Dengan demikian, gerakan bioetika lahir di Amerika Serikat. Dua lembaga perintis di Washington dan New York itu cepat sekali diikuti oleh pusat-pusat lain di Amerika. Tidak lama kemudian, di luar Amerika bioetika menarik perhatian. Mulai tumbuh pusat-pusat bioetika di Eropa, Australia, Amerika Selatan, dan banyak tempat lain lagi. Pada tahun 1985 pusat-pusat Bioetika di Eropa bergabung dalam ikatan kerja sama yang disebut European Association for Centres of Medical Ethics. Nama ini merupakan semacam kompromi. Rencana pertama memakai nama bioetika, tetapi anggota dari Perancis keberatan. Karena itu, disetujui nama yang lebih tradisional. Namun, tampaknya di Perancis juga kini istilah bioéthique sudah diterima sebagai biasa saja.
Sementara itu, globalisasi gerakan bioetika berkembang terus. Tidak bisa dihindarkan lagi, perlu dibentuk juga suatu organisasi internasional yang dapat memfasilitasi komunikasi global antara peminat-peminat bioetika. Hal itu terwujud dengan didirikannya International Association for Bioethics. Mereka mengadakan kongres perdana di Amsterdam pada tahun 1992. Sebagai ketua pertama dipilih Peter Singer, ahli bioetika terkenal dari Australia yang kemudian menjadi profesor di Amerika Serikat dan Kanada. Singer juga menjadi penggerak dan organisator utama untuk asosiasi internasional ini. Setiap dua tahun mereka menyelenggarakan kongres besar. Kongres Dunia yang ke-7 berlangsung di Sydney, Australia, November 2004. Jurnal resmi mereka berjudul Bioethics, yang sejak 2001 didampingi oleh Developing World Bioethics, menyoroti secara khusus masalah bioetika di negara-negara berkembang dan terbit dua nomor setahun.
Jika kita memandang gerakan bioetika sebagaimana sudah bergulir sejak kira-kira 35 tahun ini, ada terutama tiga ciri yang menonjol. Bioetika bersifat interdisipliner, internasional, dan pluralistis. Hal itu dapat dijelaskan lagi sebagai berikut.
Pertama, interdisiplinaritas sering disebut sebagai cita-cita ilmu pengetahuan, tetapi dalam kenyataan tidak begitu mudah untuk direalisasikan. Namun, bioetika dalam hal ini cukup berhasil. Bioetika menjadi semacam “meja bundar” yang mengumpulkan berbagai ilmu yang menaruh perhatian khusus untuk masalah kehidupan (bios): ilmu-ilmu biomedis, hukum, teologi, ilmu-ilmu sosial, tapi tempat utama diduduki oleh ahli-ahli etika filosofis. Jika kita melihat pusat-pusat bioetika atau forum-forum bioetika internasional, yang terutama menjadi penggerak dalam dialog interdisipliner ini adalah para etikawan. Hal itu hanya dimungkinkan karena etika filosofis sudah lama meninggalkan menara gadingnya dan para etikawan tentu harus bersedia memasuki betul bidang ilmiah yang mereka bicarakan, yang kadang-kadang sangat kompleks.
Kedua, internalisasi merupakan suatu ciri yang menandai bioetika sejak permulaannya. Para etikawan Amerika sering pergi ke luar negeri dan menerima tamu dari berbagai bangsa di pusat-pusat bioetika mereka. Ilmu pengetahuan menurut kodratnya bersifat internasional. Karena itu, problem-problem etis yang ditimbulkan dalam perkembangan ilmu-ilmu hayati bersifat internasional pula. Dengan demikian, mudah terjadi globalisasi bioetika yang dilukiskan tadi.
Ketiga, pluralisme merupakan ciri lain. Dalam dialog sekitar bioetika, sebanyak mungkin golongan dan pandangan diikutsertakan. Moral keagamaan didengar, bukan saja moral agama mayoritas, tapi juga moral agama-agama minoritas (kalau ada). Moral sekuler juga tidak diabaikan. Dialog bioetika diwarnai keterbukaan dan suasana demokratis. Di negara-negara yang punya peraturan hukum mengenai masalah kontroversial seperti aborsi atau eutanasia, sebelum keputusan diambil, diadakan diskusi luas untuk mendengarkan pendapat semua pihak yang berkepentingan. Akhirnya tercapai kesepakatan dalam parlemen meski barangkali tidak disetujui beberapa pihak agama. Namun, sebelumnya mereka sempat mengemukakan pendapatnya. Dalam demokrasi mau tidak mau harus terjadi demikian.
Kalau ditanyakan lagi mengenai agenda yang dikerjakan bioetika selama ini, barangkali dapat dibedakan tiga wilayah besar.
Pertama, masalah yang menyangkut hubungan antara para penyedia layanan kesehatan dan para pasien. Di sini termasuk banyak tema dari etika kedokteran tradisional. Namun, konteksnya sering berbeda juga karena dalam suasana modern, diberi tekanan besar pada otonomi pasien. Etika keperawatan bisa mendapat juga tempatnya di sini.
Kedua, masalah keadilan dalam alokasi layanan kesehatan. Bagi orang sakit, layanan kesehatan merupakan suatu hak asasi manusia. Kalau di Indonesia kita menganggap serius keadilan sosial (last but not least dalam urutan Pancasila), wilayah permasalahan yang kedua ini menjadi sangat penting.
Ketiga, wilayah paling luas adalah topik-topik etika yang ditimbulkan oleh kemajuan dramatis dalam ilmu dan teknologi biomedis. Di sini pertama-tama etika penelitian mendapat tempatnya. Di antara topik-topik etika yang paling menonjol saat ini boleh disebut masalah kloning, penelitian tentang sel-sel induk embrio dan banyak persoalan dalam konteks reproduksi teknologis. Misalnya, boleh kita ciptakan saviour siblings? Artinya, embrio yang melalui skrining genetik sudah dipastikan cocok untuk menjadi donor sumsum bagi saudaranya (nanti) yang menderita leukemia dan diimplantasi dalam rahim ibu semata-mata untuk menyelamatkan saudaranya yang sakit.