Wukuf : Setengah Hari Bersama Berdoá Di Arafah

Waktu wukuf  dimulai tatkala matahari telah tergelincir ke barat  hingga  terbenam. Pada saat itu, semua orang yang sedang berhaji atau wukuf, kegiatannya tidak ada lain kecuali berdoa. Berdoa apa saja untuk mendekatkan diri pada  Allah. Pada saat itu, tidak ada orang yang saling berbicara, berdiskusi, atau  berembuk tentang sesuatu, melainkan  semuanya  diam, berkonsentrasi dalam berdoa.

  Sekalipun di tempat itu jumlah orang hingga jutaan, tetapi tidak terdengar suara gaduh. Di padang Arafah yang luas, penuh  dengan   orang yang   tidak  bersuara, kecuali doa yang keluar dari  mereka  yang lagi wukuf. Doa itu juga tidak sampai bersuara. Masing-masing orang mengurus dirinya sendiri, berkomunikasi dengan Tuhan lewat doa itu. Jika terdapat suara selain  itu,  adalah khutbah Arafah  yang juga tidak terlalu lama.       Kegiatan semacam itu, ——di dunia ini,   hanya terjadi di satu tempat, yaitu satu-satunya di Arafah. Selain itu,   wukuf hanya  terjadi  sehari setahun sekali,  dan dalam waktu yang bersamaan pula.  Dalam berwukuf tidak ada berselisih tentang jatuhnya hari  yang seharusnya dilaksanakan, dan apalagi menyangkut tempatnya. Ketika pemerintah Saudi, berdasarkan  keyakinannya mengumumkan tentang hari pelaksanaan wukuf, maka semua orang  mengikuti keputusan itu.   Rupanya hal itu berbeda dengan di Indonesia. Di negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini, semua orang merasa berhak menentukan, sekalipun dengan cara itu kemudian ummat Islam seolah-olah  dalam menjalankan ritual, berbeda-beda. Memang perbedaan itu tidak mengapa terjadi,  walaupun  sebenarnya menggambarkan tidak adanya persatuan.    Sebagaimana tuntunan yang ada,  ritual  seharusnya berdampak  positif terhadap kehidupan sosial. Namun ternyata,  dalam ritualnya sendiri  sudah  terjadi perbedaan.  Maka, baik ritual dan apalagi sosialnya tidak menggambarkan adanya persatuan itu. Ini terjadi karena pimpinan umat belum merasakan pentingnya persatuan itu. Bahkan sementara mengatakan bahwa,  perbedaan itu adalah rakhmat. Mungkin statemen itu benar,  jika perbedaan itu pada  aktivitas  ilmu pengetahuan. Akan tetapi perbedaan  yang  berada pada wilayah ritual, maka  rakhmat itu sulit ditemukan.  Sebaliknya  yang terjadi  adalah kebingungan ummat.   Perbedaan dalam menjalankan ritual  sebenarnya tidak ada untungnya. Tuhan sendiri menghendaki agar ummat Islam selalu bersatu.  Sekalipun demikian,  perbedaan  dalam ritual seperti itu sudah terjadi sejak zaman Nabi. Hanya saja  bedanya, tatkala terjadi kasus  perbedaan di zaman nabi,  selalu terdapat hakim yang menghibur  semua pihak. Hakim itu ialah Nabi sendiri.  Beberapa kasus perbedaan itu sebagaimana contoh berikut.   Suatu ketika para sahabat berkumpul. Tatkala masuk waktu shalat ternyata tidak ada air untuk berwudhu. Akhirnya mereka bertayamum dan shalat bersama. Tidak lama selesai shalat ternyata jatuh hujan sehingga air melimpah. Maka sebagian shahabat wudhu dan shalat kembali, sedang lainnya merasa telah cukup dengan shalat yang hanya bertayamum. Perbedaan itu dikonsultasikan pada Nab, ternyata Nabi membenarkan semuanya. Akhirnya semua Shahabat lega.   Kasus lain, suatu ketika nabi bersama shahabat mendatangi ke suatu tempat. Pada saat itu, dengan alasan tertentu, Nabi  memberikan petunjuk tentang  tempat shalat,  sebaiknya dilakukan.  Atas petunjuk itu, beberapa shahabat  khawatir  kehilangan waktu shalat. Akhirnya di antara  mereka shalat di perjalanan. Sedangkan sementara lainnya,   bersikukuh mengikuti anjuran Nabi. Maka terjadi perbedaan. Namun setelah dikonsultasikan pada Nabi,  mereka mendapatkan jawaban bahwa semuanya benar.   Masih dalam contoh serupa, kebetulan dalam pelaksanaan haji, sebagaimana yang sekarang ini dilaksanakan. Setelah  mabith di Muzdalifah,  beraneka ragam yang dilakukan oleh para jamaáh. Sementara ada yang melempar jumrah aqobah, sebagian lagi menyembelih dam, ada juga yang istirahat, dan bahkan juga ada yang pergi ke Makkah untuk ifadhah. Atas perbedaan itu, setelah dikonsultasikan kepada nabi,  ternyata  beliau membenarkan semuanya. Semuanya  menjadi lega.   Perbedaan tersebut tidak jadi masalah, oleh karena  ketika itu Nabi masih ada,  sehingga  ada  hakim yang adil dan dipercaya oleh semua. Berbeda keadaannya  dengan sekarang ini.  Di antara semua selalu mengklaim bahwa dirinya  sendiri yang paling betul sedangkan yang lain keliru.  Hal itu  terlihat dari tidak adanya kompromi atau solidaritas, sehingga semua mengabaikan  persatuan. Persatuan dianggap kurang penting.  Padahal, umpama  semua  berkompromi, maka akan menjadi lebih indah. Tokh, sebenarnya  berbagai cara itu benar semua.   Di Arafah, tatkala orang sedang wukuf,    perbedaan itu tidak terjadi.  Di antara sekian banyak jama’ah haji, mereka  berdoa sendiri-sendiri. Sebagian saja dipimpin oleh  pembimbingnya. Tentu doa mereka juga berlain-lain, tergantung pada apa yang sedang dimaui masing-masing.  Mereka juga tidak berebut bahwa doanya sendiri saja yang diterima sedang lainnya ditolak. Bahkan ketika itu, tidak seorang pun  tahu, bahwa doa  atau hajinya diterima. Sepeninggal dari Arafah, yang terjadi  hanyalah  suasana batin yang  puas, haru, dan atau bahagia,  telah melakukan  salah satu rukun Islam yang kelima.   Suasana Arafah memang sangat mengharukan. Berjuta-juta  manusia  berkumpul di tempat  yang sama. Mereka mengenakan pakaian yang sama, baik warna maupun potongannya,   disebut  baju ikhram. Kecuali  para wanita,  mereka mengenakan   potongan pakaian yang  agak berbeda-beda. Selain itu, yang mengharukan,  bahwa  di tempat itu, dari sekian  banyak orang,  tidak ada yang bermaksud mendapatkan kemenangan dari antar sesama,  berusaha pamer tentang sesuatu, dan juga  menunjukkan kepemilikannya  melebihi dari yang lain. Nafsu yang disebutkan itu hilang  dengan sendirinya ketika sedang di Arafah.     Orang yang sedang wukuf, semuanya  merasa sama, tidak saja  dalam hal pakaian, melainkan juga  tentang apa  yang dikehendaki, yaitu haji mabrur. Sehingga, pemandangan di Arafah  benar-benar indah, damai,  dan mengharukan. Orang di tempat itu tidak berpikir, kecuali tentang dirinya tatkala berhadapan dengan  Allah swt.  Mereka gembira, tetapi juga menangis ingat akan kesalahan dan atau dosanya. Mereka semuanya  memohon ampunan dan ridha-Nya. Tatkala sedang wukuf, ——setengah hari itu, yang  mereka lakukan hanya berdoa, memohon sesuatu hanya kepada Allah. Wallahu a’lam.  

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Share