Seharusnya Perguruan Tinggi Negeri Diproyeksikan Mampu Mandiri

Beban pemerintah semaki8n lama tampaknya semakin berat. Dengan mengandalkan sumber-sumber keuangan negara dari pajak, hasil tambang, dan lainnya yang jumlahnya tidak mudah ditingkatkan, maka ke depan beban itu akan semakin berat. Seharusnya mulai dipikirkan beban itu suatu saat menjadi berkurang. Sementara ini, PTN sebagai lembaga pendidikan tinggi yang seharusnya bisa mandiri, malah justru dibatasi ruang geraknya hingga menjadi sangat tergantung dari pemerintah.

Selama ini PTN, tidak terkecuali PTAIN, pada setiap tahun sebagian besar anggarannya menggantungkan pada APBN. Besarnya dana yang diterimakan pada setiap tergantung dari kebijakan pemerintah pusat. Sedangkan sumbangan masyarakat melalui SPP, jumlahnya amat kecil. Pemerintah juga membatasi besarnya sumbangan itu, sebagai upaya untuk melindungi masyarakat, khususnya bagi mereka yang kurang mampu. Besarnya biaya yang diterima oleh masing-masing PTAIN dari pemerintah lewat APBN tersebut tidak pernah lebih. Bahkan yang terjadi adalah sebaliknya. Usulan yang diajukan oleh masing-masing PTAIN, yang diharapkan berhasil dipenuhi, selalu saja hanya sebagian yang dikabulkan. Menghadapi kenyataan seperti itu, pimpinan PTAIN harus menyesuaikan program-program kegiatannya dengan anggaran yang diterima itu. Dengan anggaran yang terbatas itu, biasanya program-program baru yang bersifat kreatif dan inovatif menjadi tidak bisa dijalankan. Dengan manajemen PTAIN seperti itu, maka tugas pimpinan hanya menjalankan program, menyesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Sebagaimana artikel yang saya tulis pada hari kemarin,(25/07/2011) kreatifitas pimpinan PTAIN hampir-hampir tidak mungkin tumbuh dan dilaksanakan, oleh karena aturan dan juga anggaran yang disediakan sangat terbatas itu. Manajemen seperti itu, menjadikan ukuran kehebatan seseorang sebagai pimpinan PTAIN adalah tatkala mereka berhasil menjalankan programn-program sesuai dengan anggaran yang telah disediakan itu. Pada awal memimpin kampus ini, sejak berupa sekolah tinggi, —–STAIN Malang, saya berusaha mencari dan melaksanakan terobosan-terobosan untuk mencukupi kebutuhan kampus. Saya bersama pimpinan lainnya melakukan rekayasa dan mencari peluang-peluang untuk mendapatkan tambahan dana. Secara kelembagaan, saya usulkan agar bentuk semula sekolah tinggi diubah menjadi universitas. Untuk menutupi kekurangan pendanaan yang diberikan oleh pemerintah pusat, saya mencoba mencari sumbangan ke berbagai sumber, dan ternyata berhasil. Saya masih ingat, bahwa pada awal pertumbuhan STAIN Malang, sekedar fasilitas kantor, berupa meja kursi, almari kantor, dan lain-lain, sekalipun sudah tersedia, keadaannya terbatas dan sudah sangat memprihatikan. Fasilitas tersebut dibeli sudah puluhan tahun yang lalu. Kebetulan ketika sedang berpikir , mencari jalan keluar untuk memenuhi kebutuhan fasilitas tersebut, ada bank swasta yang berhenti beroperasi, atau bangkrut. Fasilitas kantornya dijual, maka beberapa di antaranya saya beli. Untuk mendapatkan dananya, saya bersama pimpinan lainnya, berusaha mencari sumbangan dari orang-orang yang bersimpatik pada pengembangan STAIN Malang. Dari hasil pembelian barang bekas itu, kebutuhan mebeler kampus tercukupi. Usaha bersama untuk mengubah status kelembagaan, sekalipun harus lewat waktu panjang dan proses yang berliku-liku, ——- tanpa mengenal lelah, akhirnya berhasil, STAIN Malang mendapatkan persetujuan dari pemerintah berubah menjadi universitas, yaitu UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Lagi-lagi biaya untuk mengurus proses perubahan itu, harus mencari dari berbagai sumber yang memungkinkan. Kemana saja usaha itu ditempuh, termasuk usaha patungan, yang penting halal. Demikian pula beberapa fasilitas kampus, seperti bangunan ma’had putra, rumah tempat tinggal para pengasuh, masjid, gedung koperasi, beberapa kendaraan dinas, dan lain-lain diperoleh dari usaha sendiri, tanpa harus menunggu-nunggu dari pemerintah. Akhir-akhir ini, usaha-usaha sebagaimana dikemukakan tersebut, ternyata semakin dibatasi. Padahal sebagaimana yang berjalan selama ini, pemerintah sendiri belum mampu mencukupi kebutuhan yang diperlukan. Bahkan anehnya lagi, upaya-upaya mendapatkan tambahan bantuan dari luar, justru dipersulit dan kalau berhasil mendapatkannya, juga tidak mendapatkan apreasiasi positif dari pemerintah. Satu contoh kecil, tatkala ada orang membantu pembangunan masjid kampus, —–sementara pemerintah tidak menyediakan dananya, justru dipersalahkan dengan alasan tidak membayar pajak pembangunan. Lebih terasa aneh lagi, ketika dana bantuan tersebut belum cair, maka untuk mengatasinya sementara menggunakan dana kampus, ternyata kebijakan itu dipersalahkan dan harus segera dikembalikan. Padahal fasilitas berupa masjid itu adalah untuk kepentingan kampus sendiri. Cerita sederhana tersebut perlu dikemukakan untuk menggambarkan betapa ruang kreatifitas pimpinan perguruan tinggi ditutup rapat-rapat. Berkreasi dianggap salah, sekalipun menguntungkan bagi negara dan juga lembaga pendidikan tinggi yang bersangkutan. Saya merasakan, bahwa ukuran keberhasilan para birokrat, termasuk Pimpinan PTAIN ternyata hanya tatkala berhasil menjalankan tugas-tugas yang digariskan dari atas. Oleh sebab itu, tatkala masyarakat menuntut upaya-upaya perbaikan secara cepat, lebih kreatif, inovasi dan lain-lain, ternyata memang tidak bisa dilayani dengan segera. Lembaga pemerintah menjadi tidak dinamis dan lambat. Atas dasar kenyataan itu, jika ada beberapa pihak menghendaki kemajuan secara cepat, maka sama tidak aklan mungkin bisa dilaksanakan, karena harus menunggu DIPA pada tahun berikutnya. Padahal sebenarnya, jika peluang kreatifitas itu dibuka lebar-lebar, pimpinan PTAIN akan memaksimalkan tanggung jawab untuk mengembangkan kampus. Berbekalkan tanggung jawab, kepercayaan, dan kreatifitasnya itu, mereka akan berusaha keras, sehingga tidak mustahil suatu ketika, kebutuhan kampus bisa dipenuhi secara mendari oleh PTAIN yang bersangkutan. Kalaupun masih memerlukan dana bantuan dari pemerintah, bersifat terbatas, diprioritaskan pada kebutuhan dasar, seperti gaji dosen dan karyawan. Usaha pengembangan dana secara mandiri oleh PTAIN, sebenarnya sangat mungkin dilakukan. Sebagai bukti, tidak sedikit PTS di negeri ini tumbuh dan berkembang. Sebagaimana statusnya sebagai milik pemerintah, PTN cukup diberi pinjaman modal dan target-target yang harus dipenuhi oleh pimpinannya. Pinjaman modal itu misalnya, harus dikembalikan dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan target yang dimaksudkan itu misalnya, Pimpinan PTAIN harus berhasil memberikan beasiswa bagi minimal 50 % dari seluruh mahasiswanya. Selain itu, pada jangka waktu tertentu, kampus harus benar-benar mandiri. Siapapun boleh menjadi pimpinan PTAIN asalkan sanggup mewujudkan target-target yang telah ditentukan itu. Pemerintah cukup mengontrol dan mengevaluasi perkembangan kampus dimaksud. Sebagai catatan, agar masyarakat tidak dirugikan, sebagai PTN atau PTAIN, mereka tidak boleh memungut sumbangan dari mahasiswa di luar batas yang ditentukan oleh pemerintah. Dengan cara dan strategi itu, Pimpinan PTAIN akan tertantang. Keberhasilannya bukan sebatas tatkala anggarannya meningkat oleh karena pintar melakukan lobby, tetapi oleh karena kemampuannya menggali dana dari berbagai cara yang mungkin dilakukan. Pimpinan PTAIN dianggap sukses manakala berhasil melakukan perubahan-perubahan penting dan mendasar terhadap kampusnya, dan bukan sekedar mampu menjalankan program-program yang digariskan oleh pemerintah pusat. Jika demikian, maka PTN atau PTAIN ke depan akan maju dan sekaligus mandiri, hingga berhasil menjadi kebanggaan bangsa yang sebenarnya. Dengan demikian, pimpinan perguruan tinggi negeri —–PTN dan PTAIN, tidak saja bisa mendorong mahasiswanya menjadi entrepreneur, melainkan dirinya sendiri juga telah memberikan contoh yang nyata. Wallahu a’lam.  

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share