Selama tiga hari, dari tanggal 13 sampai 15 Maret 2011,  waktu saya gunakan untuk memenuhi  undangan  STAIN Kerinci, Jambi. Saya diundang sebagai pembicara dalam seminar yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi agama Islam tersebut. Sekalipun jauh, saya merasa harus hadir,  karena sudah  sekian lama saya diharapkan hadir di kota kecil di kaki gunung tertinggi di Sumatera, Kerinci.
 Semula saya tidak membayangkan bahwa  untuk sampai ke kota Kerinci, dari Malang  harus menghabiskan waktu lama, hingga pulang pergi  plus  kegiatan seminar  perlu waktu tiga hari. Untuk sampai di kota itu, ada dua alternatif jalan yang bisa ditempuh. Alternatif pertama lewat Jambi lalu disambung dengan kendaraan darat, —–menurut informasi, memerlukan waktu antara 10 sampai 12 jam.   Sedangkan alternative kedua, melalui Padang. Saya memilih lewat Padang, Sumatera Barat,  dengan pertimbangan lebih dekat, yakni bisa diktempuh selama antara 7 sampai 8 jam.  Untuk menghadiri seminar tersebut,  selama dua malam berturut-turut,  saya harus berada di kendaraan darat melewati jalan panjang yang   berkelok-kelok,  daerah pegunungan. Kira-kira,  kiri kanan sepanjang jalan yang saya lewati itu sangat indah, tetapi tidak ada yang saya nikmati, oleh karena perjalanan itu di malam hari. Saya sesekali hanya diberitahu oleh mereka yang menjemput, bahwa di sebelah jalan terdapat  danau, dan sebentar kemudian  di katakan sedang berada di kawasan hutan kayu manis, dan selanjutnya kebun teh dan seterusnya.  Saya menikmati perjalanan itu, sekalipun akhirnya menjadi sangat capek. Yang terbayang dalam pikiran saya, bahwa  di daerah yang sedemikian jauh dari kota besar, ternyata terdapat orang-orang yang gigih  berjuang untuk mengembangkan  sebuah perguruan tinggi agama Islam. Dari  perjalanan itu, saya  merasakan sedemikian enak dan mudahnya mengurus perguruan tinggi yang ada di kota-kota besar, karena  tidak perlu membuang waktu sedemikian lama di perjalanan setiap saat. Saya diundang oleh STAIN Kerinci untuk memberikan pandangan  tentang pendidikan Islam dan juga tentang zakat. Dua hal itu dibicarakan, ——–menurut panitia,  dianggap sama-sama penting dan mendesak untuk dikembangkan di Kerinci. Seminar itu dihadiri tidak saja oleh warga kampus, tetapi juga pejabat pemerintah daerah, tokoh masyarakat, ulama, para guru,  dan lain-lain. Dengan banyaknya peserta yang hadir dan mereka itu berasal dari kalangan yang berbeda-beda itu, maka   saya  justru mendapatkan banyak informasi  yang sebelumnya tidak saya ketahui.         Ketika berbicara tentang pendidikan Islam, sebagaimana telah saya sampaikan di mana-mana, saya memandang bahwa makna pendidikan Islam  selama ini tereduksi menjadi sangat sempit. Pendidikan Islam hanya dimaknai sebagai upaya untuk mengenalkan cara-cara yang terkait dengan ritual  kepada peserta didik. Maka yang diajarkan adalah tentang bagaimana bersuci, shalat, zakat, puasa, dan haji. Selain itu, adalah tentang fiqih hingga yang dibahas  di sekitar  haram, makruh, mubah, sunnah, dan wajib.  Dengan lingkup pembicaraan seperti itu, maka akhirnya melahirkan  kesan,  bahwa  seolah-olah Islam hanya terbatas pada persoalkan-persoalan ritual. Padahal Islam adalah ajaran yang memiliki lingkup yang sedemikian luas, yaitu seluas kehidupan itu sendiri. Islam membicarakan tentang ilmu pengetahuan, bagaimana membangun manusia unggul dan atau berkualitas tinggi, memberikan  konsep bangunan masyarakat yang ideal dengan mengedepankan keadilan dan akhlak mulia, tuntunan tentang ritual yang harus dijalankan, dan konsep bekerja secara professional atau amal shaleh. Melalui seminar ini, saya menyampaikan pandangan tentang  Islam seharusnya dilihat dalam perspektif yang luas dan utuh itu.  Jika pandangan tersebut diterima, maka pendidikan Islam tidak saja menyangkut fiqh, tauhid, akhlak, tasawwuf, tarekh dan bahasa Arab sebagaimana yang selama ini dipersepsi, melainkan tentang kehidupan secara luas dan menyeluruh. Demikian pula keilmuan dalam Islam tidak saja meliputi syariáh, ushuluddin, tarbiyah, dakwah dan adab, melainkan meliputi lingkup  yang luas,  utuh, dan holistik sebagaimana yang diajarkan dalam al Qurán dan hadits nabi.  Sedangkan tentang zakat, saya hanya menyoroti dari aspek pelaksanaannya. Problem yang terkait dengan   zakat selama ini,  bukan terletak dari aspek pemahamannya, melainkan pada implementasinya. Banyak orang yang sudah mengerti dan masuk wajib zakat, tetapi masih enggan melaksanakannya. Untuk mengatasi problem itu, maka tidak cukup hanya memberikan penjelasan tentang hukum zakat, melainkan harus ada ketauladanan dari para tokoh atau kalangan  elitenya.  Jika selama ini zakat belum berjalan sebagaimana mestinya,  maka hal itu disebabkan  oleh karena kurang ada ketauladanan dari pimpinannya. Masyarakat selalu mencerminkan dari  pimpinannya. Jika masyaratnya hebat, maka sesungguhnya kehebatan itu berawal dari pimpinannya. Para pemimpinlah yang sebenarnya membentuk masyarakat. Oleh karena itu manakala para pimpinan masyarakat peduli pada zakat, maka pengelolaan zakat di masyarakat tersebut  akan berkembang dengan baik, dan begitu juga sebaliknya.  Oleh karena itu, melalui seminar tersebut saya mengajak, agar dalam  mengembangkan zakat,  harus dimulai dari para pimpinan, tokoh dan ulama’nya. Kegiatan para elite itu cepat atau lambat akan diikuti oleh masyarakat pada umumnya. Bahwa sebenarnya, masyarakat di mana saja  selalu mengikuti apa saja yang dianggap baik dan dijalankan oleh para elitenya.  Oleh sebab itu,    membudayakan  zakat, seharusnya dimulai dari  para pemimpinnya.  Akhirnya, sekalipun harus meluangkan waktu lama dan perjalanan yang sedemikian jauh, tetapi dari kegiatan itu saya mendapatkan kegembiraan. Saya merasa terhibur melihat   para pimpinan dan dosen perguruan tinggi ini, ———sekalipun berada di kota kecil, memiliki cita-cita dan semangat yang tinggi untuk  mengembangkan pendidikan Islam. Saya yakin  bahwa ke depan, perguruan tinggi seperti ini, akan menjadi kekuatan  untuk pengembangan masyarakat di daerahnya. Lebih-lebih, jika dikelola secara baik, maka tidak menutup kemungkinan, justru akan menang dalam bersaing, bahkan dengan perguran tinggi yang ada di kota besar sekalipun. Wallahu a’lam.
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang