan makna yang sebenarnya.    Oleh karena itu maka sebenarnya, tatkala suatu bangsa akan memperbaiki watak, karakter atau akhlak, maka dalam tataran yang lebih makro, harus dimulai dari para pemimpinnya. Wujud dari pendidikan karakter adalah memperbaiki karakter pemimpinnya itu sendiri. Apapun yang dilakukan di lembaga pendidikan, namun jika para pemimpinnya masih selalu berorientasi pada perebutan kekuasaan, fasilitas, uang dan seterusnya,  maka usaha itu tidak akan berdampak apa-apa.     Karakter atau akhlak suatu  bangsa tergantung kepada para pemimpinnya. Jika karakter atau akhlak para pemimpinnya terbangun secara baik, maka masyarakatnya akan mengikutinya,  dan begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu  guru dan pendidik karakter atau akhlak mulia pada hakeketnya adalah para pemimpinnya itu sendiri. Wallahu a’lam.

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share