Perubahan STAIN Menjadi UIN

Perubahan STAIN  menjadi UIN Malang, dan  terakhir disempurnakan menjadi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang ternyata tidak henti-hentinya memunculkan  pertanyaan, di antaranya mengapa lembaga itu berubah, dan bagaimana perubahan itu terjadi. Pertanyaan itu wajar muncul, karena selama ini hanya STAIN Malang satu-satunya yang melakukan perubahan dari  sekolah tinggi  menjadi universitas. Sedangkan UIN lainnya, seperti UIN Jakarta, UIN Yogyakarta, UIN Makassar, UIN Bandung dan UIN Riau  sebelumnya adalah berbentuk IAIN.

  Kejadian itu sekalipun sesungguhnya wajar-wajar saja, namun sementara orang menganggap aneh. Sebagai sekolah tinggi, apalagi berstatus negeri, biasanya perubahan itu tidak mudah dilakukan. Bagi orang yang terbiasa berpikir linier  dan birokratis, akan menganggap bahwa  perubahan itu, mestinya tidak langsung dari bentuk sekolah tinggi menjadi universitas, melainkan harus melalui bentuk institute terlebih dahulu. Perubahan itu mestinya diawali dari sekolah tinggi ke institute,  kemudian baru menjadi universitas. Inilah yang saya katakan sebagai cara berpikir linier, yang biasanya memerlukan waktu lama.       Kebiasaan  berpikir linier seperti itu, maka perubahan STAIN menjadi UIN Malang dianggap benar-benar aneh. Oleh karena itu dianggap wajar jika hanya akan terjadi hanya satu-satunya di negeri ini. Lebih terasa sulit lagi dibayangkan, karena  inspirasi perubahan itu datang dari bawah. Umpama saja inspirasi itu dari atas, misalnya dari kementerian agama sendiri, sedangkan pihak daerah atau STAIN Malang tinggal melaksanakan, maka masih mungkin dilakukan dengan mudah.   Anggapan betapa sulitnya melakukan perubahan itu memang nyata terjadi. Kesulitan itu hampir dalam semua aspeknya, mulai dari  harus mempertanggung-jawabkan reasoning perubahan itu, mencari aturan yang mendasari, mensosialisasikan ide perubahan itu baik di kalangan internal sendiri maupun birokrasi pemerintah yang terkait, pembiayaan yang harus disiapkan, dan bahkan juga berbagai persyaratan administrative  yang harus dipenuhi untuk melakukan perubahan itu. Kesulitan lainnya, oleh karena perubahan itu terjadi masih pertama kali, maka  banyak orang menanggapi secara negative atau skeptis.   Namun akhirnya,  dari hasil kerja keras dan tentu atas pertolongan dari Yang Maha Kuasa, ternyata perubahan itu benar-benar terjadi, STAIN Malang telah berubah menjadi universitas Islam Negeri Malang. Atas dasar kenyataan itu, sekalipun perubahan itu terjadi sudah enam tahun yang lalu,  pertanyaan terkait dengan itu, tidak henti-hentinya muncul, terutama datang dari kalangan IAIN atau STAIN lainnya. Dan lebih mengejutkan lagi,  perubahan dari sekolah tinggi menjadi universitas itu ternyata membawa perubahan yang signifikan menyangkut  berbagai aspeknya, baik fisik, akademik, dan lainnya.          Untuk menjawab berbagai pertanyaan tersebut, disamping juga  memberikan pemahaman yang cukup terhadap warga  kampus sendiri, maka beberapa hari ke depan, insya Allah saya akan menulis tentang perubahan itu, mulai dari filosofis perubahan itu hingga berbagai hal teknisnya. Saya berharap dengan gambaran itu, akan menjadi motivasi bagi siapapun untuk melanjutkan perubahan itu hingga suatu saat nanti sampai pada bentuk yang lebih sempurna. Selain itu saya juga berharap agar tulisan ini menjadi inspirasi bagi IAIN dan STAIN lainnya jika mau melakukan hal yang sama.   Perubahan itu selalu dimulai dari ide, mimpi-mimpi, imajinasi yang tumbuh secara terus menerus. Idea, mimpi-mimpi, dan imajinasi tersebut tumbuh dari hasil penglihatan dan juga diskusi-diskusi dengan banyak orang dalam waktu yang panjang. Lewat proses seperti itu, disengaja atau tidak., ditemukan sebuah gambaran ideal tentang perguruan tinggi agama Islam yang seharusnya dikembangkan. Saya melihat bahwa, sejarah pertumbuhan pendidikan Islam berjalan cukup panjang, sambung- menyambung tidak pernah putus. Sejarah panjang itu menunjukkan adanya kontinuitas yang semakin lama semakin sempurna, sesuai dengan tuntutan zamannya.   Saya membayangkan, bahwa pendidikan diawali dalam bentuk yang amat sederhana, yaitu berupa padepokan yang dipimpin oleh sang resi. Selanjutnya, dengan perubahan waktu dan pengaruh yang semakin  luas, maka munculah pesantren yang dirintis dan diasuh oleh para kyai. Pesantren pun berubah menjadi madrasah, dan kemudian disusul dengan lahirnya perguruan tinggi Islam. Perubahan itu, kiranya tidak akan berhenti, susul menyusul, semakin lama semakin lebih sempurna,  sesuai dengan tuntutan zaman itu.   Sejak lama, sebelum mendapatkan amanah memimpin STAIN Malang, saya memiliki pandangan bahwa Islam adalah sebuah konsep kehidupan yang sedemikian sempurna. Ajaran Islam yang saya tangkap berisi tuntunan hidup, penjelasan tentang jagad raya, pembeda antara yang benar dan salah atau haq dan bathil, ternyata belum mewujud dalam kenyataan yang sebenarnya. Saya selalu merasa gelisah, ajaran hidup yang sedemikian indah dan luas, ternyata umumnya baru ditangkap dari aspek yang terbatas, yaitu sebatas aspek-aspek yang terkait dengan ritual.   Menangkap Islam dari aspek seperti itu, saya akui juga tidak salah, tetapi saya rasakan belum sempurna. Islam seharusnya ditangkap mulai dari pesan-pesan pengembangan intelektualnya, ritualnya, sosialnya, konsep kepribadiannya, maupun profesionalnya, sehingga semakin lama menjadi semakin sempurna. Melalui perenungan yang lama, saya berani menyimpulkan bahwa jika di mana-mana orang mengeluh, mengapa umat  Islam tertinggal dari umat lainnya, di antara salah satu sebabnya adalah karena umat Islam menangkap dan mengimplementasikan ajaran Islam belum secara sempurna. Islamic studies baru dilakukan dari perspektif  terbatas, yaitu dari aspek teologisnya, hukum, pendidikan, dakwah, serta bahasa dan sastra.   Atas dasar pandangan itu, maka yang muncul,  secara kelembagaan di perguruan tinggi Islam adalah fakultas ushuluddin, fakultas tarbiyah, fakultas syariáh, fakultas dakwah dan fakultas adab. Demikian pula yang disebut sebagai pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah hanya meliputi pelajaran tauhid, fiqh, akhlak dan tasawwuf, sejarah dan Bahasa Arab. Mata pelajaran selain itu, dianggap bukan wilayah kajian Islam. Selain itu seseorang baru disebut sebagai guru agama Islam jika mereka mengajarkan tauhid, fiqh, akhlak tasawwuf, tarekh dan Bahasa Arab itu pula. Hasil pemikiran seperti itu, tentu tidak salah, tetapi menurut hemat saya kurang sempurna, karena al Qurán dan juga hadits nabi, jika dikaji secara seksama, ternyata  memuat informasi atau ajaran yang lebih luas dari itu.   Kegelisahan-kegelisahan-kegelisahan dalam waktu yang amat panjang seperti itulah, saya kemudian berpikir untuk mencari bentuk perguruan tinggi yang tepat,  dalam arti bisa mewadahi seluruh aspek ajaran Islam yang sedemikian luas itu. Saya selalu berpikir, jika perguruan tinggi Islam hanya sebatas berbentuk sekolah tinggi, dan hanya mengembangkan ilmu yang jumlah dan wilayahnya terbatas itu, justru dikhawatirkan akan memberikan kesan atau pandangan, bahwa Islam hanya menyangkut wilayah yang terbatas itu. Saya khawatir, dengan lembaga yang berbentuk kecil dan sempit itu, orang akan mengira bahwa Islam hanya menyentuh urusan-urusan yang terkait dengan kegiatan ritual belaka, seperti tentang masjid, sholat, puasa, haji, nikah, kelahiran, dan kematian.   Maka selanjutnya, saya berpikir bahwa cara yang paling tepat untuk memberikan gambaran Islam secara utuh dan luas itu,  tidak ada jalan lain kecuali, mengubah sekolah tinggi menjadi universitas. Melalui bentuk universitas, maka  Islam akan menjadi tampak luas, universal dan sempurna. Ajaran Islam, yaitu al Qurán dan hadits akan dijadikan sebagai sumber ilmu pengetahuan yang semestinya. Pikiran-pikiran seperti itulah, di antaranya yang mendorong untuk mengubah kelembagaan dari sekolah tinggi menjadi universitas.   Usaha-usaha tersebut hingga kini, tentu belum berhasil sepenuhnya. Penyempurnaannya masih memerlukan waktu, pikiran, energy, dan dukungan lainnya yang tidak akan terhitung jumlahnya. Tetapi saya yakin, pandangan ini  akan selalu disempurnakan oleh generasi ke generasi hingga suatu saat akan dihasilkan bentuk atau bangunan yang lebih sempurna. Wallahu a’lam.

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share