Pada tanggal 30 Oktober 2009, saya bersama Pak Mudji Rahardjo, Wakil Rektor I UIN Maliki Malang diundang untuk hadir ke Institut Agama Hindu Dharma Negeri Bali. Semestinya bersamaan itu pula juga diundang Dirjen Bimbingan Masyarakat Hindu, tetapi karena harus menghadiri undangan Menko Kesra, beliau hanya bisa datang pada malam sebelumnya, bersama-sama dalam acara ramah tamah yang diselengarakan oleh Pimpinan IHDN. Dalam undangan itu, ada dua acara penting yang diagendakan, yaitu penyerahan sertifikat tenaga dosen untuk para dosen IHDN Bali dan kedua adalah memberikan kuliah umum di hadapan para dosen. Sebagaimana di perguruan tinggi pada umumnya, para dosen IHDN Bali juga harus mengikuti sertifikasi dosen. Pemberian sertifikasi dosen tersebut harus dilakukan oleh lembaga pendidikan tinggi lain yang telah memiliki kewenangan. IHDN Bali atas arahan Dirjennya menyerahkan proses sertifikasi itu kepada UIN Maulana Malik Ibraim Malang. Segera setelah selesai kegiatan itu, saya bermaksud untuk menyerahkan sertifikat tersebut secara resmi kepada Dirjen Pembinaan Masyarakat Hindu dan selanjutnya agar diteruskan ke Rektor. Rencana itu disetujui dan dilaksanakan di kampus IHDN Bali. Bersamaan dengan penyerahan secara resmi sertifikat itu, saya diminta untuk memberikan kuliah umum di hadapan para pimpinan dan dosen. Dalam kunjungan itu, saya bersama Pak Mudji Rahardjo diterima oleh Rektor bersama jajaran pimpinan yang lain. Sejak mendarat di Bandara Udara Ngurah Rai Bali, terasa sekali suasana akrab dan kekeluargaan yang ditunjukkan oleh keluarga IHDN Bali. Petugas yang diserahi menjemput rupanya sudah memahami bahwa tamunya berasal dari kultur atau penganut agama yang berbeda. Tetapi perbedaan itu justru menjadikannya lebih hati-hati. Perlakuan istimewa itu terasa sekali. Sekalipun pada awalnya saya lihat penjemput itu adalah staf kampus, ternyata juga disusul kemudian oleh Rektor IHDN Bali bersama Kepala Subdit Pendidikan Tinggi Agama Hindu Departemen Agama dari Jakarta. Saya kemudian diantar ke penginapan, dan setelah istirahat sebentar diajak untuk menghadiri jamuan makan malam bersama Dirjen dan staf pimpinan IHDN. Momentum bertemu dalam jamuan makan malam itu dibicarakan antara lain tentang kemungkinan kerjasama antara dua perguruan tinggi yang sama-sama berada di bawah pembinaan Departemen Agama ini. Selanjutnya, pagi pada tanggal 30 Oktober 2009 saya dibawa ke Bangli yaitu ke kampus IHDN Bali yang baru saja diresmikan oleh Menteri Agama, Muhammad Maftuh Basyuni. Rupanya sama dengan perguruan tinggi lain yang berlokasi di kota yang padat penduduk, selalu saja pengembangannya diarahkan ke lokasi yang masih memungkinkan perluasan. Pengembangan IHDN Bali diarahkan ke kota Bangli, kira-kira perjalanan kurang lebih satu jam dari kampus lama di Denpasar. Acara kuliah umum diikuti oleh seluruh pimpinan dan dosen IHDN Bali . Dalam kuliah umum itu saya sampaikan tentang peran perguruan tinggi berbasis agama dalam pembangunan bangsa. Saya menyampaikan gagasan bahwa seharusnya perguruan tinggi agama terbuka untuk mengembangkan berbagai disiplin ilmu yang memberi manfaat nyata bagi pengembangan masyarakat. Terkait dengan itu, perguruan tinggi yang berbasis agama seharusnya tidak saja memberikan bekal ilmu yang terkait dengan pendalaman spiritual, melainnya seharusnya juga memberikan bekal keilmuan yang lebih luas dan komprehensif. Dunia modern yang akan datang membutuhkan sarjana yang memiliki bekal atau kemampuan yang lebih sempurna, baik yang terkait dengan spiritualitas, intelektualitas, maupun profesionalitasnya. Selanjutnya, saya menyampaikan bahwa membekali kemampuan para mahasiswa secara lebih utuh itu, justru akan lebih mudah dilakukan oleh perguruan tinggi yang berbasis agama. Saya juga katakana bahwa jika perguruan tinggi berbasis agama hanya berkutat pada upaya pengembangan ritual dan spiritual, maka ke depan tidak akan berkembang menjadi lebih besar. Sebab, kehidupan ke depan siapapun akan dituntut untuk memenuhi kebutuhan dalam berbagai ranah yang lebih sempurna dan utuh itu, yaitu ranah spiritual, itelektual, dan sekaligus juga profesionalitasnya. Untuk membangun konsep pendidikan yang utuh seperti itu diperlukan kerjasama dari berbagai perguruan tinggi termasuk mereka yang memiliki basis agama yang berbeda. Saya dalam kesempatan itu juga menyampaikan bahwa bangsa Indonesia yang berpenduduk plural seperti ini, menuntut adanya keterbukaan, saling menyapa, dan bahkan juga bekerjasama, tidak terkecuali oleh perguruan tinggi yang berbasis agama yang berbeda. Jika keterbukaan dan saling kerjasama ini bisa diwujudkan maka peluang terjadinya salah paham, kecurigaan, dan bahkan konflik antar agama bisa diminimalisasi hingga pada kadar yang sekecil-kecilnya. Sebaliknya, yang terjadi adalah saling memahami, menghargai, dan saling bekerjasama sepanjang masih berada pada batas-batas yang memungkinkan untuk dilakukan. Jika hal itu benar-benar bisa dilakukan, maka keberadaan perguruan tinggi agama akan memberikan sumbangan besar bagi terwujudnya kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara secara damai dan sejahtera. Wallahu a’lam.
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektorย Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Leave a Reply