Umpama Perintah Membaca Dalam Al Qurán Dipenuhi

KIranya kaum muslimin semuanya tahu, bahwa ayat yang pertama kali turun dari sekian banyak ayat dalam al Qurán adalah perintah membaca. Ayat itu terletak di bagian awal dari surat al –Alaq. Dalam riwayatnya, beberapa ayat yang turun pertama kali itu disampaikan oleh Malaikat Jibril di puncak Jabal Nur, di Guwa Hira’.

Dapat dipastikan bahwa semua kaum muslimin mengetahui tentang sejarah turunnya ayat itu, —-khususnya di Indonesia, karena pada setiap tahun diselenggarakan peringatan awal turunnya beberapa ayat al Qurán. Peringatan itu disebut dengan Nuzul al Qurán. Pada acara peringatan itu biasanya dikupas tentang sejarah nabi ketika pertama kali menerima wahyu. Melalui sejarah itu, maka diketahui bahwa pertama kali ayat al Qurán turun bukan berupa perintah untuk sholat, zakat, puasa atau lainnyai, melainkan perintah membaca. Nabi Muhammad saw., ketika sedang di guwa Hira’ itu diperintah untuk membaca. Padahal ketika itu, ia sedang tidak membawa buku, atau tulisan apapun. Bahkan Nabi sendiri dikenal sebagai seorang ummy, sehingga tidak mampu menulis dan atau membaca tulisan. Dengan demikian ayat itu terasa aneh. Pada saat tidak ada yang dibaca dan juga tidak bisa membacanya pun nabi diperintah membaca. Hal itu menggambarkan, betapa pentingnya membaca bagi kaum muslimin. Selain itu, posisi nabi sedang di tempat yang tinggi, di Jabal Nur. Siapapun yang sedang berada di puncak gunung itu, bisa melihat hamparan hunian yang sedemikian luas, yaitu masyarakat Arab. Seolah-olah, sebagai seorang yang bertugas sebagai rasul, harus membaca dan mengetahui masyarakat yang kelak akan diubahnya. Saya bukan ahli tafsir, dan tidak memiliki kapasitas apa-apa tentang al Qurán. Akan tetapi setiap mengingat turunnya ayat tersebut selalu membayangkan tentang beberapa hal yang saya rasakan sangat penting. Pertama, saya membayangkan andaikan perintah membaca ini benar-benar dilakukan oleh kaum muslimin, maka umat Islam akan memiliki tradisi ilmu pengetahuan yang luar biasa. Apalagi yang dimaksudkan membaca bukan sebatas membaca buku teks, tetapi membaca jagad raya, baik yang ada di langit maupun yang ada di bumi. Kedua, saya membayangkan bahwa tugas itu sedemikian luas wilayah cakupannya. Dalam al Qurán diperintahkan agar manusia mempelajari ilmu seluas-luasnya. Sekalipun demikian, ilmu tidak akan ada habisnya. Betapapun usaha manusia, Ilmu yang diberikan oleh Allah sangat terbatas jumlahnya. Sementara, Ilmu Allah sedemikian luas, bahkan digambarkan, andaikan air laut dijadikan tinta dan seluruh benda di bumi dijadikan pena, dan ditambah sebanyak itu lagi, maka tidak akan mencukupi untuk menulis ilmu Allah. Banyak ayat al Qurán yang memerintahkan agar manusia memperhatikan jagat raya ini, mulai dari yang berukuran kecil dan sederhana, misalnya memperhatikan bagaimana unta diciptakan, bumi dihamparkan, langit ditinggikan, dan bahkan hingga gunung ditegakkan. Semua terbuka dan secara bebas siapapun diberikan keleluasaan untuk mempelajari dan mengkajinya. Kewajiban menuntut ilmu bagi kaum muslimin tidak dibatasi, melainkan perintah itu hingga seumur hidup, yaitu dari ayunan sampai di liang lahat. Artinya sebelum mati, kaum muslimin masih terbebani agar selalu mencari ilmu. Bahkan, ada riwayat, bahwa perintah mencari ilmu itu sekalipun hingga negeri Cina. Pada saat itu, negara Cina dikenal sangat jauh tempatnya. Sehingga, perintah itu dapat dimaknai bahwa mencari ilmu tidak peduli tempatnya jauh, harus tetap ditunaikan. Memahami perintah membaca seperti itu mestinya kaum muslimin termotivasi selalu berusaha membangun pusat-pusat kajian, penelitian atau riset, laboratorium, di berbagai bidang ilmu. Sayangnya, perintah itu tidak berhasil ditangkap secara sempurna. Bahkan aneh, para cendekiawannya pada masa perkembangan selanjutnya hanya mengembangkan ilmu-ilmu yang terbatas, yang lebih banyak terkait dengan kegiatan ritual. Ilmuwan Islam lebih banyak hanya berdebat soal-soal fiqh, kalam, dan bahkan sepeninggal nabi hanya berebut kekuasaan hingga melahirkan berbagai aliran yang tidak banyak memberi manfaat kecuali perpecahan. Persoalan yang terkait dengan kegiatan ritual mestinya dijalankan dan bukan diperdebatkan. Dengan perdebatan itu, umat Islam menjadi lelah pada urusan-urusan ritual, sedangkan urusan yang terkait dengan kesalehan social dan apalagi intelektual banyak terabaikan. Sedangkan umat lain, dengan melakukan bacaan atau riset secara sungguh-sungguh, mereka berhasil menangkap rahasia alam secara mendalam. Hasilnya, mereka menemukan ilmu pengetahuan dan teknologi secara luas. Dunia akhirnya dikuasai olehnya, sedangkan umat Islam tetap mengalami ketertinggalan. Kondisi seperti itu, ternyata berlangsung hingga saat ini. Para cendekiawan di kampus-kampus perguruan tinggi Islam pun belum banyak sadar atas ketertinggalannya itu. Sampai saat ini masih banyak di antara mereka yang hanya ingin memformat kampusnya sebatas mengkaji ilmu-ilmu yang bernuansa ritual itu dengan dalih mempersiapkan hidup di akherat. Padahal sebagaimana dikemukakan di muka, kaum muslimin diwajibkan untuk melihat, meneliti, meikirkan ciptaan Allah baik di langit maupun di bumi. Jika tugas itu ditunaikan, maka siapapun akan membayangkan, alangkah hebatnya kaum muslimin di mana dan kapan pun berada. Mereka beriman dan berilmu, sekaligus menjadi pelopor beramal saleh. Wallahu a’lam.

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share