Seorang teman, entah serius atau tidak, menanyakan tentang siapa sesungguhnya yang disebut sebagai manusia unggul. Kata unggul biasanya digunakan untuk menyebut sesuatu yang memiliki kelebihan dari lainnya. Sehingga seseorang disebut unggul, jika yang bersangkutan memiliki kelebihan. Kelebihan dimaksud, tentu yang bersifat positif, atau tentang kebaikan. Jika kelebihan itu terkait dengan kejelekan, maka tidak pernah disebut unggul.
Saya menyebut bahwa salah satu ciri orang yang memiliki keunggulan adalah bisa dipercaya atau jujur. Sifat itu saya sebut sebagai keunggulan, karena tidak mudah mencari orang jujur, apalagi di zaman sekarang ini. Sekarang ini banyak orang sehari-hari melakukan kebohongan. Sekalipun berbohong dianggap buruk, tapi aneh pelakunya disebut pintar. Sebaliknya, orang jujur disebut lugu. Padahal orang lugu dianggap identik dengan budaya desa. Dan kadang sebutan lugu, juga diartikan bodoh. Rasanya menjadi aneh. Mestinya, lugu dan jujur adalah hal mulia. Pada saat sekarang ini betapa sulitnya mencari orang jujur. Yaitu orang yang selalu konsisten antara apa yang diomongkan dengan apa yang dilakukan. Dulu, orang biasa berbohong tatkala sedang ada di pasar, toko, atau di tempat orang-orang bertransaksi. Biasanya orang yang ingin mendapatkan untung dalam berdagang, maka selalu menggunakan senjata, yaitu berupa kepintarannya dalam berbohong. Akan tetapi, sekarang ini, di mana-mana orang terbiasa berbohong. Bahkan anak sekolah pun, juga terbiasa berbohong, termasuk tatkala mengerjakan soal-soal ujian. Ujian nasional yang diikuti oleh semua siswa, terpaksa harus disediakan pengawas dalam jumlah besar, hingga memerlukan biaya mahal. Bahkan sekalipun sudah diawasi, di beberapa tempat masih terjadi penyimpangan, sehingga akibatnya, hasil ujian tidak dipercaya sepenuhnya. Tidak jujur di sekolah sudah dianggap biasa. Mereka yang tidak jujur, tidak saja para siswa, melainkan juga para guru dan bahkan juga kepala sekolah. Hal aneh, tatkala dilaksanakan ujian nasional, sementara para guru, memberikan kunci jawaban kepada para siswanya. Kecurangan itu dilakukan, karena hasil ujian siswa dianggap sebagai prestasi dan sekaligus prestise para guru. Kelulusan siswa adalah indikasi keberhasilan guru dan kepala sekolah. Maka, guru terpaksa berbuat tidak jujur, membentuk tiem sukses dan di antara tugasnya, memberikan kunci jawaban pada murid yang sedang ujian. Bisa dibayangkan, jika di tempat-tempat yang seharusnya kejujuran dipelihara3dan dijunjung tinggi, masih terjadi keadaan seperti itu, maka apalagi di tempat-tempat lain. Oleh karena itu tidak perlu heran jika di mana-mana ditemukan pejabat tidak jujur, pegawai tidak jujur, buruh tidak jujur, pedagang tidak jujur, petani tidak jujur, dan akhirnya semua tidak jujur. Akibatnya, masyarakat menjadi saling tidak percaya, dan apa saja menjadi sulit dan mahal. Agar tidak rugi atau boros, semua usaha harus disediakan pengawas, penjaga, atau auditor yang semua harus dibayar. Sebagai akibat tidak jujur, maka banyak orang mengalami kerugian dan bahkan celaka. Untuk mengatasinya, maka polisi, pengawas, jaksa, hakim, dan bahkan penjara dan petugas-petugasnya dilipatgandakan jumlahnya. Namun ternyata, kebohongan masih saja terjadi di mana-mana, bahkan orang yang bertugas menjaga kejujuran pun belum tentu jujur. Kita lihat akhir-akhir ini, akibat banyak pejabat tidak jujur, ——–melakukan korupsi, maka sehari-hari muncul berita adanya orang ditangkap, diadili, dan dimasukkan ke penjara. Namun jangan dikira, selain pejabat mereka selalu jujur. Tidak demikian. Banyak orang melakukan ketidak jujuran di mana-mana, di tempatnya masing-masing. Petani, pedagang, nelayan, pegawai, buruh, semuanya bisa tidak jujur. Demikian pula di rumah tangga, suami, isteri, anak-anak, nenek, kakek, semua berpeluang menjadi tidak jujur. Akhirnya terasa bahwa jarang sekali ditemukan orang jujur. Jujur menjadi sesuatu yang mahal dan amat berat dilakukan. Rupanya, ada suasana psikologis bahwa tidak jujur sebagai sesuatu kebutuhan, karena dirasakan nikmat. Orang menjadi puas dan bangga tatkala bisa berbohong terhadap orang lan. Berhasil berbohong, seolah-olah sebagai prestasi, pertanda beruntung dan hebat. Orang menjadi bangga tatkala berhasil membohongi orang yang dianggap lebih pintar dan berposisi lebih tinggi. Maka, berbohong sebagai sebuah kebutuhan psikologis. Padahal dalam kehidupan sehari-hari, baik secara pribadi atau bermasyarakat, berbohong adalah sangat berbahaya. Orang yang sudah dikenal suka berbohong atau tidak dapat dipercaya, akan kehilangan segala-galanya. Kehilangan kepercayaan sebenarnya lebih berbahaya daripada sekedar kehilangan harta benda. Seseorang tidak perlu merasa terlalu susah, hanya karena kehilangan uang, baju, rumah, kendaraan atau lainnya, asalkan tidak kehilangan kepercayaan dari orang lain. Orang yang sedang kehilangan harta benda tidak terlalu celaka, asalkan masih dipercaya orang. Sebaliknya, sekalipun harta kekayaannya masih utuh, sementara sudah tidak dipercaya oleh orang, maka ia akan kehilangan segala-galanya. Orang yang telah kehilangan kepercayaan, maka sama artinya dengan telah kehilangan segala-galanya. Orang yang sedang kehilangan kepercayaan, maka hubungannya dengan orang lain menjadi terganggu, dan bahkan harga diri atau prestisenya akan ikut-ikutan hilang. Orang yang kehilangan kepercayaan, sama halnya dengan telah kehilangan semuanya. Sedemikian penting kepercayaan bagi seseorang, ——apalagi bagi seorang pemimpin, maka Muhammad saw., sebelum diangkat sebagai rasul, sudah dikaruniai oleh Allah swt., sifat mulia, yaitu jujur atau tidak pernah berbohong. Semua orang mengakui atas kejujuran Muhammad saw., sampai-sampai para musuh atau orang yang membencinya sekalipun. Apa saja, jika hal itu datang dari Muhammad, maka siapapun akan mengatakan benar, sekalipun mereka tidak mengikutinya. Karena kejujurannya itu, maka Muhammad saw., diberi sebutan al amien, yang artinya adalah seorang yang terpercaya. Masih terkait dengan pentingnya kejujuran, dalam suatu riwayat, datanglah seseorang menghadap kepada Nabi. Ia meminta agar ditunjuki sesuatu ajaran, yang jika diamalkan, maka sama artinya telah masuk dan menjalani Islam. Pertanyaan tersebut dijawab oleh Nabi dengan singkat, bahwa jangan berbohong. Mendengar jawaban nabi itu, pada awalnya mengira mudah dijalankan, sehingga akan melaksanakan sebaik-baiknya. Akan tetapi ternyata, jawaban itu tidak mudah dijalankan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam praktek, jujur tidak gampang dilakukan. Selain itu, membuat orang jujur ternyata juga tidak mudah. Menjadikan orang pintar adalah sulit, tetapi tidak sesulit menjadikan orang memiliki sifat jujur. Banyak lembaga pendidikan yang menghasilkan orang pintar dan atau cerdas, tetapi ternyata belum ada, yang berani mengklaim, bahwa lulusannya selalu jujur. Banyak orang berpendidikan tinggi, pejabat, tokoh, pemimpin masyarakat, ternyata belum berhasil menjaga kejujurannya. Jujur ternyata berat dilakukan. Karena itu, tidak banyak orang yang berhasil melaksanakannya. Maka jujur, sebenarnya adalah sebagai ciri manusia unggul. Wallahu a’lam.
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang