Antara uang dan jabatan politik, akhir-akhir ini sudah tampak menyatu. Keduanya  ternyata sudah tidak bisa dipisahkan. Tidak pernah terdengar, ada  jabatan politik diperoleh secara gratis. Siapapun yang akan menjadi bupati,  wali kota, gubernur, anggota DPR atau DPRD,  selalu menggunakan uang. Setidak-tidaknya, uang tersebut digunakan biaya kampanye,  dan bahkan tidak sedikit untuk  apa yang disebut dengan istilah money politic.
 Padahal perkawinan antara  uang dan jabatan politik selalu akan melahirkan anak, yang  disebut dengan korupsi. Logika ini sangat mudah dipahami. Orang yang telah mengeluarkan uang banyak , apalagi setelah itu berkuasa, maka akan menggunakan kekuasaannya, —– dengan berbagai cara, untuk mengembalikan uang yang telah dikeluarkan sebelumnya itu.  Oleh karena itu terasa  menjadi aneh, pemerintah sedemikian gencar memberantas korupsi, tetapi belum terdengar usaha serius mencegah penggunaan politik uang. Bahkan banyak komentar yang mengatakan bahwa gejala itu adalah wajar, di mana-mana terjadi. Mereka mengatakan bahwa gejala itu wajar sebagai resiko berdemokrasi. Jika statemen itu dibenarkan, maka alangkah buruknya sebenarnya system demokrasi itu. Orang,  dengan demikian, akan menyebut  bahwa demokrasi yang dicita-citakan,  sebenarnya hanya akan melahirkan masyarakat korup.  Untuk mengatasi hal yang demikian, maka perlu dicari jalan keluar,  bagaimana agar demokrasi yang dicita-citakan, tidak melahirkan budaya korup yang sangat dibenci itu. Jika tidak dilakukan,  maka akan terjadi suasana yang sangat eronis. Pada satu sisi kita sangat membenci korupsi, akan tetapi pada  waktu yang bersamaan  telah menciptakan system yang melahirkan budaya korupsi.  Siapapun sangat sedih sehari-hari mendengar adanya bupati, wali kota, anggota DPR, DPRD,  pimpinan BUMN, bahkan juga Gubernur atau orang yang pernah menjabat sebagai  menteri, ternyata menjadi tersangka dan kemudian masuk penjara.  Jumlah mereka itu sudah ratusan orang.  Sehingga jika  menggunakan teori gunung es, —— fenomena  seperti itu, maka sebenarnya yang terjadi adalah jauh lebih besar  dari sekedar yang tampak itu.  Artinya  sangat mungkin, selama ini sebenarnya  banyak orang yang melakukan korupsi, namun  karena masih beruntung, mereka belum ketahuan dan tertangkap, maka masih bebas. Dengan system itu, yang membedakan antara mereka yang korupsi dengan yang bukan,  hanyalah waktu dan keberuntungan. Sebagian mereka sudah ditangkap, sementara lainnya beruntung   belum ketahuan  Mereka   yang belum ditangkap,  bukan berarti tidak melakukan hal yang sama.  Oleh karena korupsi adalah anak dari hasil perkawinan antara uang dan jabatan politik, maka semestinya perkawinan keduanya itu harus dilarang keras. Adalah sangat tidak logis, sehari-hari memberantas korupsi, tetapi pada waktu yang bersamaan, di mana-mana berlangsung  perkawinan antara keduanya yang akan melahirkan kejahatan itu. Melarang berpolitik dengan uang memang sulit. Akan tetapi, bagaimana pun harus dicegah hingga  berhasil. Memberantas perkawinan antara uang dan jabatan politik, maka  sama pentingnya dengan memberantas korupsi.   Rasanya sangat sedih mendengar banyak tokoh, yang  selama itu mereka dikenal sebagai orang yang baik, memiliki integritas yang tinggi, tulus, akan tetapi kemudian,  terdengar  mereka menjadi tersangka. Hampir tiap hari muncul  berita, seorang tokoh besar masuk penjara.  Tidak bisa terbayangkan, alangkah sedih dan  besarnya  penderitaan yang harus diterima oleh para tokoh itu, setelah dijadikan sebagai tersangka dan apalagi masuk penjara. Nama mereka akan hancur, dan demikian pula nama isteri, anak,  keluarga,  dan bahkan juga para pengikutnya akan kecewa.  Saya termasuk orang yang sangat membenci tindakan korupsi. Sehari-hari selalu berpikir dan berusaha  memberikan ketauladanan agar tidak terjadi tindakan yang merugikan rakyat dan memalukan itu. Akan tetapi jika mendengar ada orang yang selama itu saya kenal baik, seorang gubernur, mantan menteri, bupati, wali kota, anggota DPR  dan ternyata menjadi tersangka, maka terasa sangat sedih. Mendengar peristiwa itu, saya selalu khawatir, jangan-jangan kejadian itu hanya karena system yang dikembangkan di negeri selama ini, dan bukan oleh karena kejahatan mereka.  Kesedihan mendalam saya rasakan, mungkin oleh karena  terkait dengan tugas saya sehari-hari sebagai seorang guru. Sebagai seorang pendidik, selalu merasakan betapa beratnya tugas itu dilaksanakan. Sehari-hari berpikir, bagaimanak agar suatu ketika berhasil melahirkan orang cerdas dan atau pintar sehingga kelak bisa mengabdi untuk  membangun negara dan bangsa. Orang pintar yang kebetulan berhasil menduduki posisi strategis, saya bayangkan betapa mahal harganya. Oleh karena itu, rasanya  menjadi sangat sedih, ternyata kemudian yang bersangkutan  hanya menjadi isi  penjara. Apalagi hal itu hanya merupakan korban dari system  yang dijalankan.  Oleh karena itu, melarang keras  terjadinya perkawinan antara uang dan jabatan politik jauh lebih penting dan mendesak daripada memberantas korupsi itu sendiri. Apalagi batas yang korup dan yang tidak, sementara ini masih sangat tipis sekali.  Selain itu semestinya,  harus dihindari memperlakukan orang secara tergesa-gesa. Record yang bersangkutan perlu dilihat secara cermat.   Tatkala seseorang dituduh atau bahkan disangka korupsi, maka yang perlu dilihat secara cermat adalah, apakah yang bersangkutan hanya sebatas menjadi korban dari system,  ataukan memang benar-benar melakukan kejahatan. Harus dibedakan antara sebagai korban sistem, kesalahan, dan kejahatan itu.  Tindakan kejahatan harus dihukum, siapapun akan sepakat.Akan tetapi berbeda dengan itu,  adalah sebagai  korban system, atau sebatas melakukan kesalahan. Sebagai korban system atau kesalahan, maka  tindakan yang lebih tepat adalah  meluruskannya.   Memberantas korupsi, tetapi mentoleransi lahirnya gejala itu, maka  sama halnya dengan  membersihkan air di lantai,    karena rumahnya bocor, sementara  genteng atau atap yang jebol tidak pernah diperbaiki.  Sebenarnya, jika cerdas, memperbaiki atap yang bocor jauh lebih mendesak daripada membersihkan air di lantai itu. Menyelesaikan persoalan yang terkait dengan orang,  garus cermat dan hati-hati. Manusia memiliki harkat dan martabat yang harus dijaga oleh siapapun.   Orang jahat ketika dihukum akan menyadari atas kejahatannya itu,  sehingga akan jera dan tidak akan melakukan kejahatan lagi. Akan tetapi,  menghukum orang, yang hanya karena kesalahan system atau kurang tepat  dalam mengambil kebijakan, maka  hanya  akan melahirkan  rasa sakit hati yang mendalam, kebencian, dan bahkan juga dendam yang berkepanjangan. Sikap-sikap seperti disebutkan terakhir ini,  mestinya tidak boleh lahir dan ditumbuh-kembangkan  di manapun, lebih-lebih di negeri yang kita cintai ini. Wallahu a’lam. Â
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang