Salah satu kebiasaan yang selama ini saya lakukan adalah selalu memanfaatkan peluang untuk belajar di mana, dari mana, dan kapan saja. Sepulang dari Jakarta, di Bandara Soekarno Hatta, kebetulan saya ketemu seorang pengusaha, yang sudah lama saya kenal, tetapi juga sudah sekian lama tidak ketemu. Semula saya lupa dengan orang tersebut, tetapi ternyata dia justru ingat saya. Setelah dia menyapa, dengan menanyakan kesehatan, keadaan anak-anak saya, dan mengapresiasi terhadap kemajuan kampus yang saya pimpin, kemudian saya pun juga ganti bertanya tentang hal yang sama, dan usaha-usahanya yang selama ini dia jalankan. Ternyata dia senang sekali dengan pertanyaan saya itu. Dengan pertanyaan itu, seolah-olah dia berpeluang menunjukkan kepada saya tentang prestasi usahanya itu selama ini. Dia menceritakan bahwa pada saat ini, usahanya yang dulu dimulai dari kecil dan bahkan hanya ikut-ikutan bekerja pada orang lain, ternyata berhasil dikembangkan. Dia saat ini sudah membuka cabang di hampir seluruh kota besar di Jawa. Usahanya di bidang penjualan komputer dan berbagai kelengkapannya, peralatan lab, dan sarana belajar lainnya, ternyata mengalami kemajuan pesat. Tidak kurang dari 300 orang karyawan, ia pekerjakan di seluruh cabang kantornya itu. Setelah dia menceritakan tentang lika-liku dan juga keberhasilan usahanya itu, saya mencoba menanyakan berapa keuntungan bersih, setiap bulan dari usahanya itu. Secara garis besar, rata-rata pendapatan bersih, setiap bulan, sekitar satu milyard rupiah, bahkan pada bulan-bulan tertentu, yang keadaan lagi ramai, lebih dari itu. Atas jawaban itu hampir-hampir saya tidak bisa membayangkan, seorang pengusaha yang dulu usahanya sangat sederhana, kini telah berpenghasilan sebesar itu. Membayangkan saja bagi saya cukup berat, apalagi setelah saya bandingkan dengan gaji PNS yang saya terima setiap bulannya. Setelah saya berkomentar tentang besarnya penghasilan itu, dia mengatakan belum seberapa bila dibanding dengan penghasilan seorang temannya, yang setiap harinya selalu beruntung rata-rata 200 juta. Usaha temannya itu juga tidak kelihatan besar, setiap hari hanya mengumpulkan kacang dari para petani, kemudian menyetorkannya ke pabrik. Hanya saja, wilayah usahanya itu cukup luas, yaitu hampir meliputi seluruh Jawa. Dengan ketemu teman lama itu, saya tidak mau kehilangan kesempatan untuk belajar dari orang ini. Saya tanyakan kunci-kunci keberhasilannya. Dia menceritakan bahwa dulu, tatkala mengawali bekerja yang hanya sebatas berstatus ikut orang, dengan gaji yang sangat kecil, yang hampir-hampir untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari saja tidak mencukupi, memang terasa berat. Tetapi dia berusaha bertahan, dengan niat belajar bekerja. Sambil bekerja, dia berusaha memahami bagaimana seluk beluk usaha, mulai dari memilih jenis usaha, mengembangkan modal, memilih tenaga kerja, belajar berkomunikasi dengan orang, pemasaran, berinvestasi, dan seterusnya. Setelah sekian lama belajar lewat bekerja, dengan ikut-ikutan orang itu, dia kemudian mencoba membuka usaha sendiri. Berbekal pengalaman yang diperoleh dari ikut orang, dia menjadi tahu, bahwa bekerja harus bermodal ulet, sabar, tahan uji, tidak boleh malu, harus selalu menghargai orang lain, betapa pentingnya pelanggan sehingga harus dipelihara, bagaimana menahan marah tatkala menghadapi sesuatu yang tidak menyenangkan, dan yang lebih penting dari itu semua adalah bagaimana memiliki jiwa bekerja. Pengetahuan, kata dia, secara gampang bisa didapat, tetapi yang lebih sulit dari itu adalah membangun jiwa kerja ini. Terkait dengan pentingnya jiwa pekerja, dia mengevaluasi pendidikan yang selama ini dia lihat. Pendidikan hanya berusaha membekali anak didik dengan pengetahuan dan ketrampilan, tetapi belum berhasil membangun mental atau jiwa bekerja. Orang yang sudah memiliki mental atau jiwa kerja, maka bekerja baginya akan menjadi kesenangan. Orang terjun di bidang usaha, seperti dia sendiri lakukan misalnya, harus menjiwai sebagai seorang pengusaha, demikian pula seorang pedagang harus memiliki jiwa pedagang, seorang petani harus memiliki jiwa petani, dan juga sebagai seorang guru harus memiliki jiwa guru dan seterusnya. Orang yang telah memiliki jiwa pengusaha, sebagaimana ia contohkan dari dirinya sendiri, tidak akan merasa kebingungan dalam membuka usaha. Peluang-peluang usaha,—– menurutnya, selalu tersedia dan terbentang luas. Dalam pembicaraan itu, akhirnya dia membuat kesimpulan bahwa jika pada saat ini banyak orang tidak bisa mengembangkan usaha, sesungguhnya bukan disebabkan keterbatasan peluang usaha, melainkan tidak banyak orang yang bermental pengusaha. Selama ini katanya, lembaga pendidikan hanya melahirkan orang bermental penganggur, atau setinggi-tingginya bermental buruh, bekerja untuk orang lain. Di akhir perbincangan itu, ——–karena sudah ada panggilan masuk pesawat menuju ke Surabaya, saya segera menanyakan untuk apa penghasilannya sebesar itu, yakni kurang lebih satu milyard setiap bulannya. Dia menjawab dengan ringan, untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan sebagian lainnya untuk beribadah, membantu orang yang membutuhkan, misalnya membangun musholla, masjid, madrasah, atau pendidikan lainnya. Selain itu, bersama keluarga, setiap tahunnya dia selalu umrah. Dia juga pesan, agar mahasiswa muslim mau membangun jiwa pekerja atau entrepreneur yang kokoh, agar ke depan umat Islam semakin kuat. Wallahu a’lam.
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang